Simo Gembong Mencari Mati - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Mahesa Kelud. Simo Gembong Mencari Mati

SIMO GEMBONG MENCARI MATI

Karya : Bastian Tito


PUNCAK GUNUNG KELUD...
Awan berarak tinggi. Sesaat menyelimuti puncak gunung kemudian bergerak menjauh, ditiup angin ke arah timur. Di dalam pondok kayu beratap rumbia, letaki tua itu duduk bersila. Kedua tangan diletakkan diatas paha. Mata kanan terpejam rapat sedang mata kiri yang hanya merupakan rongga besar nyalang menantang mengerikan.

Janggutnya yang hitam panjang bergoyang-goyang ditiup angin yang masuk dari pintu. Dari batok kepalanya yang ditutupi rambut kotor awutan-awutan tampak mengepul asap hijau aneh.  Jelas orang tua ini tengah bersemedi sambil mengerahkan tenaga dalam yang sangat tinggi.

Ketika sekelompok awan datang lagi menyelimuti puncak Gunung Kelud, orang tua bertampang angker ini membuka mata kanannya yang sejak tadi dipejamkan. Ternyata mata ini berwarna sangat merah, membuat wajahnya tambah menyeramkan untuk dipandang. Kemudian terdengar suaranya serak besar ketika mulutnya terbuka.

"Syukur kau sudah kembali Mahesa. Aku gembira!"

Dan mata kanan yang merah itu memandang tak berkedip pada sosok tubuh pemuda yang duduk khidmat dihadapannya.

"Muridku, kau berhasil mendapatkan pedang Samber Nyawa?"

"Berhasil Embah."

"Bagus!"

Mulut orang tua itu menyunggingkan senyum. Tapi senyum ini malah membuat tampangnya tambah seram. "Bagus sekali! Lalu apakah kau juga sudah berhasil menemukan dan membunuh manusia bernama Simo Gembong?"

Sang murid Mahesa Kelud tidak menjawab. Diperhatikannya sesaat tanda hitam disiku tangan kanan orang tua itu. Hatinya berdebar. Tanda itu adalah salah satu dari ciri-ciri manusia yang namanya barusan disebutkan oleh sang guru!

"Aku bertanya. Apakah kau sudah berhasil menemukan manusia bernama Simo Gembong dan membunuhnya...?" Orang tua itu kembali bertanya.

"Embah Jagatnata," sahut Mahesa Kelud menyebut nama gurunya itu. "Petunjuk-petunjuk yang saya dapatkan masih kurang jelas. Saya memerlukan tambahan petunjuk dari Embah." Air muka Embah Jagatnata tampak berubah.

"Kalau begitu, percuma kau datang kemari! Bukankah dulu sudah kuberi ingat? Kau sekali-kali tidak boleh kembali kesini sebelum berhasil menemui dan membunuh orang bernama Simo Gembong itu?! Apa jawabmu Mahesa?!"

"Embah, hasil penyelidikan yang saya dapat, membuat saya jadi bingung sendiri," jawab Mahesa Kelud. Nama itu adalah pemberian gurunya. Nama sebenarnya pemuda ini adalah Panji Ireng.

"Bingung?" Kening Embah Jagatnata tampak  berkerenyit. "Bingung bagaimana?"

"Harap maafkan saya Embah. Ciri-ciri orang bernama Simo Gembong itu sangat sama dengan ciri-ciri Embah sendiri.”

"Kalau begitu apakah kau sudah berpendapat bahwa aku gurumu ini adalah Simo Gembong itu?!"

"Walau kenyataan memberi petunjuk demikian, tapi saya tidak berani mengatakan begitu Embah. Saya tidak dapat mempercayainya..."

"Lalu kau berpegang pada yang mana. Pada kenyataan atau pada jalan pikiranmu sendiri?!" Tanya sang guru.

"Pada kedua-duanya Embah" sahut Mahesa.

"Kalau kau memang berpegang pada keduanya, lalu mengapa masih belum berhasil menemui dan membunuh manusia Simo Gembong itu?"

"Justru disitulah saya ingin petunjuk lebih lanjut dari Embah, agar tidak keliru mengambil keputusan."

Embah Jagatnata memandang pada Mahesa dengan matanya yang cuma satu. Asap kehijauan masih mengepul keluar dari ubun-ubun kepalanya. "Bodoh!" bentak orang tua itu tiba-tiba. "Kau sudah lihat kenyataan! Kau sudah lihat kesamaan ciri-ciri antara aku dan Simo Gembong! Apakah kau masih belum dapat menarik kesimpulan?!"

Sesaat pemuda itu terkesiap. Lalu, "Kalau kesimpulan itu berbunyi bahwa manusia bernama Simo Gembong adalah Embah sendiri, lantas mengapa Embah menyuruh saya turun gunung untuk mencarinya dan membunuhnya?" 
Pemuda ini benar-benar tidak mengerti.

Embah Jagatnata geleng-gelengkan kepala. "Akan  kuterangkan,  akan kuterangkan," katanya kemudian. "Selama puluhan tahun hidup, aku telah melewatinya dengan percuma. Bahkan dengan menanam dosa di sepanjang hari kehidupanku itu. Aku berilmu tinggi. Tak ada yang menandingi. Dengan ilmuku itu aku berbuat apa yang aku mau. Membunuh! Merampok!  Memeras!  Menculik gadis-gadis, merusak kehormatannya. Melarikan istri orang, memperkosanya. Bahkan aku juga membunuh anak-anak! Tak ada satu orangpun berani turun tangan menghukumku! Aku semakin tua dan dosa-dosaku yang selangit tembus itu semakin karatan! Aku ingin mati! Ingin mampus! Biar Tuhan menghukumku diliang kubur. Tapi ajal tak kunjung sampai. Malaikat maut masih belum mau datang! Satu-satunya senjata yang sanggup memisahkan nyawaku dengan jazadku adalah pedang Samber Nyawa. Aku tak tahu dimana senjata sakti itu berada. Karena itu kusuruh kau mencarinya. Dan katamu kau telah berhasil mendapatkan pedang itu. Dimana kau temukan pedang itu Mahesa?"

"Di sebuah lembah bernama Lembah Maut di Pulau Mayat. Tempat kediaman Dewi Maut...."

"Dewi Maut... Ah, ternyata dia masih hidup!" Paras Embah Jagatnata tampak memutih. Mata kanannya terpejam. Berulang kali dia menarik nafas dalam. "Aih, ternyata dia masih hidup. Bagaimanakah keadaannya? Apakah dia masih mendendam diriku? Ingin sekali aku melihatnya. Sungguh tak disangka kalau dia masih hidup dan masih memiliki senjata itu...." Kata-kata itu diucapkan Embah Jagatnata dalam hati sehingga Mahesa Kelud tidak mendengarnya. Keinginan untuk mati kini tiba-tiba saja memudar dalam diri sanubari si orang tua.

"Embah," kata Mahesa. "Menurut Dewi Maut, dengan pedang itu dia membabat puntung telinga kananmu. Apa benar....?"

Embah Jagatnata mengangguk perlahan. Hatinya terasa perih. "Aku membuat segudang dosa besar padanya. Dia ingin membalaskan sakit hati. Kami berkelahi. Saat itu, puluhan tahun silam tingkat kepandaian kami masih sama. Namun dia memiliki pedang Samber Nyawa. Aku tak sanggup menghadapinya dan melarikan diri setelah dia menabas buntung telinga kananku. Kau bertemu muka dengan Dewi Maut. Bagaimana keadaannya. Atau kau sudah membunuhnya?" Hati orang tua ini mendadak berdebar.

"Tidak, saya tidak membunuhnya. Keadaannya... Dia hidup di alam aneh..."

"Aneh bagaimana maksudmu?"

"Embah tahu perempuan itu seusia Embah. Tapi wajahnya dan tubuhnya tetap muda...."

"Aku tahu! Aku tahu! Pasti dia mendapat mantera awet muda itu dari gurunya si Dewi Cabut Nyawa..."

"Memang  begitu  menurut pengakuannya."

Embah Jagatnata geleng-gelengkan kepala. Hasrat ingin bertemu dengan perempuan itu semakin menyentak. Tapi keinginan untuk mati yang sudah dipanteknya dihadapan muridnya apakah harus dibatalkan begitu saja? Dia tak bakal punya muka terhadap Mahesa! Setelah menghela nafas dalam, orang tua ini berkata,

"Di hari-hari tuaku ini, dimasa hampir masuk ke liang kubur terbit rasa penyesalan dalam hatiku. Menyesal atas segala kejahatan dan dosa tak berampun yang telah kuperbuat. Aku ingin cepat-cepat mempertanggungj-awabkan semua itu dihadapan llahi. Tapi ajal tak kunjung datang. Hidup dan batinku tersiksa. Kau tahu Mahesa. Kau adalah seorang anak manusia yang menjadi korban kebejatanku!"

"Saya tidak mengerti Embah….." kata Mahesa ketika sang guru menghentikan penuturannya sejenak.

"Tentu kau tak mengerti muridku. Tabahkan hatimu," jawab Embah Jagatnata. 
"Ketahuilah, ibumu seorang perempuan cantik dan hidup bahagia bersama ayahmu. Ketika dia baru saja melahirkan kau yang waktu itu berusia dua bulan, ibumu kularikan. Ayahmu kubunuh. Juga paman serta kakekmu. Juga mertuamu. Ibumu kubawa kesebuah pondok di rimba belantara. Disitu kugauli, kurusak kehormatannya selama berminggu-minggu. Kemudian kubunuh! Bejat! Aku terlalu bejat. Dosa semacam itu merupakan dosa tak berampun. Dan yang seperti itu bukan hanya sekali kulakukan, tapi puluhan kali. Puluhan gadis, anak istri orang jadi korbanku!"

Mahesa Kelud merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Darahnya memanas dan kuduknya mendadak menjadi dingin. Saat itu terdengar kembali suara gurunya.

"Penyesalan selalu datang terlambat. Ketika aku tahu bahwa kau adalah anak perempuan yang dulu aku bunuh maka aku berniat agar kelak kaulah yang dapat membunuhku sebagai pembalasan atas dosa-dosaku. Waktu itu kau sudah menjadi seorang pemuda dan di ambil jadi anak angkat oleh satu keluarga miskin di kampung Sariwangi. Kau diberi nama Panji Ireng oleh mereka. Suatu malam sehabis kau menonton wayang golek, di bawah hujan lebat kau kuhadang di Kali Brantas. Arus sungai melemparkan kau ke dalam air. Dalam keadaan pingsan kau kubawa kemari, kuambil jadi murid, kudidik dan kuajari berbagai ilmu silat serta kesaktian. Semua itu agar kau punya bekal untuk mencari pedang Samber Nyawa. Hanya senjata itulah satu-satunya yang bisa membunuhku, Senjata lain bisa melukaiku tapi tak sanggup mematikan!"

Embah Jagatnata diam sejenak, baru meneruskan. "Kau pergi dan sekarang kembali membawa pedang sakti itu. Hari ini adalah hari kematianku!"

Sampai disitu kembali orang tua itu terdiam sesaat. Di pelupuk matanya yang hanya satu kembali terbayang wajah Dewi Maut dan di lubuk hatinya dia bertanya benarkah dia menginginkan kematiannya hari itu?

"Hari ini adalah hari kematianku," mengulang Embah Jagatnata yang kenyataannya adalah Simo Gembong adanya.

"Hari ini hari pembalasan. Aku tahu kematianku ditanganmu belum tentu dapat menebus semua dosa-dosaku. Mahesa! Keluarkan pedang Samber Nyawa, tetakkan ke batok kepalaku. Cincang tubuhku sampai lumat. Biar terbalas sakit hati kematian kedua orang tuamu. Kematian semua orang yang telah kubunuh dan kurusak kehidupannya! Lakukan Mahesa! Sekarang!"

Meskipun hatinya menggeram dan darahnya seperti terbakar mendengar penuturan Embah Jagatnata namun sampai saat itu Mahesa Kelud tetap duduk tak bergerak.

"Kau tunggu apa lagi Mahesa?!"

"Tak mungkin Embah, tak mungkin saya memenuhi permintaan Embah," akhirnya terdengar jawaban si pemuda.

"Tapi aku telah membunuh ayahmu, ibumu. Kau tak akan berdosa jika kau membunuhku karena aku yang tanggung semua dosa!" ujar sang guru.

"Mohon dimaafkan Embah jika saya berpendapat bodoh. Tak ada manusia yang bisa menanggung dosa manusia lainnya dihadapan Tuhan. Apapun yang telah terjadi tak mungkin saya harus membunuh guru..."

Antara guru dan murid itu terjadi perdebatan panjang yang mungkin tak akan ada habisnya. Jagatnata alias Simo Gembong kehabisan kesabarannya. Dicabutnya sebatang tongkat kecil dari pinggangnya lalu berdiri seraya berkata,

"Mari kita keluar. Aku tahu hatimu. Kau memang kesatria murni. Keluarkan pedang Samber Nyawa. Mari kita bertempur sampai kau berkesempatan membunuhku secara kesatria!"

Orang tua itu mendahului melangkah ke luar pondok. Setelah lama menunggu baru Mahesa Kelud menyusul. "Cabut pedang Samber Nyawa itu!" teriak Simo Gembong.

Mahesa menggerakkan tangannya. Tapi yang dicabutnya bukan pedang Samber Nyawa melainkan sebilah pedang merah. Pedang Dewa. Melihat sosok senjata mustika itu Simo Gembong menyeringai.

"Pedang Dewa," katanya mengenali. "Pedang bagus. Merupakan satu dari beberapa senjata langka dunia persilatan. Tentu kau telah berguru pada Suara Tanpa Rupa. Nasibmu baik Mahesa. Tapi ketahuilah senjata itu hanya bisa melukaiku. Tak dapat membunuhku. Sekalipun kau melakukan seribu tusukkan ke sekujur tubuhku!"

Sesaat sang murid berdiri bimbang.

"Kalau kau tak percaya mari kita buktikan!" kata Embah Jagatnata. Tubuhnya berkelebat ke depan. Tongkat di tangan kanan dipukulkan. Meski benda ini kecil saja tapi derunya laksana badai, menyambar ke arah leher Mahesa.

Pemuda ini cepat berkelit namun tak mau membalas. Tongkat membalik, menggempur ke arah dada, letak peredaran darah besar. Ketika pemuda ini mengelak lagi tahu-tahu terdengar suara berdentrang. Pedang Dewa terpukul lepas oleh tongkat sang guru! Sebelum senjata ini jatuh ketanah Mahesa cepat-cepat menangkap hulunya lalu pemuda ini tegak termangu.

"Kau lihat sendiri muridku betapa tidak bergunanya pedang sakti itu. Keluarkan pedang Samber Nyawa…..!"

Mahesa masukkan kembali Pedang Dewa ke dalam sarung dibalik punggung. Di tangan kanannya kemudian terlihat sinar kuning terang. Ternyata pemuda ini telah keluarkan Keris Ular Emas yang didapatnya dari Dewi Ular.

"Aih, kau benar-benar bernasib baik muridku. Tidak gampang mendapatkan Keris Ular Emas itu! Senjata sakti yang sanggup mematikan segala macam racun. Namun untukku tetap tak ada manfaatnya. Lihat…..!"

Tubuh Simo Gembong seperti seekor burung elang. Melayang ke udara. Kakinya menggempur lebih dulu. Mahesa meskipun pegang keris sakti di tangan namun tak berani memapaki serangan, mengambil sikap mengelak. Tongkat kecil di tangan sang guru menusuk ke kepala itu sebenarnya adalah bayangan saja dari tongkat yang asli. Sementara badan tongkat yang asli meluncur deras ke bawah dan... plak!

Keris Ular Emas terlepas mental. Sebelum jatuh kembali Mahesa cepat menyambuti dan menyimpannya. Pemuda ini berpikir-pikir, apakah benar Pedang Dewa dan Keris Ular Emas itu tidak sanggup menandingi sang guru. Apakah bukan karena dia mengambil sikap bertahan dan mengelak, sama sekali tidak mau balas menyerang?

"Masih juga kau belum mau keluarkan pedang Samber Nyawa itu Mahesa?!"

Perlahan-lahan Mahesa gerakkan tangannya ke pinggang kiri. Sebuah benda hitam tergulung seperti ikat pinggang kini berada di tangan kanannya. Begitu gulungan dibuka maka benda itu berubah menjadi sebilah pedang yang memancarkan sinar hitam legam!

Mata kanan Simo Gembong yang merah membuka lebar, memandang tak berkedip pada senjata di tangan Mahesa, kemudian sinar matanya yang galak buas meredup dan akhirnya terpejam.

"Senjata itu....." desisnya dalam hati. "Pedang itu palsu! Ternyata palsu, bukan yang asli. Bentuk, sinarnya memang hampir sama. Tapi palsu. Muridku telah tertipu. Hari kematianku tak akan sampai.....!" Dan dilubuk hati Simo Gembong kembali menyusup perasaan yang ingin menolak kematian. Dipelupuk matanya kembali terbayang wajah Dewi Maut.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana Mahesa hanya dapatkan pedang yang palsu! Dan pemuda itu agaknya tidak mengetahui hal ini. Kasihan muridku. Tapi aku tak ingin mengecewakannya. Aku tak ingin membuat dia merasa sia-sia....!"

Perlahan-lahan mata kanan itu membuka kembali. Simo Gembong angsurkan kepalanya ke arah Mahesa. "Ayo Mahesa! Tebas leherku! Bacok kepalaku! Cepat!" 

Mahesa tak bergerak.

"Mahesa! Kau dengar perintahku?!" Suara Simo Gembong menggeledek. Puncak  Gunung Kelud laksana bergetar.

"Tidak guru! Saya tidak bisa melakukannya!? Kata Mahesa kemudian. Ketika pemuda itu masih tak mau bergerak maka menyeranglah Simo Gembong. Tongkat di tangan sang guru berubah laksana puluhan banyaknya dan menyerang ke berbagai bagian tubuh si pemuda hingga mau tak mau Mahesa harus bertindak cepat selamatkan diri. Sekali-sekali dia terpaksa pergunakan pedang hitam untuk membentengi diri. Kesempatan ini sengaja dipergunakan Simo Gembong untuk mengangsurkan tongkatnya dalam gerakan lebih perlahan hingga tongkat itu terbabat putus oleh pedang hitam.

"Ayo Mahesa. Bacokkan pedangmu! Tusukkan senjata itu!"

Tetap saja Mahesa mengambil sikap mengelak dan mempertahankan diri. Setelah bertempur puluhan jurus terdengar  Simo Gembong menggembor. Bagaimanapun memaksa muridnya itu tak akan mau membunuhnya. Tahu betul akan hal ini si orang tua buang tongkatnya yang buntung. Matanya tampak berapi-api, rahangnya menggembung.

Tiba-tiba dia melompat ke muka, menerkam seperti seekor harimau lapar. Kedua tangannya cepat sekali mencekal lengan kanan Mahesa Kelud. Sebelum pemuda ini tahu apa yang hendak dilakukan gurunya, dengan kekuatan luar biasa Simo Gembong tarik tangan muridnya yang memegang pedang kemuka, ke arah dadanya dan keras! Ujung pedang Samber Nyawa terhunjam di dadanya!

"Mahesa...Selamat tinggal muridku!"

Mahesa tersentak kaget. Dia lepaskan pegangan pada hulu pedang dan cepat merangkul tubuh gurunya sebelum jatuh terbanting ke tanah.

"Guru.... Embah.... Mengapa kau senekad itu...." ujar Mahesa terbata-bata. Sosok tubuh yang tak bergerak dan bermandikan darah itu dibopongnya ke dalam pondok dibaringkannya diatas balai-balai kayu. Dipandanginya jenazah sang guru dengan mata berkaca-kaca.

"Guru, Tuhan sendiri belum mau menjatuhkan hukuman padamu. Mengapa kau mengambil keputusan sendiri...? Aku memaafkan apapun yang telah kau lakukan terhadap kedua orang tuaku. Semoga semua orang mengambil sikap begitu...."

Kata-kata itu meluncur tersendat-sendat dari mulut Mahesa. Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh, melangkah keluar pondok. Udara tampak mendung. Dalam beberapa waktu lagi hujan akan turun. Sebelum hujan turun sebaiknya dia menyempurnakan jenazah gurunya. Sang guru yang telah membunuh ayah dan ibunya, yang telah membantai kakek serta mertuanya. Guru yang telah memusnahkan kehidupan keluarganya, tapi kepada siapa dia tidak menaruh dendam kesumat barang secuilpun.

Mahesa mulai menggali tanah di depan pondok. Menyiapkan kubur untuk Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Setelah lubang yang digali dirasakan cukup dalam maka diapun masuk ke dalam pondok untuk menjemput jenazah gurunya. Tapi baru sampai diambang pintu, kedua kakinya laksana dipantek. Kedua matanya membeliak besar. Jenazah sang guru yang tadi dibaringkan diatas balai-balai kayu, yang masih ditancapi pedang Samber Nyawa lenyap!

"Embah!" seru Mahesa Pemuda itu memeriksa seluruh pondok kecil itu. Membalikkan balai-balai kayu. Tapi jenazah sang guru bersama pedang hitam tetap tidak ditemuinya. "Apa yang terjadi?!" pikir Mahesa sambil tegak tersandar ke dinding pondok. "Seseorang mencuri mayat dan pedang itu...?"

Mahesa lari keluar pondok. Menyelidik. Sama sekali tak ada tanda-tanda kemunculan seseorang dipuncak gunung itu. Menurutnya tak mungkin ada seseorang sanggup mencuri mayat dan pedang itu tanpa diketahuinya. Setan sekalipun tak bakal sanggup melakukannya! Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Pemuda itu duduk terperangah ditepi lobang yang baru digalinya.



***

Apakah sebenarnya yang terjadi? Sesaat sesudah tubuhnya dibaringkan diatas balai-balai dan ditinggal keluar pondok oleh Mahesa, mata kanan Simo Gembong membuka. Kedua tangannya bergerak mencabut pedang yang menancap di dadanya. Darah masih mengucur deras namun dengan melakukan beberapa kali totokan darah itu serta merta berhenti mengalir.

Seperti orang baru bangun tidur saja, manusia sakti ini sambil memegang gulungan pedang di tangan kanan melangkah ke pintu, keluar dari pondok tanpa suara, tanpa diketahui oleh Mahesa yang sibuk menggali lubang. Seperti dikatakan sendiri oleh Embah Jagatnata alias Simo Gembong, berbagai senjata hanya bisa melukainya tapi tak bisa membunuhnya. Satu-satunya yang sanggup mematikannya ialah pedang Samber Nyawa. Samber Nyawa yang asli. Bukan yang palsu yang didapat Mahesa dan yang tadi menusuk dadanya!

Mahesa Kelud duduk termenung ditikungan Kali Brantas, dibawah pohon-pohon bambu. Berbagai pikiran menyamak hati dan kepalanya. Sampai saat itu masih belum tersingkap apa sebenarnya yang terjadi dengan jenazah gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dalam pada itu dia teringat pula pada Wulansari, istri yang ditinggalkannya di puncak Gunung Muria. Sangat rindu dia pada sang istri dan ingin sekali cepat-cepat kembali kepuncak Muria. 

Namun sebelum kabut lenyapnya jenazah Embah Jagatnata dapat disingkapkan, tak mungkin baginya menemui Wulansari. Disamping itu urusannya dengan Kemaladewi belum pula selesai. Benarkah bayi yang ditemuinya di Ujung Kulon itu anak hasil hubungannya dengan gadis itu? Hubungan akibat terjebak oleh manusia jahat Iblis Buntung alias Sitaraga? Dan terngiang ucapan Kemaladewi ditelinga Mahesa sebelum gadis itu lari bersama Raja Lutung dan bayinya.

"Dengar baik-baik, kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti di satu hari akan membunuhmu. Ingat itu! Anak sendiri yang akan membunuh ayahnya!"

Mahesa Kelud usap wajahnya beberapa kali. Kenapa jalan hidupnya penuh liku seperti ini? Kenapa dia tidak mati tenggelam saja di Kali Brantas tempo hari?! Pemuda itu seperti menyesali nasib sendiri. Menyesali kenapa dia harus lahir kedunia kalau hanya akan menghadapi persoalan hidup yang begini rumit.

"Orang muda, kesusahan apakah yang membuat kau duduk termenung di tepi Kali Brantas ini....?" Tiba-tiba satu suara datang menegur.

Astaga! Mahesa Kelud terkejut. Saking begitu dalamnya dia tenggelam dalam persoalan yang dihadapi sampai tidak mendengar kedatangan orang. Berpaling ke kiri Mahesa melihat seorang lelaki berpakaian biru tegak memandang padanya sambil tersenyum. Orang itu memakai caping bambu yang lebar hingga sebagian mukanya tertutup.

"Siapa kau, saudara?" tanya Mahesa. Kembali orang itu tersenyum.

"Seperti kau, akupun kebetulan lewat disini dan melihatmu duduk termenung. Banyak persoalan rupanya?"

"Itu bukan urusanmu...."

"Ah... ah...! Tentu saja bukan urusanku. Tapi ketahuilah. Aku seorang juru ramal. Meski miskin tapi pandai meramal."

Mahesa diam saja seperti tak perduli.

"Apakah kau tak mau diramal?"

Mahesa tetap diam. Malah sebenarnya hendak berdiri dan melanjutkan perjalanan tinggalkan orang itu.

"Apakah kau tidak ingin mengetahui gambaran kehidupanmu dimasa datang? Langkah, rezeki, jodoh dan maut...?" tanya orang yang mengaku peramal tadi.

"Empat hal itu hanya Tuhan yang tahu!" kata Mahesa akhirnya. Sang peramal tertawa.

"Pengetahuan Tuhan memang sejagat luasnya. Pengetahuan manusia tidak ada sepersejutanya! Tapi apakah itu berarti Tuhan menginginkan kita umat manusia menjadi orang bodoh dan hidup tanpa usaha? Dengan belajar kita bisa menemukan berbagai rahasia dalam kehidupan ini. Termasuk pengetahuan tentang masa depan kita. Apalagi kulihat dirimu seperti diselimuti banyak kesulitan. Jika kau tahu langkah masa depanmu bukankah berarti kau bisa melakukan sesuatu. Mencegah hal-hal yang tak diingini....?"

Mahesa terdiam. Dalam hati dia membenarkan juga ucapan juru ramal itu.

"Nah, kau tentu mau kuramal. Ulurkan tangan kirimu. Kembangkan telapak tanganmu...."

Perlahan-lahan Mahesa ulurkan tangan kirinya dengan telapak dibuka lebar-lebar. Si juru ramal pegang tangan kiri Mahesa dan mendekatkan matanya seperti meneliti guratan-guratan yang ada di telapak tangan itu. Tiba-tiba cepat sekali sang juru ramal tekan urat besar di pergelangan kiri Mahesa hingga pemuda ini merasakan sekujur tubuhnya seperti ditusuk jarum.

Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, tangan kanan orang didepannya menyelinap menusuk ke dada kiri. Detik itu juga tubuh pemuda ini kaku tegang tak bisa bergerak tak dapat lagi bersuara! Mahesa hanya bisa merutuk kebodohannya sendiri. Sebetulnya sejak semula dia sudah curiga terhadap orang tak dikenal yang muncul secara tiba-tiba itu. Namun kini semua terlambat sudah.

"Siapa sebenarnya setan alas pembongkong ini?!" tanya Mahesa dalam hati. Kelak pertanyaannya itu cukup lama baru bisa terjawab. Si juru ramal bertepuk tiga kali. Dari balik tikungan sungai muncul sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat.

"Garda! Tolong aku menggotong orang ini ke atas gerobak!" kata juru ramal pada kusir kereta.

Keduanya kemudian menggotong tubuh Mahesa, dinaikkan ke atas gerobak. Bagian atas gerobak itu kemudian ditutup dengan kain lebar tebal hingga ketika gerobak mulai bergerak Mahesa tidak tahu kejurusan mana dia dibawa. Saking jauhnya perjalanan pemuda ini sempat tertidur diatas gerobak yang dipacu kencang itu. Selama perjalanan hanya dua kali kendaraan itu berhenti. Dan selama itu dia sama sekali tidak diberi minum maupun makan!

Ketika akhirnya gerobak itu berhenti dan kain penutup dibuka, Mahesa melihat langit gelap diatasnya tanda saat itu malam hari. Kusir gerobak menggotong tubuhnya bersama lelaki juru ramal lalu membawanya masuk ke dalam sebuah gedung. Mahesa terkejut ketika dia kemudian mengenali gedung itu adalah tempat kediaman bekas Adipati Suto Nyamat yang tewas di tangan Wulandari. Berarti dia berada di Madiun!

Mahesa dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian lelaki juru ramal itu muncul kembali. Dia tegak bertolak pinggang. Sesaat kemudian dia membungkuk menggeledah tubuh Mahesa hingga akhirnya menemukan Pedang Dewa dan Keris Ular Emas.

"Senjata-senjata mustika....." katanya tersenyum puas. Kedua senjata itu kemudian dimasukkannya kedalam sebuah lemari, ditutup dengan tumpukan pakaian. Lalu si juru ramal kembali mendekati Mahesa dan kali ini dia bergerak melepaskan totokan jalan suara pemuda itu. Begitu jalan suaranya pulih Mahesa segera membuka mulut.

"Bagus! Jadi kau ternyata juru ramal palsu. Dengar, jika kau berani mengambil pedang dan keris itu, nyawamu tak akan kuampuni!"
Sang juru ramal tertawa. Aneh! Suara tawanya bukan lagi suara tawa lelaki. Tapi suara tawa perempuan. Merdu nyaring!

"Kau sendiri akan segera mampus! Bagaimana bisa mengampuni nyawaku?!"

"Keparat! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Mahesa.

"Siapa aku? Sebentar lagi kau akan lihat!" Sang juru ramal palsu buka topi capingnya dan lemparkan ke sudut kamar. Rambutnya yang putih dijambaknya. Kini kelihatan rambut lain dibawah rambut itu dan berwarna hitam berkilat. Lalu dia tarik lepas selembar kulit tipis dari wajahnya. Ternyata wajah dibalik kulit itu adalah wajah seorang gadis cantik jelita.

"Kau!" seru Mahesa kaget. Si gadis tersenyum.

"Sekarang kau tahu siapa aku!"

"Kau... kau Retno! Puteri tunggal Suto Nyamat!"

"Tepat sekali!" kata sang dara.

"Kenapa kau lakukan ini? Aku tidak ada permusuhan denganmu!"

Sang dara tertawa panjang. Tiba-tiba wajahnya yang cantik tampak berubah buas. "Tidak ada permusuhan katamu? Ngacok! Dusta besar! Kau punya andil segudang atas kematian ayahku!"

"Dia memang pantas mati sesuai dengan dosanya yang setumpuk langit! Lagi pula sahabatku yang membunuhnya!"

"Tidak sangka kau terlalu pengecut mengakui keterlibatanmu! Apapun dalihmu kematian ayahku menjadi tanggungjawabmu! Sayang kawanmu yang perempuan itu... siapa namanya? Wulansari? Sayang dia tak ada bersamamu. Tapi tak mengapa. Lain waktu aku pasti berhasil menangkapnya!"

"Apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"" tanya Mahesa.

"Coba kau terka. Atau kau ada usul ingin mampus cara bagaimana?"

Mahesa merasakan tengkuknya dingin. Dalam keadaan tertotok tak berdaya seperti itu mudah sekali bagi Retno untuk membunuhnya. Dan kalau memang nasibnya harus mati di tangan gadis itu, diapun tidak takut.

"Kalau kau memang ingin membunuhku, lakukan dengan cepat!" kata Mahesa.

"Sebetulnya memang itu niatku sejak kau dan kawanmu membunuh ayah. Tapi kalau aku bisa mendapatkan keuntungan dari kematianmu mengapa tidak kulakukan...?"

"Apa maksudmu?!" Tanya Mahesa penasaran.
"Aku akan menjual nyawamu pada hartawan Prajadika!" sahut puteri Suto Nyamat.

Hartawan Prajadika. Siapa manusia ini. Mahesa coba mengingat-ingat. Dan dia ingat. Hartawan itu seorang terkemuka di Kotaraja yang dekat dengan kalangan istana. Putera hartawan tersebut, yang bernama Prajakuncara adalah murid Niliman Toteng, seorang tokoh silat sesat berkepandaian tinggi bergelar Iblis Jangkung.

Prajakuncara mati di tangan Mahesa, dalam kamarnya ketika hendak memperkosa Wulansari. Kalau begitu sang hartawan mendendam setengah mati terhadapnya dan inginkan jiwanya sebagai pengganti kematian puteranya. Kini Mahesa mengetahui apa yang ada dalam benak Retno dan menjadi latar belakang perbuatannya saat itu. Di pintu terdengar ketukan.

"Masuk!" kata Retno tanpa berpaling dari Mahesa yang terus diawasinya. Pintu terbuka lalu tertutup kembali. Dua orang berpakaian serba biru berbadan tinggi kekar masuk. Mereka adalah hulubalang istana kelas tiga yang saat itu mengenakan pakaian preman dan menjalankan perintah seorang pejabat tinggi istana untuk kepentingan hartawan Prajadika.

"Kalian boleh membawa orang ini. Tapi sesuai perjanjian serahkan dulu uang imbalan!" berkata puteri Suto Nyamat.

"Jangan kawatir den ayu Retno. Uang sudah kami siapkan!" Lalu salah seorang dari dua hulubalang itu mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaian birunya.   Terdengar suara bergemerincing. Retno menerima dan memeriksa isi kantong itu. Dia tersenyum puas dan melemparkan kantong itu ke dalam lemari.

"Perjanjian dipenuhi. Silahkan bawa orang itu."

"Den ayu Retno. Ada satu hal yang ingin kami tanyakan….." berkata hulubalang disebelah kanan.

"Tanyakan cepat!"

"Ketika kau pertama kali menangkap pemuda ini, apakah kau juga menemui sesuatu di tubuhnya? Menurut pengetahuan kami dia memiliki lebih dari satu senjata mustika..."

"Soal senjata tidak termasuk dalam perjanjian. Raden Mas Prajadika hanya menginginkan nyawanya. Bukan yang lain-lain. Lagi pula ketika kuperiksa, aku tidak menemukan apa-apa padanya," menjelaskan Retno.

"Kalau memang begitu baiklah. Kami akan membawanya dan minta diri...."

Lalu tubuh Mahesa digotong dan dinaikkan ke atas sebuah kereta. Malam itu juga dia dibawa ke gedung kediaman Prajadika di Kotaraja. Mahesa tidak takut apapun yang bakal terjadi atas dirinya. Yang dicemaskannya adalah Pedang Dewa dan Keris Ular Emas yang telah dirampas oleh puteri Suto Nyamat. Kalau senjata itu sampai jatuh ketangan manusia-manusia jahat tak bertanggung jawab atau tokoh silat sesat lainnya, maka akan celakalah dunia persilatan!

Disamping itu pemuda ini juga merasa heran, dari mana Retno mendapat kepandaian menyamar dan menotok. Setahunya gadis itu bukanlah seorang yang pernah mendapat pengajaran ilmu silat.



***

Kita tinggalkan dulu Mahesa Kelud yang mengalami nasib sial. Kita ikuti apa yang kemudian dilakukan Simo Gembong alias Embah Jagatnata begitu dia berhasil menyelinap keluar dari pondok di puncak Gunung Kelud. Orang tua berwajah angker ini lari secepat angin menuruni gunung ke arah timur. Dia sama sekali tidak merasakan perihnya luka bekas tusukan pedang Samber Nyawa palsu di dadanya.

Sepanjang berlari senantiasa terbayang olehnya wajah Dewi Maut, apapun yang terjadi dia harus menemui perempuan itu. Ada dua maksud terkandung dalam hati orang tua ini. Pertama untuk menjajagi kemungkinan hidup bersama. Selama hidupnya manusia ini telah puluhan kali menculik anak gadis dan istri orang.

Namun harus diakuinya Dewi Maut adalah perempuan paling cantik yang pernah ditemui dan kepada siapa sebenarnya hatinya terpikat. Siapa tahu kini perempuan itu yang kabarnya awet muda dapat dibujuk melupakan kejadian masa lalu dan hidup bersama. Kawin jadi, tanpa nikahpun tak jadi apa!

Tujuan kedua ialah jika dia tidak berhasil membujuk Dewi Maut maka dia akan minta agar perempuan itu membunuhnya dengan pedang Samber Nyawa. Karena jika dia memberikan pedang yang palsu pada Mahesa berarti dia memiliki pedang yang asli.

Namun setelah sekian tahun mengucilkan diri di puncak Gunung Kelud, tidak lagi mencampuri segala macam urusan duniawi, kini setelah turun dari puncak gunung itu memasuki kehidupan dunia nyata apakah dia tidak akan terpikat lagi untuk melakukan kejahatan dan kebejatan seperti dimasa mudanya?

Disamping itu sekali dia diketahui muncul kembali dalam dunia persilatan, apakah sekian banyak manusia yang pernah disakitinya dan mendendam sampai mati akan berdiam diri saja? Hal ini tidak pernah terfikirkan oleh Simo Gembong. Dia lari terus menuju ke timur. Tujuannya adalah Pulau Mayat.

Siang itu, setelah dua hari dia meninggalkan Gunung Kelud, Simo Gembong sampai di Gucialit, sebuah desa subur dikaki tenggara pegunungan Tengger. Dimulut jalan yang menuju ke desa perhatiannya terbagi pada serombongan orang yang berpakaian serba bagus. Disebelah depan terdapat lima orang membawa bendera-bendera besar. Ke lima orang ini diikuti oleh serombongan penabuh rebana dan alat-alat bebunyian lainnya termasuk sebuah gong besar.

Disebelah belakang enam orang lelaki bertubuh tegap memanggul sebuah tandu yang dihias aneka warna gaba-gaba. Dikiri kanan tandu dan dibagian belakangnya bersenjata melangkah selusin lelaki golok terhunus. Rupanya mereka bertindak sebagai pengawal tandu. Lalu menyusul beberapa orang lelaki dan perempuan. Yang lelaki berpakaian bagus rapi dan gagah, menyisipkan keris di pinggang sedang para perempuan berdandan cantik lengkap dengan perhiasan.

Perhatian Simo Gembong tidak tertuju pada perempuan-perempuan cantik yang melangkah dibarisan belakang itu. Matanya yang hanya satu itu senantiasa mengarah pada tandu. Di atas tandu yang ditutup dengan kain merah muda tipis itu duduk seorang gadis dalam pakaian pengantin yang gemerlapan. Wajahnya berseri-seri. Sebentar lagi dia akan sampai di rumah pengantin pria, duduk disandingkan dengan pemuda yang hari itu bakal menjadi suaminya.

Simo Gembong beberapa kali mengusap mukanya. Setan mulai merasuk hatinya. Dicobanya menghindar bujukan iblis dengan membayangkan Dewi Maut kekasihnya dimasa muda.

Namun yang lebih nyata dihadapannya jauh lebih menawan. Tak dapat lagi menahan goncangan jiwanya yang selama ini tidak pernah menyentuh kehidupan duniawi maka orang tua inipun memapasi rombongan tersebut di sebelah tengah, langsung melompat ke atas tandu. 

Enam orang pemandu tandu tersentak kaget ketika melihat satu bayangan cepat sekali menyambar tubuh pengantin. Tandu terjungkir balik. Sang pengantin terdengar memekik. Dua belas pengawal bertindak cepat. Pemimpinnya membentak garang.

"Penculik keparat! Lepaskan pengantin!"

Simo Gembong menyeringai. Mulutnya komat kamit. Tanpa berkata apa-apa dia berkelebat cepat tinggalkan tempat itu yang serta merta menjadi gaduh. Tiga pengawal di tambah pemimpinnya tadi berusaha mencegah sambil membabatkan golok masing-masing ke bagian bawah tubuh Simo Gembong.

Mereka tak berani menghantam sebelah atas karena takut akan mencelakai pengantin perempuan. Empat serangan itu dielakkan Simo Gembong dengan sangat mudah. Sebelum lenyap dia masih sempat menghadiahkan tumitnya ke dada pemimpin pengawal hingga orang ini terhempas roboh muntah darah!

Sejak peristiwa penculikan pengantin di Gucialit itu mata dan telinga rimba persilatan tiba-tiba saja menjadi terbuka. Ciri-ciri si penculik yang disebar dan dituturkan dari mulut kemulut jelas seperti ciri-ciri Simo Gembong. Benarkah manusia ini muncul kembali setelah sekian lama tak pernah terdengar lagi kabar beritanya?

Diduga sudah mati benarkah dia masih hidup? Dan kini muncul dengan membawa kejahatan bejad masa lalunya? Mulai lagi menebar angkara murka, menculik dan membunuh?! Tampaknya bencana itulah yang bakal melanda dunia persilatan kembali. Buktinya korban pertama telah jatuh!


***

Hujan lebat baru saja berhenti. Di dalam sebuah rumah kayu bertingkat yang terletak di lereng sebuah bukit, ditingkat atas duduk tiga orang tua mengelilingi sebuah meja. Di atas meja ada lampu minyak yang berkelap kelip setiap kali angin datang meniupnya. Lelaki yang duduk di ujung meja sebelah kanan mengenakan pakaian serba putih dan memakai sorban. Namanya Ki Ampel Sampang. Dia adalah seorang pengurus Pesantren Megasuryo yang terletak di Sampang, Madura.

Di sebelah kirinya duduk kakek tua berbadan kurus, mengenakan baju hitam lengan panjang dan celana hitam sebatas betis juga berwarna hitam. Dia memakai destar hitam di kepalanya. Sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan berwarna hitam legam. Orang tua ini dikenal dengan julukan Kelabang Hitam.

Lelaki ketiga yang duduk di hadapan Kelabang Hitam memiliki wajah aneh menyeramkan. Kepalanya seperti tidak berdaging lagi dan tanpa rambut sama sekali. Wajahnya hampir tidak ada beda dengan sebuah tengkorak. Sepasang matanya cekung. Dia mengenakan jubah biru gelap. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar terbuat dari bangkai ular Sanca.

Saat itu dialah yang menjadi pimpinan dalam pembicaraan karena diantara mereka bertiga memang dialah yang diketahui paling tinggi ilmu kepandaiannya. Namanya tak ada yang tahu tapi julukannya menggetarkan rimba persilatan yakni Datuk Ular Muka Tengkorak.

"Jika kalian berdua setuju, kita akan coba menghadang iblis bermata satu itu di Lembah Suket. Karena jika benar dia menuju ke timur pasti dia ingin mencari kekasih lamanya si Dewi Maut. Dan pasti dia akan melewati Lembah itu. Lembah yang penuh kenangan dimasa mudanya.

"Datuk Ular," Kelabang Hitam ganti bicara. "Aku tahu pengetahuanmu tentang  tindak tanduk Simo Gembong luas sekali. Hanya dapatkah kau menerangkan apa alasanmu bahwa dia pasti menuju ke timur?"

"Aku menyokong pertanyaan sahabat Datuk Ular," ikut berkata Ki Ampel Sampang. "Lagi pula bukankah markas tempat kediaman Dewi Maut di Pulau Mayat diobrak abrik seorang pendekar muda dua bulan berselang?"

Datuk Ular Muka Tengkorak manggut-manggut beberapa kali. "Kalian benar. Kita harus mempergunakan perhitungan yang matang. Agar tidak membuang tenaga dan waktu."

Sesaat dia mengusap muka tengkoraknya lalu meneruskan. 
"Turut penyelidikan, dari salah seorang anak buah Dewi Maut yang melarikan diri setelah kediamannya dihancurluluhkan, ternyata Dewi Maut tidak mati. Perempuan itu masih hidup. Berarti pula dia akan menuju ke timur. Apalagi sudah ada kenyataan bahwa saat ini dia berada di antara Gunung Kelud dan Lembah Suket. Terus terang segala sesuatunya diatas perhitungan segala kemungkinan. Kalau kita tidak berusaha atau melakukan sesuatu, kemungkinan itu tidak bakal menjadi kenyataan. Dan berarti tak ada sesuatupun yang bisa kita lakukan untuk mencegah angkara murka Simo Gembong. Atau apakah kita harus menunggu sampai banyak korban berjatuhan?"

Tiba-tiba diluar sana terdengar suara tawa membahak membahana! "Para sahabat! Jangan lupakan aku!"

Bersamaan dengan lenyapnya ucapan itu pintu ditingkat atas bangunan terpentang lebar. Sesosok tubuh berjubah merah berkelebat masuk. Jubahnya penuh dengan gambar bunga-bunga yang semuanya berwarna merah. Tiga orang tua yang ada dalam ruangan, kalau tadi tersentak kaget dan bersiap waspada, kini mereka menarik nafas lega. Ternyata yang datang adalah kawan sealiran.

"Pendekar Kembang Merah!" seru Kelabang Hitam.

"Kami gembira kau muncul!"

"Makin banyak jumlah kita makin baik!" kata Ki Ampel Sampang.

Datuk Ular Muka Tengkorak menarik kursi dihadapannya dan mempersilahkan Pendekar Kembang Merah duduk. "Para sahabat, angin membawa kabar pertemuan ini padaku. Karenanya jangan jengkel kalau aku datang tanpa diundang!" berkata Pendekar Kembang Merah.

Ki Ampel Sampang tersenyum. "Untuk melakukan sesuatu kebaikan mengapa harus menunggu undangan? Mari kita duduk dan membicarakan masalah yang tengah kita hadapi."

Maka dengan kedatangan anggota baru, pertemuan itu diulang dan digodok kembali. Keempatnya sepakat untuk menghadang Simo Gembong di Lembah Suket. Selesai perundingan Ki Ampel Sampang berdiri.

"Kawan-kawan, aku mohon diri lebih dulu. Ada seorang sahabat lama yang harus kusambangi sebelum berangkat ke Suket. Sampai bertemu pada hari yang ditentukan disana….." Pengurus Pesantren Megasuryo ini menjura lalu tinggalkan ruangan. Tiga orang lainnya menjelang pagi baru meninggalkan tempat tersebut.


LEMBAH SUKET
Lembah ini terletak antara kaki Gunung Suket dan Gunung Raung. Merupakan lembah subur tetapi hampir tak pernah didatangi manusia, apalagi untuk didiami. Disini, ditepi sebuah telaga berair aneka warna akibat pantulan pepohonan dan langit biru diatasnya, terdapat sebuah bangunan kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Atapnya banyak yang bocor.

Dinding dan lantainya banyak yang sudah dimakan bubuk atau rayap. Daun jendela dan daun pintu pada miring hampir tanggal. Bangunan yang diselimuti debu dan sarang laba-laba itu meskipun kecil tapi tampak angker. Tiga orang itu berlindung dibalik semak belukar rapat di tepi telaga diseberang rumah kayu. Mereka tak banyak bicara. Kalaupun harus bicara maka mereka harus berbisik-bisik. Sesekali terdengar burung berkicau atau gerakan binatang melata yang menggeresek semak belukar.

Tiga pasang mata mereka tiada henti-hentinya memandang ke arah bangunan. Mereka berada di tempat itu sejak dini hari tadi. Dan kini hari telah pagi, matahari mulai naik. Sampai matahari tinggi menjelang tengah hari apa yang mereka tunggu masih belum tampak. Mereka seperti mulai gelisah. Salah seorang diantara ketiganya yakni Pendekar Kembang Merah berbisik,

"Manusia angkara murka itu belum muncul. Tetapi adalah mengherankan mengapa sahabat kita Ki Ampel Sampang masih belum datang?"

Datuk Ular Muka Tengkorak sebenarnya sudah sejak tadi menindih rasa was-wasnya. Bukan kawatir karena Simo Gembong masih belum muncul, tapi was-was karena Ki Ampel Sampang tidak kunjung datang. Sebelum berpisah malam itu, Ki Ampel Sampang mengatakan akan menyambangi seorang sahabat lama. Kalau hanya sekedar menyambangi, pasti saat itu dia sudah sampai di Lembah Suket.

Dia memandang ke arah rumah kayu di seberang sana. Dulu di rumah itulah Simo Gembong pernah hidup bercinta mesra dengan Dewi Maut. Sebagaimana sifat dan kebiasaan Simo Gembong, cinta mesra itu hanya tipuan busuk belaka. Setelah bosan maka ditinggalkannya   Dewi   Maut mentah-mentah. Dicari kian kemari akhirnya Dewi Maut berhasil menemukan Simo Gembong. Keduanya berkelahi puluhan jurus.

Dengan pedang Samber Nyawa di tangan lawan, Simo Gembong tak berkutik dan akhirnya melarikan diri setelah kupingnya sebelah kanan ditebas puntung. Seharusnya dihari tuanya Simo Gembong menanam dendam terhadap perempuan itu. Tetapi justru semakin dikenang, semakin mendalam rasa sukanya.

"Datuk, berapa hari menurutmu kita menunggu disini...?" Kelabang Hitam bertanya berbisik.

Datuk Ular merenung. Lalu menjawab, "Sampai dua hari dimuka. Jika dia tidak muncul kita langsung ke pantai timur. Bila perlu menyeberang ke Pulau Mayat....."

"Tapi, Pulau Mayat itu… apakah kita tahu jelas dimana letaknya?" Tanya Pendekar Kembang Merah.

"Aku bisa menduga dimana letaknya. Berdasarkan keterangan anak buah Dewi Maut yang melarikan diri. Sayang, kalau dia berada bersama kita, kita tak akan susah-susah mencari pulau itu..."

Ketiganya berdiam diri. Kembali tempat itu diselimuti kesunyian. Mendadak ketiga orang itu serentak berpaling saling pandang! Jauh didalam kerapatan pepohonan dibelakang rumah kayu tiba-tiba terdengar suara sesuatu. Suara berbunyian!

"Itu suara rebab!" bisik Pendekar Kembang Merah.

"Ya.... ada seseorang menggesek rebab," balas berbisik Datuk Ular.

Ketiga orang itu memasang telinga dalam tegang. "Mungkinkah itu Simo Gembong ....?" ujar Kelabang Hitam.

"Aku menyangsikan," sahut Datuk Ular. "Manusia sejahat Simo Gembong mana tahu segala macam peralatan bebunyian. Kita tunggu saja. Mungkin aku bisa menduga siapa adanya pemain rebab itu...."

Sementara itu suara rebab yang semula digesek perlahan kini terdengar mengalun semakin keras, tetapi lagu yang diperdengarkannya bernada sedih memilukan. Sejurus kemudian suara alunan rebab itu dibarengi dengan suara nyanyian. Yang menyanyi adalah seorang perempuan!

Tiga tokoh silat dibalik semak belukar kembali saling pandang. Pendekar Kembang Merah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu tapi Datuk Ular Muka Tengkorak cepat memberi isyarat seraya berbisik:
 "Dengar saja nyanyian itu. Akurasa-rasa mulai mengenali siapa orangnya."

Di utara Gunung Suket
Di selatan Gunung Raung
Di tengah-tengah lembah subur
Menghias danau indah berair bening

Rumah tua saksi bisu
Seribu dosa seribu dendam
Apakah saat pembalasan sudah datang?

Di utara Gunung Suket
Di selatan Gunung Raung
Rumah tua saksi bisu
Tapi mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli

Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi!

 
"Datuk....." bisik Kelabang Hitam tak dapat menahan hati. "Kira-kira kau tahu siapa yang dimaksudkan kalian oleh penyanyi itu?"

"Juga apa yang dimaksudkannya dengan yang tidak bernafas lagi?" ikut bertanya Pendekar Kembang Merah. Datuk Ular tak segara dapat menjawab. Suara nyanyian dan alunan rebab semakin memilukan.

Mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli
Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi!
Buka mata pentang telinga
Melangkah datang jangan hanya
sembunyi!


Datuk Ular mengusap wajahnya. Dia memandang pada dua sahabat didepannya. "Nyanyian itu jelas ditujukan pada kita....." bisiknya. "Kita harus melakukan sesuatu….."

"Mendatangi penyanyi itu?" Tanya Pendekar Kembang Merah.

"Ya, tapi itu nanti. Yang perlu saat ini kita harus memeriksa rumah tua itu...."

"Maksudmu Simo Gembong sudah ada di dalam rumah tua itu?"

"Tak dapat kupastikan. Mari kita memeriksa!" jawab Datuk Ular lalu memberi isyarat pada Pendekar Kembang Merah dan Kelabang Hitam untuk mengikutinya. 

Ketiganya melangkah dengan hati-hati mendekati rumah tua di tepi telaga. Mereka tak berani masuk. Jika Simo Gembong benar ada di dalam maka mereka akan menjadi sasaran empuk pembokongan. Lewat jendela dan pintu yang terbuka di sebelah depan mereka dapat melihat sebagian ruangan di dalam rumah kayu itu. Ketiganya kemudian melangkah ke samping bangunan.

Tepat dijendela samping yang hampir tanggal Datuk Ular dan dua kawannya melengak kaget. Di sana, di dalam rumah sesosok tubuh berpakaian serba putih dengan sorban hampir terjatuh dari kepalanya, tampak tergantung telah jadi mayat dengan lidah terjulur dan mata mencelet!

"Ki Ampel Sampang!" ujar Datuk Ular dengan mulut bergetar. Melupakan bahaya kalau sekiranya Simo Gembong memang ada dalam bangunan itu, Datuk Ular berkelebat masuk ke dalam rumah lewat jendela. Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang Merah ikut melompat masuk. Ketiganya segera menurunkan tubuh Ki Ampel Sampang setelah terlebih dulu memutuskan tali penggantung.

"Pasti Simo Gembong yang melakukan ini!" kata Datuk Ular.

"Berarti dia sudah ada di tempat ini!" kata Pendekar Kembang Merah dan memandang cepat berkeliling dengan wajah tegang. 

Mayat Ki Ampel Sampang mereka baringkan dilantai rumah. Datuk Ular memeriksa dengan cepat. Terdapat beberapa tanda merah di kedua lengan pengurus Pesantren Megasuryo itu. Rupanya sebelumnya terjadi perkelahian. Ketika dada pakaian putihnya disingkap, kelihatan tanda hitam di bagian kiri. Itulah pukulan maut yang mematikan.

"Selagi sakarat tubuhnya digantung!" kata Datuk Ular menarik kesimpulan.

"Biadab!" kutuk Kelabang Hitam. Di luar sana masih terdengar terus suara alunan rebab dan nyanyian.

"Kalian berdua tunggui mayat ini disini," kata Datuk Ular. "Aku akan menemui penyanyi itu. Dia pasti tahu apa yang telah terjadi. Datuk Ular cepat melangkah ke pintu belakang rumah. Namun sebelum sempat mencapai pintu dari atap bangunan tua itu terdengar suara tawa bergelak. Dilain saat atap bangunan ambruk jebol dan sesosok tubuh melayang turun.

"Simo Gembong! "seru ketiga orang itu serempak.

Yang melompat turun itu memang Simo Gembong, rambutnya gondrong awut-awutan. Kedua kakinya yang memakai akar bahar tegak terkembang dalam kuda-kuda silat yang kokoh. Hidungnya yang pesek kembang kempis sedang mata kanannya tampak melotot merah menyapu ketiga orang dihadapannya. Dari mulutnya masih mengumbar suara tawa.  Begitu suara tawa lenyap dia pun membentak.

"Kalian sudah saksikan apa yang terjadi?! Apakah kini masih punya nyali untuk meneruskan rencana kalian?!"

"Manusia iblis! Kematian bukan apa-apa bagi kami orang persilatan golongan putih. Apalagi demi menghancurkan angkara murka!" Yang menjawab adalah Datuk Ular.

Simo Gembong tertawa mengekeh. "Datuk Ular, Datuk Ular... Nada bicaramu seperti pemain sandiwara saja. Kau hendak jadi pahlawan rupanya!"

Pendekar Kembang Merah maju selangkah tapi segera dihardik.

"Berani lagi kau maju satu langkah, selembar nyawamu akan minggat dari tubuh!"

"Simo Gembong manusia keparat!" balas membentak Pendekar Kembang Merah. "Dosamu selangit tembus! Hari ini kami bertiga justru datang untuk mengambil nyawamu!"

"Ha ha ha…..! Tadinya kalian berempat, kini hanya tinggal tiga. Sebentar lagi tumpas semua!"

Datuk Ular letakkan tangan kanannya diatas kepala ular sanca yang jadi ikat pinggangnya. "Beberapa tahun lalu kalian menculik murid-murid kami. Merusak kehormatan mereka lalu membunuh mereka! Beberapa lama mengucilkan diri ternyata tidak membuat kau bertobat! Malah sebulan lalu kau mulai mengganas kembali. Menculik seorang pengantin di desa Gucialit!"

"Lalu apa urusan kalian dengan pengantin perempuan itu?!" sentak Simo Gembong.

Kelabang Hitam buka pakaiannya di bagian dada. Pada kulit dadanya yang tersingkap kelihatan rajah gambar seekor kelabang besar.

Simo Gembong menyeringai. "Kenapa kau tidak buka celana sekalian. Biar kulihat apakah dibawah perutmu juga ada gambar kelabang jelek itu!" kata Simo Gembong mengejek.

Kelabang Hitam mengelam dan membesi mukanya. "Sahabat! Tak ada gunanya bicara berlama-lama dengan manusia iblis mata picak ini! Lebih cepat kita kirim dia menemui teman-temannya di neraka akan lebih baik!" Habis berkata begitu Kelabang Hitam melompat sambil menggapaikan tangan kanannya yang berkuku panjang dan mengandung racun jahat.

Sreeettt.....!

Tangan kanan Simo Gembong bergerak. Sebuah benda yang tadi tergulung, membuka panjang dan memancarkan sinar hitam. Kagetlah ketiga orang itu.

"Pedang Samber Nyawa!" seru Pendekar Kembang Merah. Dia mengenali senjata yang jadi buah bibir rimba persilatan itu tapi tidak mengetahui kalau senjata itu adalah pedang palsu meskipun memancarkan sinar hitam pekat yang menyeramkan. Datuk Ular dan Kelabang Hitam ikut tercekat. Ketiganya sama mengetahui. Siapa yang memegang pedang Samber Nyawa maka dia akan menguasai dunia persilatan! Dan kini mereka menghadapi lawan yang memiliki senjata luar biasa itu!

Menghadapi kenyataan ini maka Datuk Ular segera loloskan senjatanya dari pinggang. Yakni bangkai ular sanca besar. Kelabang Hitam alirkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan hingga jari-jari tangan sampai ke kuku memancarkan sinar hitam. 

Pendekar Kembang Merah susupkan tangan ke balik pakaian. Sesaat kemudian selusin bunga berwarna merah tampak tergenggam ditangannya. Memang inilah senjata sang pendekar. Sejenis bunga yang terbuat dari kertas, mengandung racun jahat dan sanggup menghancurkan pohon atau batu besar sekalipun!

"Majulah kalian bertiga sekaligus! Jangan takut aku akan tidak akan mencap kalian sebagai pengeroyok-pengeroyok pengecut! Dengan maju serentak lebih mudah dan lebih cepat bagiku membantai kalian!"

Kata-kata Simo Gembong itu membakar amarah ketiga tokoh silat dihadapannya. Tanpa banyak bicara lagi Datuk Ular, Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang Merah menyerbu serentak dari tiga jurusan. Sepuluh larik sinar hitam yang memancar dari kuku Kelabang Hitam menderu laksana sepuluh kelabang yang menggapai mangsanya dalam kecepatan kilat.

Dari samping kiri sebuah kembang kertas merah melesat mencari sasaran di leher Simo Gembong. Lalu dari depan, kepala ular sanca mati yang merupakan senjata Datuk Ular membuat gerakan membeset dari kiri ke kanan, seperti hendak membabat putus pinggang guru Mahesa Kelud itu.

Bagaimanapun Simo Gembong mengejek dan memperhinakan ketiga lawannya tadi namun dia tahu betul kalau tiga orang yang dihadapinya itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Meskipun jauh dari perasaan takut namun dia tak mau bertindak ayal. Pedang Samber Nyawa Palsu yang dialiri dengan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya diputar setengah lingkaran. Senjata itu menderu memancarkan sinar hitam menggidikkan!

Tring!

Kembang merah yang menyerang dari sebelah kiri hancur berantakan tapi salah satu bagian pada mata padang di tangan Simo Gembong menjadi gompal! Pedang terus membabat ke arah kedua tangan Kelabang Hitam, membabat putus. Tapi saat itu yang punya tangan sudah tarik pulang kedua tangannya, sambil membuat lompatan jungkir balik Kelabang Hitam layangkan tendangan kaki kiri ke bawah perut lawan sementara dari atas kedua tangannya kemudian kembali menggapai ke batok kepala Simo Gembong.

Orang tua bermata satu itu tekuk kedua lututnya. Sesaat kemudian tubuhnya rebah ke belakang. Bukan saja sekaligus dia menghindari tendangan serta cakaran Kelabang Hitam, tetapi disaat yang sama dia berhasil pula mengelakkan sambaran senjata Datuk Ular. Sambil menggulingkan diri di lantai lapuk, Simo Gembong kembali babatkan pedang Samber Nyawa Palsu ke arah lawannya terdekat yakni Pendekar Kembang Merah.

Jengkel lemparan kembang mautnya tadi dapat ditangkis lawan, Pendekar Kembang Merah kini lemparkan dua bunga merah beracun sekaligus. Lemparannya kali ini bukan lemparan biasa karena dari kedua bunga kertas itu tampak bertaburan debu merah yang mengandung racun! Simo Gembong kertakkan rahang. Dia pukulkan tangan kirinya ke arah dua kembang kertas. Hebat sekali!

Dua kembang kertas berikut debu beracunnya membalik menghantam ke arah pemiliknya. Pendekar Kembang Merah cepat merunduk. Tapi sambaran debu beracun masih sempat menghantam jalan hafasnya. Masih untung dia cepat menutup jalan nafas lalu melompat menjauh sambil lepaskan lagi satu kembang kertas. Bangkai ular ditangan Datuk Ular berkelebat menderu-deru. Senjata ini setiap saat bisa berubah menjadi tongkat keras atau seperti ular benaran yang mematuk atau menelikung tubuh lawan. 

Cakaran sepuluh kuku Kelabang Hitam datang tiada henti. Setelah bertempur lebih dari dua belas jurus kelihatannya ketiga lawan itu mulai berhasil mendesak Simo Gembong. Sementara itu di belakang rumah masih terdengar alunan rebab dan suara orang menyanyi. Pada jurus ke dua puluh tiga Simo Gembong mempercepat gerakannya. Sebentar saja dia berhasil keluar dari himpitan serangan ketiga lawan. 

Pedangnya telah beberapa kali dipakai menangkis bunga kertas yang dilemparkan Pendekar Kembang Merah. Akibatnya mata pedang semakin banyak yang gompal. Mengetahui hal ini Pendekar Kembang Merah tambah bersemangat namun menjadi kawatir ketika menyadari bahwa persediaan senjata anehnya itu hanya tinggal empat buah!

Datuk Ular kini tahu kalau pedang di tangan Simo Gembong bukan benar-benar pedang Samber Nyawa yang sakti. Pedang asli tak mungkin akan gompal dihantam bunga merah Pendekar Kembang Merah. Maka semangat sang datuk jadi berkobar kembali. Gempuran bangkai ular sancanya semakin menggebu-gebu. Malah kini dia semprotkan sejenis racun biru dari mulut ular itu. 

Kelabang Hitam berkelebat cepat dan ganas kian kemari. Sepuluh jari tangannya berkelebat tiada henti. Demikian hebatnya serangan ketiga orang itu namun mereka masih belum sanggup merobohkan Simo Gembong. Memasuki jurus ke empat puluh dua, terjadilah gebrakan hebat. Kelabang Hitam melihat kesempatan baik ketika Simo Gembong sibuk menghadapi gempuran senjata bangkai ular sanca sementara bunga terakhir milik Pendekar Kembang Merah meluncur ke arah batok kepala kakek itu. 

Karena menganggap serangan kembang dan hantaman bangkai ular lebih berbahaya maka Simo Gembong tidak begitu ambil perhatian terhadap serangan Kelabang Hitam yang datang dari kiri. Dengan bacokan ganas serta pukulan tangan kiri yang dahsyat dia melabrak bunga merah terakhir dan membuat Datuk Ular terpaksa mundur. 

Ketika serangan sepuluh kuku Kelabang Hitam datang Simo Gembong hanya sempat miringkan tubuh. Tapi pinggangnya tak mungkin diselamatkan. Dengan menggembor marah kakek ini biarkan pinggangnya terkena cakaran kuku-kuku beracun itu. Dia tak perlu kawatir karena saat itu dia membekal obat penawar racun yang ampuh.

Bret... bret...!

Pinggang pakaian Simo Gembong robek besar. Daging tubuhnya di bagian pinggang tampak tergurat dalam. Luka dan darah yang mengucur keluar kelihatan bukannya merah tetapi berwarna hitam tanda racun kuku Kelabang Hitam benar-benar ganas. 

Keberhasilannya menciderai lawan membuat Kelabang Hitam berlaku ayal. Dia tak sempat mengelak ketika kaki kanan Simo Gembong berdesing dan mendarat dipertengahan dadanya. Kelabang Hitam mencelat, terhempas ke dinding lapuk. Dinding ini jebol dan tubuh Kelabang Hitam mental keluar rumah, jatuh tergelimpang di tepi telaga tanpa berkutik lagi. Isi dadanya di sebelah dalam luluh lantak. Tokoh ini mati dengan mata membeliak. Simo Gembong mengekeh.

"Kalian sudah siap menyusul Kelabang Hitam?" tanyanya mengejek.

Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah tidak menyahut. Sang datuk lipat gandakan kecepatan serangannya. Seluruh tenaga dalam dikerahkan. Bangkai ular di tangan kanannya menderu laksana badai. Sebaliknya Pendekar Kembang Merah yang kini tidak memiliki senjata lagi hanya mampu meneruskan serangan dengan tangan kosong. Jelas dia merupakan titik kelemahan dari hujan serangan itu. Dan hal ini diketahui benar oleh Simo Gembong yang punya segudang pengalaman.

Maka dia pun pusatkan serangan mematikan ke arah lawan yang satu ini. Dalam satu kesempatan dia lemparkan pedang Samber Nyawa palsu di tangan kanannya ke arah Pendekar Kembang Merah disaat pendekar ini kehilangan keseimbangan akibat pukulannya mengenai tempat kosong. Pendekar Kembang Merah tak mungkin berkelit.

Datuk Ular tak mungkin menolong kawannya karena saat yang sama diapun harus selamatkan diri dari hantaman tangan kiri Simo Gembong yang dahsyat dengan jatuhkan diri. Angin pukulan Simo Gembong menghantam dinding rumah. Rumah tua itu semakin hancur berantakan dan atapnya miring ke kiri, siap untuk roboh!

Paras Pendekar Kembang Merah menjadi sepucat kain kafan. Dia sadar nyawanya tak tertolong lagi. Simo Gembong tertawa mengekeh. Pedang Samber Nyawa hanya tinggal sejengkal lagi siap menembus perut Pendekar Kembang Merah. Tiba-tiba terdengar suara rebab melengking tinggi menusuk liang telinga. Dikejap yang sama berkiblat sinar putih kekuningan. Begitu sinar ini menghantam pedang Samber Nyawa maka senjata itu mental patah dua!

Simo Gembong melompat mundur dengan wajah kaget sekaligus tegang. Datuk Ular hampir keluarkan seruan tertahan sementara Pendekar Kembang Merah melosoh lemas karena hampir tak percaya sesuatu telah terjadi dan menyelamatkannya dari kematian!

"Keparat! Siapa yang berani ikut campur urusan orang!"

Sebagai jawaban sentakan itu terdengar gesekan rebab, keras melengking dan satu cahaya putih kekuningan kembali menerpa. Simo Gembong cepat jatuhkan diri. Sinar putih kekuningan yang mengandung hawa panas melabrak dinding rumah dibagian satu-satunya yang masih utuh. Dinding dan tiang-tiangnya hancur berantakan. Atap yang kini tidak tersanggah langsung amblas roboh. 

Empat sosok tubuh cepat melesat keluar dari bangunan yang runtuh itu. Tapi sampai diluar hanya tiga sosok manusia yang kelihatan. Yakni Datuk Ular, Pendekar Kembang Merah dan seorang perempuan separuh baya berambut panjang terurai berparas pucat yang tegak sambil memegangi rebab dan alat penggeseknya. Simo Gembong sendiri tidak kelihatan. Lenyap!

"Bangsat itu kabur!" ujar Pendekar Kembang Merah.

"Pengecut!" kertak Datuk Ular geram. Lalu dia berpaling ke kiri dimana perempuan berparas pucat berambut terurai tegak berdiri memegang rebab. "Dewi Rebab Kencana!" sapa sang datuk. "Terima kasih kau telah mau membantu...." Lalu sambil menjura dalam dia melirik kepada Pendekar Kembang Merah.

Pendekar Kembang Merah yang mengerti maksud lirikan itu cepat-cepat pula menjura seraya berkata, "Nama besarmu sudah lama kudengar. Tidak tahunya hari ini sekali muncul kau telah selamatkan nyawaku. Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih...."

Orang yang memegang rebab tidak memberi jawaban apa-apa. Wajahnya yang pucat juga tampak tak berubah, dingin seperti tadi-tadi. Hal ini membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah menjadi kikuk.

"Kita harus segera mengejar manusia pengacut itu!" kata Datuk Ular.

Perempuan bergelar Dewi Rebab Kencana tampak mendongak ke langit. Lalu menggesek rebabnya, mengeluarkan suara pendek pilu. "Manusia itu bukan pengecut! Jika dia mau mudah saja baginya membunuh kita satu persatu..."

Datuk Ular mengerling ke arah Pendekar Kembang Merah. "Dewi, apakah kau bisa memberi petunjuk lebih lanjut?" tanya Pendekar Kembang Merah.

Perempuan itu kembali menggesek rebabnya, baru menjawab, "Jika dia pergi berarti ada sesuatu yang lebih penting yang harus dilakukannya....."

Lalu dia melangkah menghampiri pedang hitam yang terletak di tanah. Pedang Samber Nyawa yang tadi dilemparkan Simo Gembong dan patah dua dihantam sinar putih kekuningan yang menyambar keluar dari tali-tali rebab sang dewi. Diambilnya kedua patahan pedang. Sesaat dia meneliti benda itu lalu mencampakkannya ke tanah.

"Setahu kami dia dalam perjalanan ke Pulau Mayat guna mencari kekasih lamanya dimasa muda. Pasti saat ini dia menuju kesana!" berkata Datuk Ular sambil lilitkan senjatanya, bangkai ular sanca ke pinggang. 

Tanpa berkata apa-apa perempuan memegang rebab balikkan tubuh dan melangkah pergi.

"Manusia aneh..." desis Datuk Ular.

Melihat orang hendak pergi Pendekar Kembang Merah cepat berkata, "Dewi Rebab Kencana! Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu."

Tanpa berpaling perempuan bermuka pucat itu menjawab, "Aku tidak merasa menolong siapa-siapa. Simo Gembong punya hutang tersendiri padaku. Yang harus dibayarnya dengan darah dan nyawa....."

Lalu perempuan ini gesekkan rebabnya. Terdengar suara melengking. Disusul sambaran sinar putih kekuningan. Ketika sinar itu lenyap sosok tubuhnyapun ikut lenyap. Datuk Ular geleng-geleng kepala sementara Pendekar Kembang Merah hanya tegak leletkan lidah.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang Datuk?"

"Mengejar Simo Gembong ke Pulau Mayat. Tapi jenazah Kelabang Hitam dan Ki Ampel Sampang harus kita kuburkan dulu," sahut Datuk Ular.



***

"JADI ini tampang manusia yang membunuh puteraku?!" ujar hartawan Prajadika ketika Mahesa Kelud dibawa kehadapannya.

Dengan kedua tangan terkepal dia maju mendekati. Tampangnya sebuas harimau lapar. Lalu jotosannya kiri kanan diayunkan berulang kali ke wajah Mahesa hingga muka pemuda itu babak belur. Darah mengucur dari hidung, mulut dan pinggiran matanya. Mahesa menggeram menahan sakit. 

Prajadika baru berhenti memukul setelah kedua tangannya terasa sakit. Masih belum puas dia menyambar sebatang tombak yang terletak di sudut ruangan. Ketika dia hendak menambus perut Mahesa dengan tombak ini, dua orang hulubalang istana cepat mencegah.

"Lepaskan! Biar kubunuh bangsat ini detik ini juga!" teriak Prajadika.

"Raden Mas, ingat apa rencana kita semula?" berkata hulubalang di sebelah kanan.

Kawannya ikut bicara, "Jika dibunuh seperti keinginan Raden Mas bukankah terlalu enak baginya? Bukankah Raden Mas ingin dia mati sedikit demi sedikit? Tersiksa agar dia dapat merasakan bagaimana sakitnya hati Raden Mas atas kematian putera?"

Dengan dada turun naik dan nafas menyengal, hartawan Prajadika buang tombaknya ke lantai. Kedua matanya berapi-api. "Masukkan dia kedalam sumur tua itu! Jangan diberi makan dan minum sampai dia mampus kelaparan dan kehausan! Jangan lupa tuangkan segayung air mendidih setiap pagi biar tubuhnya melepuh dan busuk!"

"Perintah kami jalankan Raden Mas."

"Satu hal! Jangan kalian lepaskan totokan ditubuhnya!"

Kedua hulubalang itu tersenyum.

"Kami tidak sebodoh itu Raden Mas," kata salah seorang dari mereka.



***

Di belakang gedung kediaman Raden Mas Prajadika terdapat halaman luas. Disitu ada sebuah sumur tua sedalam empat meter yang mata airnya sudah kering. Kesitulah dalam keadaan tertotok tubuh Mahesa mereka lemparkan. Masih untung pemuda ini jatuh ke dasar sumur dengan kaki lebih dulu. Sempat kepalanya mendarat lebih dulu celakalah dia.

"Bagaimana dengan air panas mendidih?" tanya hulubalang pertama.

"Siapa yang mau memasak malam-malam begini. Besok pagi saja kita guyur. Kalau perlu tidak hanya satu gayung. Satu ember!" jawab kawannya. Lalu keduanya tinggalkan sumur tua itu.

Mahesa kerahkan tenaga dalamnya sampai butir-butir keringat memercik dikening. Dia berusaha melepaskan totokan. Tapi sia-sia saja. Pemuda ini heran dari mana puteri Suto Nyamat mempelajari ilmu totokan yang sangat lihay itu. Padahal dua tahun lalu gadis itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Menghadapi kematian bukan satu hal yang menakutkan bagi Mahesa. Tetapi yang saat itu teringat olehnya adalah istrinya Wulansari. Lalu bayi yang menurut Kemaladewi adalah puteranya.

Terbayang wajah gurunya Karang Sewu dan Suara Tanpa Rupa. Dia berusaha bersikap tabah. Tapi tak urung air mata mengalir membasahi pipinya. Dalam sumur tua yang gelap dan dingin serta pengap itu, Mahesa tegak pejamkan mata, berusaha bersemedi menenangkan jiwa. Hanya itulah yang bisa dilakukannya sementara menunggu saat kematian yang datang merayap. Besok pagi siksaan pertama akan dirasakannya. Diguyur dengan air mendidih!

Hampir menjelang pagi, ketika udara dingin mencucuk daging menembus tulang, Mahesa Kelud merasakan sebuah benda meluncur kebahu, terus turun kepunggung. Dia tak mau membuka kedua matanya yang terpejam. Sangkaannya benda yang meluncur itu pastilah ular atau sejenis binatang tanah yang berbisa. Biarlah binatang itu mematuknya. Mati terkena racun ular lebih baik dari pada mengalami siksa. Tapi tak ada yang mematuk. Tak ada yang menggigit walau benda itu masih terus meluncur naik turun dipunggungnya.

Tiba-tiba bret! Pantat celananya robek. Sesuatu menyangkut di ikat pinggangnya. Kemudian perlahan-lahan, sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat keatas sampai akhirnya kepalanya muncul ditepi bibir sumur. Mahesa membuka matanya lebar-lebar menembus kegelapan malam. 

Seseorang dilihatnya dengan susah payah menarik tali yang berhubungan dengan besi pengait yang dipakai untuk menggeret tubuhnya ke atas. Dia tidak dapat mengenali siapa adanya orang ini. Tubuhnya ditarik keluar sumur. Baru saja dibaringkan di tanah yang basah, tiba-tiba dari arah bangunan terdengar suara seseorang membentak.

"Hai! Siapa didekat sumur?!"

Bentakan  disusul  dengan mendatanginya sesosok tubuh sambil menghunus golok. Orang yang menolong Mahesa Kelud Jatuhkan diri ke balik sumur sambil tangannya mencabut sebilah belati. Ketika lelaki yang memegang golok melangkah lebih dekat, secepat kilat belati itu dilemparkannya.

"Heekk...!"

Golok terlepas dari tangan. Orang itu hanya sempat mengeluarkan suara seperti ayam tercekik lalu roboh ke tanah. Belati besar menancap di lehernya!

“Supitmantil!" seru Mahesa Kelud ketika dalam gelap kemudian dia mengenali siapa orang yang menolongnya itu. Supitmantil silangkan jari telunjuk di depan bibir memberi isyarat agar Mahesa jangan bicara keras.

"Sahabat...” berbisik Mahesa. "Kebaikanmu dimasa lalu masih belum sempat kubalas, hutang budi belum kulunaskan. Kini kau telah menanam budi baru. Aku berhutang nyawa padamu Supit.

"Kita harus segera keluar dari sini," ujar Supitmantil. Pemuda inilah dulu yang memberi keterangan kemana Wulansari dilarikan ketika diculik oleh Niliman Toteng alias Iblis Jangkung (Baca Pedang Sakti Keris Ular Emas) Kini kembali dia jadi tuan penolong.

"Ya, tapi aku tak bisa jalan. Aku tertotok. Bisakah kau mendukungku...?"

"Tentu saja tapi kita harus hati-hati. Dua hulubalang istana masih ada di gedung sana..."

"Kalau begitu kau lepaskan totokanku. Disini, disebelah dada!"

Supitmantil seorang pemuda yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi. Ini karena dia berguru pada beberapa tokoh silat kalangan istana. Namun dalam soal ilmu totok menotok pemuda ini masih belum matang. Maka Mahesa harus membimbing memberi tahu bagaimana cara yang ampuh untuk melepaskan totokan ditubuhnya. Setelah mencoba beberapa kali baru Supitmantil berhasil.

Namun totokan itu belum pulih seluruhnya. Terpaksa Mahesa duduk bersila dan kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk memusnahkan sisa-sisa totokan. Selagi dia melakukan hal itu tiba-tiba melayang dua buah obor besar. Benda ini menancap di kiri kanan sumur hingga tempat itu jadi terang benderang.

"Supitmantil! Bagus sekali perbuatanmu!" terdengar bentakan marah. Itu suara hartawan Prajadika.

Supitmantil berpaling. Ditangga belakang gedung tampak tegak Raden Mas Prajadika dengan bertolak pinggang. Disebelahnya tegak dua lelaki berpakaian biru, tinggi dan kekar. Mereka adalah dua hulubalang istana kelas tiga yang membawa Mahesa sebelumnya dari tempat kediaman Suto Nyamat di Madiun.

"Celaka!" keluh Supitmantil. Dia tidak takut terhadap hartawan yang dianggapnya mempergunakan kedudukan dan kekayaannya untuk berbuat sesuka hatinya itu. Tapi dua hulubalang istana kelas tiga itu adalah dua lawan berat. Satu saja sulit bagi Supitmantil untuk menghadapi. Kini mereka malah berdua! Pemuda ini melirik pada Mahesa.

Saat itu Mahesa masih mengerahkan tenaga dalam  untuk memulihkan sisa totokan. Justru disaat itu pula dua hulubalang istana berkelebat, menerkam ke arah Supitmantil. Pemuda ini jatuhkan diri. Tendangan yang mengarah ke batok kepalanya berhasil dielakkan. Baru saja dia bangkit berdiri hulubalang yang tadi menyerang sudah menghantamkan jotosan ke dadanya, Supitmantil menangkis dengan lengan kiri dan balas memukul dengan tinju kanan. Dua lengan beradu. Supitmantil mengeluh kesakitan. Lengan kirinya laksana ditabas pedang sedang tinju kanannya hanya memukul angin.

"Gonto! Cepat kau ringkus pemuda yang bersila itu! Yang satu ini biar aku yang melumatkan!" Terdengar hulubalang yang menyerang Supitmantil berseru.

Maka kawannya yang semula ikut menghantam Supitmantil, kini melompat ke hadapan Mahesa Kelud. Sikap duduk Mahesa merupakan sasaran empuk untuk diserang. Terdengar suara bersiur ketika kaki kanan hulubalang bernama Gonto melesat ke muka Mahesa Kelud, disaat pemuda ini masih meramkan mata memusnahkan totokan di dadanya. Pukulan yang mengenai angin membuat Supitmantil terhuyung ke depan. Akibatnya dadanya menjadi sasaran terbuka. Tinju hulubalang kelas tiga itu laksana palu godam melabrak dada kanannya.

Supitmantil keluarkan seruan kesakitan. Tubuhnya mencelat dan terkapar dekat sumur tua. Mulutnya terasa panas dan asin. Ada darah yang keluar dari saluran di dadanya tanda saat itu dia menderita luka dalam yang parah akibat hantaman lawan. Menahan sakit Supitmantil berusaha berdiri. Dia tahu apa artinya jika tubuhnya masih tergeletak begitu rupa. Lawan akan menghantamnya kembali dengan tendangan atau pukulan maut.

Sambil bangkit Supitmantil cabut sebilah belati besar dari balik pinggangnya. Memang pemuda ini memiliki keahlian melempar senjata tajam. Tadi telah dibuktikannya dengan sekali hantam saja berhasil merobohkan pengawal gedung. Tapi sekali ini orang yang dihadapinya bukan manusia jenis ronda malam. Dengan mudah hulubalang istana ini berhasil mengelakkan sambaran belati. Di lain kejap dia sudah menerkam Supitmantil. Lututnya menusuk ke perut pemuda itu.

Selagi Supitmantil terlipat ke depan, kedua tangannya yang besar kuat datang menyambar dan mencekik leher si pemuda laksana japitan besi. Supitmantil meronta-ronta. Tapi kehabisan nafas membuat tenaganya lumpuh. Tak mungkin lagi baginya menyelamatkan diri. Matanya mendelik dan lidahnya mulai menjulur.

Prakk!!!

Satu pekik kesakitan menggeledek. Hulubalang Gonto melengak kaget ketika Mahesa yang hendak ditendangnya tiba-tiba melayang melewatinya lalu melabrak temannya yang tengah mencekik Supitmantil. Hulubalang ini terbanting roboh ke tanah. Tulang belikatnya patah. Cekikannya terlepas.

Supitmantil mereguk udara segar sebanyak-banyaknya. Lalu selagi hulubalang itu terkapar tak berdaya pemuda ini hunjamkan sebilah belati ke dadanya. Sang hulubalang hanya keluarkan keluhan pendek, kaki menggelepar beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi!

Melihat kematian kawannya Gonto menggembor marah. Ditangan kanannya tahu-tahu sudah tergenggam sebilah golok besar. Sambil menerjang dia babatkan goloknya ke arah leher Supitmantil. Tapi setengah jalan seseorang menyambar pinggangnya hingga hulubalang ini terpuntir.

Wuutt!

Dia membabat ke arah Mahesa Kelud yang menelikung pinggangnya namun satu pukulan menghancurkan sambungan sikunya hingga hulubalang ini meraung kesakitan. Goloknya terlepas mental. Selagi meraung kesakitan itu dirasakannya tubuhnya terangkat lalu tiba-tiba sekali dilemparkan kebawah.

Kembali hulubalang ini menjerit ketika mengetahui dirinya dilemparkan ke dalam sumur tua, kepala kebawah kaki ke atas. Suara teriakannya serta merta lenyap ketika batok kepalanya menghantam dasar sumur tua hingga pecah dan lehernya patah. Nyawanya putus detik itu juga!

Supitmantil cepat datangi Mahesa dan berkata, "Kita harus tinggalkan tempat ini segera Mahesa”

"Ya, tapi aku harus membayar hutang dulu pada orang kaya itu!" sahut Mahesa. 
Sekali lompat saja dia sudah berdiri dihadapan Raden Mas Prajadika yang tegak ketakutan di pintu belakang gedung. Dia segara balikkan diri sambil berteriak namun Mahesa jambak rambutnya, putar tubuhnya   hingga   keduanya berhadap-hadapan.

"Prajadika!" kata Mahesa. "Aku membunuh puteramu bukan karena aku manusia jahat buas! Tapi karena anakmu memang pantas ditabas batang lehernya! Dia kupancung ketika hendak memperkosa seorang gadis!"

"Aku tidak percaya! Puteraku anak baik-baik! Aku tidak percaya. Lepaskan jambakanmu! Keparat...!!"

Plak!

Satu tamparan keras menghantam pipi kanan hartawan itu hingga bibirnya pecah dan tiga giginya tanggal. Prajadika meraung kesakitan. Tubuhnya melintir. Kalau saja rambutnya tidak dijambak pasti sudah terkapar di tangga gedung.

"Itu hadiah dari gadis yang hendak dirusak oleh puteramu!" kata Mahesa. "Dan ini pembayar hutang tadi malam!"

Lalu Mahesa hantam muka Prajadika dengan tinju kiri. Kembali orang ini meraung kesakitan, tapi raungan itu segera lenyap karena dirinya keburu pingsan. Mahesa lepaskan jambakannya. Prajadika tergelimpang di tangga batu. Hidungnya hancur dan darah mengucur!

Di gedung sebelah depan terdengar suara orang berlari. Beberapa diantaranya meneriakkan sesuatu. Mahesa memberi isyarat pada Supitmantil. Kedua pemuda ini lompati tembok halaman belakang. Ketika enam orang penjaga gedung sampai disitu keduanya telah lenyap dalam kegelapan. 

Ketika ayam berkokok di kejauhan dan langit di ufuk timur tampak kemerahan, kedua pendekar itu sampai di sebuah anak sungai berair dangkal tapi jernih. Baik Mahesa maupun Supitmantil segera menggulingkan diri di tebing sungai dan merendam muka mereka yang berlepotan darah.

"Seharusnya kubunuh orang kaya itu...." kata Supitmantil beberapa saat kemudian sambil menyisir rambutnya yang basah dengan jari-jari tangan. "Dia mengetahui pengkhianatanku. Kini aku jadi orang buronan! Pasti Prajadika meminta tokoh-tokoh istana untuk menangkapku hidup atau mati!"

"Semua karena aku!" ujar Mahesa.

"Aku tidak menyesal menolongmu," kata Supitmantil yang tahu maksud kata-kata Mahesa tadi.

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan?" tanya Mahesa.

"Jelas aku tak mungkin kembali ke Kotaraja. Mungkin aku harus menempuh hidup sepertimu. Mengembara sambil menambah ilmu."

"Kalau begitu seandainya kau tersesat ke utara maukah kau singgah di puncak Muria. Istriku berada disana. Namanya Wulansari. Kau pasti kenal dia karena dialah gadis yang dulu berhasil kuselamatkan  dari  kebejatan Prajakuncara berkat pertolonganmu..."

"Apa yang harus kukatakan jika bertemu?" tanya Supitmantil.

"Katakan bahwa aku dalam keadaan baik. Aku akan segera pulang ke Muria begitu beberapa urusanku selesai…."

Supitmantil mengangguk. "Aku akan mampir menemui istrimu," katanya.

"Terima kasih sahabat. Sekarang ada satu hal yang amat penting yang harus kulakukan"

"Apa itu?"

"Dua senjata milikku dirampas puteri Suto Nyamat. Untuk mendapatkan kedua senjata itu nyawaku taruhannya. Karenanya aku harus mengambilnya kembali sekalipun mungkin kali ini aku harus membunuh gadis itu! Sebelum kesana aku perlu keterangan darimu..."

"Katakanlah…"

"Dua tahun lalu Retno hanya seorang gadis cantik biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. Tapi melihat kemampuannya menotokku, pastilah dia telah berguru pada seseorang. Mungkin kau mengetahui siapa guru gadis itu dan dimana kediamannya?"

Supitmantil menggeleng. "Sekali ini aku tak bisa menolongmu Mahesa….."

"Tidak jadi apa," jawab Mahesa. Dia merangkul  Supitmantil  sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.

"Jangan  berterima  kasih terus-terusan Mahesa. Kau lupa bahwa kaupun tadi menyelamatkan jiwaku dari tangan hulubalang istana itu!"

Mahesa Kelud hanya angkat bahu. "Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas," katanya.

"Selamat jalan Mahesa,"

"Selamat mengembara Supit. Sampai ketemu..."

Kedua sahabat itupun berpisah, tepat ketika sang surya menyembul di ufuk timur.


***

Begitu sampai di Madiun, Mahesa Kelud langsung menuju rumah kediaman Suto Nyamat. Saat itu remang senja memasuki malam. Gedung besar itu tampak sepi. Tak seorangpun kelihatan. Setelah menunggu sambil meneliti keadaan beberapa lamanya, baru Mahesa menyelinap kedalam, terus memasuki kamar dimana dulu dia dijebloskan oleh Retno sebelum diserahkan pada dua hulubalang istana. Lemari yang terkunci sekali dobrak saja hancur berantakan pintunya. Mahesa melemparkan semua pakaian yang ada dalam lemari itu. Namun sampai lemari itu menjadi kosong dia tidak menemukan Pedang Dewa ataupun Keris Ular Emas.

"Celaka!" keluh Mahesa dalam hati. Kemana harus dicarinya kedua senjata mustika itu? Kemana harus dicarinya puteri Suto Nyamat? Mahesa kemudian menggeledah seluruh gedung. Tetap saja dia tidak menemukan apa yang dicari. Geram dan marah akhirnya Mahesa lepaskan beberapa pukulan karang sewu hingga dinding bangunan jebol besar dan atap runtuh.

Tiba-tiba pemuda ini mendengar suara kuda meringkik. Dia segera melompat ke halaman samping lewat dinding yang jebol. Seorang lelaki berdestar hitam dilihatnya melompat turun dari kuda lalu lari menuju gedung. Di ruangan depan langkahnya terhenti dan terdengar suaranya.

"Gusti Allah! Tak ada gempa tak ada badai! Kenapa bangunan ini jebol dan ambruk?!" 
Baru saja dia berkata begitu satu tangan yang kuat mendadak dirasakannya mencekal tengkuknya. "Sis ... siapa...?"

"Kau yang siapa?!" Mahesa membentak. Lalu memutar tubuh orang itu dengan keras hingga hampir terpelanting jatuh. Orang itu tampak ketakutan. Seperti melihat hantu. Mulutnya terbuka tapi tak ada kata-kata yang keluar.

"Kemana penghuni rumah ini dan kau siapa?!" kembali Mahesa membentak.

"Rum... rumah ini kosong. Tak ada yang mendiami lagi. A... aku ditugaskan menjaga. Tapi kenapa gedung ini sekarang hancur seperti ini. Celaka, matilah aku..."

"Siapa yang menugaskanmu menjaga rumah ini?"

"Siapa? Pemiliknya tentu..."

"Siapa pemiliknya..."

"Den ayu Retno Kumalasari..." jawab si penjaga.

"Dimana gadis itu sekarang...?"

"Di rumah kekasihnya!"

"Bagus! Kau antarkan aku kesana!"

"Tapi..."

Plak!

Mahesa yang sudah tidak sabaran langsung tampar pipi orang itu hingga destarnya tercampak dan sesaat pemandangannya gelap berkunang-kunang. "Kau mau antarkan aku kesana atau kutampar lagi hingga robek mulutmu?!"

"Aku... aku akan antarkan. Kau ini siapa. Apa kau yang merusak bangunan ini...?"

Mahesa tak menjawab. Dia tarik tengkuk penjaga itu dan mendorongnya keras-keras hingga jatuh terguling di tangga gedung!



***

Tempat yang dituju ternyata cukup jauh di tenggara Madiun. Sepanjang perjalanan Mahesa berusaha mendapat keterangan dari penjaga yang mengantarkannya. Meskipun tidak banyak keterangan yang didapat tapi ada satu yang sangat penting. Yaitu bahwa kekasih Retno Kumalasari adalah juga gurunya dalam ilmu pengobatan.

Satu hal yang tidak jelas bagi Mahesa ialah mengapa puteri bekas Adipati itu walaupun ayahnya sudah meninggal kini tidak tinggal bersama ibunya yang tentunya disatu gedung bagus tetapi memilih diam bersama kekasihnya di daerah terpencil. Lapat-lapat dikejauhan terdengar suara air menderu. Suara air terjun. Si penjaga melarikan kudanya ke arah suara air itu. 

Mahesa menempel di belakang. Disatu tempat ketinggian si penjaga hentikan kuda dan menunjuk ke lembah yang terletak di bawah mereka diselimuti kegelapan. Orang ini menerangkan disebelah kanan air terjun terdapat sebuah kali. Di sebelah utara dekat tikungan ada sebuah rumah kecil. Disitulah Retno Kumalasari bersama kekasihnya berada.

"Kau tahu apa akibatnya jika kau memberi keterangan dusta?!" ujar Mahesa seraya pegang dan tekan bahu si penunjuk jalan.

"Demi Tuhan. Aku bersumpah! Gadis itu pasti ada disana!"

"Siapa nama kekasihnya?"

"Pergola. Pergola apa aku tak tahu..."

Mahesa melompat dari punggung kuda. "Kau boleh pergi!" katanya.

Tanpa menunggu lebih lama orang itu segera putar kudanya dan tinggalkan tempat itu sekencang yang bisa dilakukannya.

Rumah kayu itu selain kecil juga tampak tidak terurus. Di ruang depan menyala sebuah pelita. Puteri Suto Nyamat, Retno Kumalasari berbaring diatas sehelai tikar sementara seorang lelaki berambut tebal dan beralis mata tebal hitam berusia sekitar empat puluh tahun duduk di sebelahnya tengah membuka ikatan sebuah kantong besar.

"Retno, sudah saatnya kau masuk kedalam dan tidur. Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke Kotaraja." terdengar yang lelaki berkata. Dialah Pergola. Sepasang mata Retno menatap sayu ke langit-langit diatasnya. Lalu ada senyum aneh tersungging di bibirnya.

"Aku tidak akan mau tidur sebelum kau berikan barang itu..." katanya.

"Sudah cukup Retno. Terlalu banyak kau bisa sakit..."

"Aku ingin menghisap lagi. Biar sakit. Aku memang sudah sakit. Dan akan lebih sakit jika tidak kau berikan..."

"Dengar, besok kita akan bicara dengan pejabat tinggi istana mengenai jual beli senjata-senjata mustika ini. Aku kawatir kau masih dibawah pengaruh barang itu dan bicara tak karuan!”

"Aku berjanji akan bersikap dan bicara baik," jawab Retno lalu gulingkan tubuhnya.

Sesaat kemudian dia telah memperbantal paha Pergola. Matanya terpejam Mulutnya ternganga dan lidahnya yang merah basah setengah terjulur. Pergola geleng-geleng kepala dan kecup bibir gadis itu lumat-lumat. Dia mengeluarkan sebuah kotak kain dari dalam saku pakaiannya. Dari dalam kotak  ini dikeluarkannya sehelai daun kering. Di atas daun diletakkannya tembakau kering yang dicampur sejenis obat. Lalu daun kering tadi digulungnya hingga berbentuk sebatang rokok.

Rokok ini kemudian disulutnya ke api pelita. Baru saja rokok menyala Retno sudah menyambar, lalu gulingkan diri ke sudut kamar, duduk menjelepok disana dan sedot rokok itu dalam-dalam hingga kedua pipinya menjadi cekung. Asap rokok berbau aneh dihembuskannya ke udara sementara kedua matanya terbuka lebar tetapi kuyu dan sayu.

"Betapa nikmatnya kakak.... Nikmat sekali rokok ga*ja ini!" Dihisapnya lagi rokok itu dalam-dalam. "Ahh… Indah sekali. Aku mulai melihat sesuatu yang indah. Tidakkah kau ingin menyaksikannya...."

Dia angkat kedua kakinya setinggi dada hingga kainnya tersingkap. "Aku tak bisa hidup tanpa rokok ini kakak. Kau dengar itu kakak Pergola...?"

"Eh, apakah kau bisa hidup tanpa aku?" tanya Pergola.

"Tentu saja tidak. Kau dan rokok ini jadi satu. Datanglah kesini kakak. Peluk aku, biar lebih nikmat rasanya menghisap ganja ini."

Pergola tetap duduk di tempatnya. Dia telah membuka ikatan kantong besar. Dari dalam kantong itu dikeluarkannya dua buah senjata yang sarungnya memancarkan sinar kuning dan sinar merah. Pedang Dewa dan Keris Ular Emas!

Retno melirik sebentar lalu berkata, "Kau tak bosan-bosannya memandangi benda itu. Jika kau memang suka benda itu mengapa tidak turut kataku? Belajar ilmu silat dan kau akan jadi raja diraja dalam rimba persilatan!"

Pergola tertawa. "Aku sudah terlalu tua untuk belajar silat. Lagi pula apa untungnya jadi raja diraja dunia persilatan? Hidup tak tenang, musuh banyak. Bukankah lebih baik dua senjata mustika itu kita jual. Ditukar dengan uang emas dan harta perhiasan? Kita akan jadi kaya raya. Memiliki gedung bagus, hidup mewah!"

Retno mencibir. "Aku bosan tinggal di gedung bagus. Aku muak dengan hidup mewah. Aku lebih suka tinggal disini bersamamu. Asal saja kau selalu menyediakan rokok ganja ini untukku. Hik hik hik!"

Siapakah sebenarnya lelaki bernama Pergola itu? Dulu dia tinggal di Magetan, putera seorang ahli obat. Ayahnya memiliki hubungan baik dengan banyak pejabat tinggi yang sekaligus jadi langganannya. Salah satu diantara langganannya Adipati Suto Nyamat. Ketika ahli obat itu meninggal sekitar dua tahun lalu, Pergola yang telah mewariskan hampir keseluruhan kepandaian ayahnya melanjutkan pekerjaan sang ayah.

Hanya saja secara diam-diam Pergola mempergunakan kepandaiannya untuk maksud tidak baik alias kejahatan. Lelaki yang sudah lama menduda ini menaruh hati terhadap puteri Suto Nyamat yakni Retno. Hubungannya yang akrab dengan keluarga itu membuat mudah baginya mendekati si gadis. Dengan dalih memberikan obat untuk menjaga kesehatan serta agar tetap langsing dan wajah berseri Pergola memberikan obat aneh hingga si gadis ketagihan dan tak dapat membebaskan diri lagi dari tangan Pergola. 

Ketika Adipati Suto Nyamat terbunuh hubungan Pergola dengan Retno sudah tak ubah seperti suami istri saja. Sang ibu yang tak dapat mencegah dan tak berdaya berbuat apa akhirnya dalam keadaan sakit-sakitan pulang ke rumah orang tuanya di selatan. Bagi Pergola justru ini yang diinginkannya. Retno diboyongnya ke rumah di tepi sungai itu. Gadis ini semakin lengket setelah Pergola mengajarkannya menghisap rokok daun ganja yang tembakaunya dibubuhi obat terlarang.

Sejalan dengan kepandaiannya dalam pengobatan. Pergola juga memiliki keahlian dalam bidang ilmu menotok. Sambil terus mengikat Retno dengan rokok dan obat, kepada gadis ini diajarkannya bagaimana cara menotok hingga orang dalam waktu sekejap tidak berdaya. Kaku diam dan bisu! Karena pada dasarnya Retno adalah seorang gadis yang cerdas maka dalam waktu singkat dia sudah menguasai ilmu itu. Pergola mengajarkan ilmu menotok itu sebenarnya karena mempunyai tujuan tertentu. 

Disamping ahli mengobati dan menotok lelaki ini memiliki keahlian lain yakni pengetahuan yang amat luas tentang berbagai macam senjata mustika atau senjata sakti yang ada di tanah Jawa. Dia mampu mengingat diluar kepala senjata-senjata yang terdapat diberbagai Keraton di pulau Jawa ataupun yang dimiliki para tokoh ternama lainnya, termasuk tokoh-tokoh dunia persilatan.

Sejak lama dia berniat memiliki beberapa dari senjata sakti mandraguna tersebut. Bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijual dengan harga tinggi. Diantara senjata-senjata yang jadi incarannya adalah Pedang Dewa Dewi yang selama ini tersimpan disebuah gua tempat kediaman tokoh sakti Suara Tanpa Rupa. Lalu Keris Ular Emas yang dikuasai Dewi Ular dan yang ketiga Pedang Samber Nyawa yang berada di sebuah pulau diujung Jawa Timur.

Pergola tengah menyusun rencana bagaimana caranya mendapatkan ketiga senjata itu ketika telinganya yang tajam dan pengetahuannya yang luas menyirap kabar bahwa Pedang Dewa dan pasangannya Pedang Dewi tak ada lagi di gua Suara Tanpa Rupa. Lalu Keris Ular Emas pun telah berpindah tangan sedang Pedang Samber Nyawa terakhir sekali direbut oleh seorang pendekar gagah bernama Mahesa Kelud. Ada petunjuk nyata bahwa Pedang Dewa dan Keris Ular Emas telah berada pula di tangan pendekar itu.

Maka Pergola menyusun rencana baru. Retno Kumalasari diperalatnya untuk mendapatkan senjata-senjata itu. Maka diapun menyirap kabar dimana beradanya Mahesa Kelud. Dan akhirnya Retno berhasil memperdayai Mahesa. Bukan saja dia berhasil mendapatkan Pedang Dewa dan Keris Ular Emas, tapi dia juga berhasil "menjual" tubuh pamuda itu pada hartawan Prajadika yang menaruh dendam terhadap Mahesa karena kematian puteranya!

"Kakak Pergola, rokokku habis…" terdengar suara Retno bernada setengah merengek. "Aku minta lagi…" Kedua matanya hampir terpicing.

"Cukup Retno. Kau harus tidur...!" jawab Pergola. Tangan kanannya bergerak mencabut Pedang Dewa. Sinar merah menerangi ruangan itu. "Senjata luar biasa! Senjata yang akan membuatku jadi kaya!"

Braak!

Baru saja Pergola berkata begitu pintu rumah terpentang dan mental berantakan. Mahesa Kelud tegak diambang pintu.

"Senjata curian itu akan membuat kau celaka Pergola! Bukan membuatmu jadi kaya!" bentak Mahesa.

Pergola melompat dari duduknya, siap dengan pedang sakti di tangan. Retno, meskipun belum melihat orangnya tapi telah mengenali suara pendekar itu. Dengan cerdik dia segera menyambar Keris Ular Emas. Tapi pengaruh obat dan rokok membuat gerakannya menjadi lamban.

Mahesa bergerak lebih cepat mengambil Keris Ular Emas yang terjatuh di lantai sewaktu Pergola berdiri tadi. Bersamaan dengan itu dia pergunakan tumitnya untuk menendang Retno, tidak keras tapi cukup membuat puteri Suto Nyamat itu terpekik dan terpelanting ke samping. Baru saja jari-jari tangan Mahesa Kelud menyentuh Keris Ular Emas tiba-tiba terdengar suara menderu. 

Sinar merah yang terang berkiblat. Pedang Dewa menyambar ganas ke arah pinggang pendekar itu. Walaupun Pergola tidak memiliki ilmu silat atau ilmu pedang, namun serangan yang dilancarkannya dengan senjata sakti itu tetap saja merupakan serangan maut! Mahesa jatuhkan diri ke lantai, hampir menabrak pelita. Bacokan pedang lewat diatasnya.

"Pergola! Kalau kau serahkan pedang itu secara baik-baik, aku tak akan menyakitimu! Juga tidak akan menyakiti kekasihmu!" ujar Mahesa. Saat itu dia sudah tegak berdiri, antara Pergola dan Retno. Retno Kumalasari yang berdiri dibelakangnya tanpa terlihat oleh Mahesa memberikan isyarat rahasia lalu berseru,

"Kakak Pergola! Turuti katanya. Serahkan pedang itu dan biarkan dia pergi!"

Pergola yang sudah melihat isyarat yang diberikan Retno, semula kembali hendak menyerang, tapi batalkan niatnya. "Aku menyadari tingginya puncak Merapi!" kata Pergola pula. "Meski pedang sakti di tangan mana mungkin aku bisa menang menghadapimu. Apalagi kau memegang Keris Ular Emas. Ini, ambil kembali pedangmu. Lalu pergilah dari sini..."

Pergola angsurkan pedang dan sarungnya. Pedang di tangan kanan sarung di tangan kiri. Mahesa sisipkan Keris Ular Mas ke pinggang lalu ulurkan tangan untuk menerima senjata itu. Namun sebelum sempat menyentuh senjata ataupun sarungnya tiba-tiba, dalam gerakan luar biasa sarung pedang berkelabat, ujungnya menusuk ke dada kiri Mahesa.

 "Bangsat curang....!" maki Mahesa. Dia cepat hindarkan tusukkan ujung sarung pedang. Namun agak terlambat. Ujung sarung itu masih sempat menusuk bahu kanannya. Saat itu juga dia merasakan tubuhnya sebelah kanan menjadi sangat linu. Dia tak dapat menggerakkan tangan kanan sedang kaki kanan terasa berat untuk dilangkahkan seolah-olah diganduli batu besar!

Menyangka lawannya lumpuh total maka ahli obat itu angkat tangannya yang memegang pedang tinggi-tinggi, lalu ditetakkan sekencang-kencangnya ke kepala Mahesa. Setengah jalan Pergola tersentak kaget ketika melihat lawannya tiba-tiba mengangkat tangan kiri dan memukulkannya ke depan.

Serangkum angin luar biasa panasnya menderu. Mahesa telah lepaskan pukulan inti api. Pergola menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat menghantam dinding lalu roboh ke lantai. Sebagian dada dan perutnya hangus. Pedang Dewa jatuh tergeletak di sampingnya.

"Kakak Pergola!" terdengar pekik Retno Kumalasari lalu gadis ini lari menubruk tubuh Pergola yang tidak bergerak dan tak bernafas lagi.

Mahesa lepaskan totokan dibahunya dengan tangan kiri lalu ambil Pedang Dewa berikut sarungnya dan selipkan senjata itu ke balik pakaiannya.

"Pembunuh! Pembunuh!" teriak Retno. Hendak diterkamnya Mahesa.

Tapi kali ini si pemuda tidak punya rasa kasihan lagi. Tamparannya mendarat pulang balik ke muka gadis itu. Retno terhempas ke lantai, meraung-raung, memanggil-manggil kekasihnya. Darah bercucuran dari bibirnya yang pecah!


***

Tiga orang gadis berbaju biru, cantik-cantik  semuanya, menjura dihadapan Dewi Maut.

"Cepat katakan apa hasil penyelidikan kalian?" Dewi Maut langsung bertanya.

Sejak markasnya dilabrak Mahesa Kelud beberapa bulan lalu dia merasa masygul. Pertama dia dan anak buahnya belum sempat membenahi bangunan rahasia mereka yang terletak di Lembah Maut. Kedua dia telah sengaja menipu Mahesa dengan memberikan pedang Samber Nyawa palsu. 

Hal ini mungkin akan mendatangkan kelanjutan yang tidak enak atau yang menyenangkan hatinya. Yang tidak enak si pemuda akan muncul kembali mengobrak abrik tempat kediamannya bahkan kali ini mungkin membunuh anak buahnya. Yang menyenangkan ialah dia dapat melihat wajah pemuda itu kembali. Satu hal yang dirindukannya sejak kedatangannya dulu. 

Hal ketiga yang menimbulkan rasa kawatir dalam diri sang dewi ialah minggatnya salah seorang anak buahnya yakni empat Biru. Seperti yang dilaporkan sembilan Biru ada kecurigaan bahwa anak buah yang kabur itu telah terpikat pada Mahesa dan melarikan diri untuk dapat mengejar pemuda tersebut.

Tiga Biru maju selangkah. Dia memberi keterangan,

"Ada dua orang lelaki diketahui naik perahu dari pantai Timur menuju kemari. Saya tidak mengetahui siapa mereka.”

“Terangkan ciri-ciri keduanya!" ujar Dewi Maut. Hatinya bertambah masygul.

"Yang seorang kakek memiliki muka seperti tengkorak. Berpakaian biru gelap. Pada pinggangnya ada seeker ular mati, besar sekali..."

Dewi Maut merenung. "Aku pernah dengar tokoh silat dengan ciri-ciri seperti itu. Tapi lupa nama atau gelarnya. Bagaimana tampang lelaki yang kedua?"

"Separuh baya. Berpakaian bunga-bunga merah...." jawab Tiga Biru.

"Pasti itu si Pendekar Kembang Merah. Kenapa orang-orang itu datang kemari? Kalau tidak sengaja mencari mati pasti ada sesuatu..." Dewi Maut memandang pada anak buahnya yang kedua.

Sembilan Biru. Anak buah ini menerangkan dia tidak berhasil mencari jejak kemana perginya Empat Biru.

"Dan kau Lima Biru, apa hasil penyelidikanmu?"

Lima Biru menjura dulu baru menjawab. "Di luar pulau tak ada yang dapat saya temukan. Tapi di dalam pulau ada suatu keanehan. Di sebelah timur Lembah Maut, sejak satu hari lalu selalu terdengar suara orang menyanyi diiringi gesekan rebab….”

Paras Dewi Maut berubah. Dia tegak dari kursi besar empuk yang didudukinya lalu melangkah mundar mandir. "Kalau benar Dewi Rebab Kencana yang muncul sungguh luar biasa." Lalu dia terdiam sesaat, baru bertanya, "Tidak satupun dari kalian yang menyirap kabar tentang pemuda bernama Mahesa Kelud itu?"

"Tidak Dewi," jawab ketiga anak buah itu hampir berbarengan.

"Dengar kalian bertiga. Untuk sementara jangan ganggu orang yang menyanyi dengan iringan rebab itu. Lima Biru, kau pimpin lima orang kawan-kawanmu dan berjaga-jaga disepanjang pantai. Siang malam! Jangan sampai dua tamu tak diundang itu lolos. Dan kau Sembilan Biru, bersama dua kawanmu tetap berjaga-jaga disini. Karena alat-alat rahasia kita belum seluruhnya terpasang rampung, agaknya kita harus mempergunakan kekuatan dan kepandaian. Laksanakan tugas!"

Ketiga gadis itu menjura dan siap berlalu ketika tiba-tiba anak buah dengan panggilan Enam Biru muncul membawa kabar baru.

"Dewi, mata-mata kita di daratan memberi tahu ada seorang kakek bermuka angker menuju kemari pagi tadi. Mata-mata itu tak dapat mencegah, malah dua kawannya tewas ditangan si kakek!"

"Bagaimana keangkeran tampang orang itu?" tanya Dewi Maut.

"Matanya hanya satu, hidungnya sangat pesek. Kuping sebelah kanan sumplung. Kedua kakinya memakai gelang bahar. Berjanggut tebal sampai ke dada..."

"Tubuhnya kurus...?"

"Betul sekali Dewi."

"Ah..." seru sang dewi pendek dan berusaha menenangkan darahnya yang tersirap. "Dia berani datang lagi. Pasti mengandalkan sesuatu..."

Lalu pada ketiga anak buahnya yang terdahulu dia memerintahkan untuk segera melaksanakan tugas. Dewi Maut sendiri kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan batu yang pintunya hanya bisa dibuka secara rahasia dan sulit dilihat karena hamper sama rata dengan dinding.


***

Malam gelap sekali dan dingin. Tambah dingin menjelang memasuki dini hari. Dibalik gundukan batu karang di sebelah timur Pulau Mayat dua sosok tubuh tampak mendekam. Keduanya hampir tak banyak bergerak ataupun bicara. Kalau bicara mereka berbisik-bisik. Dikejauhan terdengar suara alunan rebab.

"Perempuan muka pucat itu ternyata lebih cepat dari kita, Datuk," bisik lelaki berpakaian kembang-kembang. Ternyata keduanya adalah Datuk Ular Muka Tengkorak dan Pendekar Kembang Merah.

"Tak jadi apa, yang penting kita sampai disini lebih dulu dari si keparat itu!"

"Apakah menurutmu Simo Gembong belum sampai disini?" tanya Pendekar Kembang Merah.

"Aku yakin. Walau dia sebelumnya berada di depan kita tapi kita menempuh jalan memotong dan....." 
Ucapan Datuk Ular terhenti ketika tiba-tiba terdengar bentakan garang.

"Dua manusia dibalik batu karang! Jika kalian serahkan diri secara baik-baik, kami akan mengampuni nyawa kalian!"

Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah terkejut. Mereka hampir tak mendengar kedatangan orang tahu-tahu sudah berada didekat sana dan membentak. Keduanya palingkan kepala. "Ah! Ternyata gadis-gadis cantik!" ujar sang datuk sambil tertawa menyeringai.

"Kalian bertiga pasti anak buah Dewi Maut...!"

"Jika sudah tahu mengapa masih banyak mulut!" Yang menjawab adalah gadis paling ujung kanan. Dia bukan lain Lima Biru bersama Tujuh Biru dan Tiga Biru. "Kawan-kawan, mari kita tangkap dua tikus tak diundang ini!"

"Hai! Tunggu dulu!" Kata Pendekar Kembang Merah cepat. "Kami tidak ada silang sengketa dengan kalian ataupun Dewi Kalian. Mengapa hendak menangkap kami? Apa kesalahan kami berdua?!"

Lima Biru mendengus. "Apa tidak tahu peraturan? Siapa saja orang luar yang berani injakkan kaki di Pulau Mayat berarti mati! Masih untung kalian berdua hanya kami tangkap! Soal nyawa nanti Dewi yang memutuskan!"

"Alangkah hebatnya!" ujar Datuk Ular seraya batuk-batuk. "Kalian bertiga seperti kurang pekerjaan. Sebaiknya kembali ke tempat kediaman kalian. Tidur dibawah selimut hangat. Malam-malam begini berada diluaran bisa masuk angin!"

"Tua bangka bermulut ceriwis!" sentak Lima Biru. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Ketiga gadis itu langsung berkelebat ke arah Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah.

Dua lelaki ini memang sudah lama mendengar kehebatan Dewi Maut dan anak buahnya. Kini menyaksikan sendiri mereka jadi terkejut. Gadis-gadis muda dan cantik itu sebat sekali gerakan mereka. Tangan kanan memukul, tangan kiri berusaha menotok. Kalau tidak berkelit dengan cepat, salah satu serangan itu pasti akan menemui sasaran. Ketika menghindar melihat lawan sanggup kini Lima Biru dan dua kawannya yang ganti terkejut. Jelas dua orang ini memiliki kepandaian tinggi. Maka didahului penyerangan.

Tujuh  jurus  menggempur habis-habisan tanpa dapat merobohkan lawan membuat Lima Biru dan dua kawannya menyadari bahwa mereka tak bakal sanggup menangkap dua orang itu hidup-hidup. Diikuti oleh Tujuh Biru dan Tiga Biru, Lima Biru cabut pedang hitamnya. Dengan senjata di tangan mereka kembali menyerbu. Tiga pedang membentuk tiga buntalan sinar hitam yang menggidikkan didalam gelapnya malam.

Tekanan tiga pedang membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah terdesak. Ternyata nama Dewi Maut bukan satu nama kosong. Kalau ingin selamat tak ada jalan lain. Datuk Ular harus keluarkan pukulan-pukulan sakti atau loloskan ikat pinggang ular sancanya dan Pendekar Kembang Merah harus siap dengan bunga kertasnya. Di jurus ke sepuluh ketika serbuan lawan tidak tertahankan lagi dua tokoh silat ini terpaksa keluarkan senjata masing-masing. Disaat itulah terdengar suara tawa mengekeh.

"Ha ha ha.! Dua manusia yang katanya tokoh persilatan baru menghadapi gadis-gadis bau kencur saja sudah kalang kabut! Sangat memalukan!"

Baik Datuk Ular maupun Pendekar Kembang Merah sama-sama tersentak kaget. Suara tawa dan yang tadi bicara itu adalah suaranya Simo Gembong. Berpaling ke arah datangnya suara keduanya hanya sempat melihat lenyapnya satu sosok bayangan di dalam gelap.

"Tiga Biru!" seru Lima Biru. "Lekas kejar orang itu! Beritahu kawan-kawan!"

Tiga Biru segera tinggalkan kalangan pertempuran, mengejar kearah lenyapnya suara tertawa tadi. Sambil mengejar dia keluarkan suitan panjang. Inilah tanda rahasia bagi tiga orang kawannya yang berada di jurusan lain. Setelah kedua lawan keluarkan senjata.

Sementara kepergian Tiga Biru membuat Lima Biru kini hanya berdua saja dengan Tujuh Biru, setelah terjadi gebrakan-gebrakan hebat dalam dua jurus, anak buah Dewi Maut itu kini merasakan bukan saja semua serangan mereka jadi terbendung tapi serangan balasan lawan membuat keduanya terpaksa bertahan malah sejurus kemudian terdesak hebat.

PEDATARAN PEMANCUNGAN
Nama yang menggidikkan ini diberikan oleh Dewi Maut dan sesuai dengan keadaannya. Meskipun pedataran itu merupakan lapangan luas berumput yang dikelilingi pohon-pohon bunga, namun disekelilingnya juga terdapat lebih dari selusin tiang pembantaian. Pada masing-masing tiang terpancang mayat manusia. Ada yang masih baru, ada yang sudah membusuk dan beberapa diantaranya hanya tinggal jerangkong putih.

Simo Gembong memandangi tiang-tiang kematian itu satu demi satu. Dia membalik ketika dibelakangnya terdengar beberapa sosok tubuh berkelebat. Di pedataran itu kini tampak tujuh gadis berpakaian biru, berpencaran dan jelas mengurungnya. Simo Gembong menyeringai. Matanya yang Cuma satu berkilat-kilat. Sekian tahun mengucilkan diri di puncak Gunung Kelud, siapa yang tidak terpesona melihat sekian banyak gadis cantik walau jelas pandangan mata mereka membersitkan sinar maut.

"Gadis gadis cantik! Mana Dewi kalian. Cepat suruh dia datang kemari!"

“Kau tak layak memerintah kami. Apalagi menyuruh Dewi datang kemari! Kau tahu kematianmu sudah diujung mata?!" 
Yang membuka suara adalah Tiga Biru.

Si mo Gembong tertawa mengekeh. "Gadis secantikmu tak layak segalak itu!"

"Lekas sebutkan nama atau gelarmu sebelum nyawa lepas dari tubuhmu!"

"Kalian  rupanya  memang manusia-manusia haus nyawa! Tapi ketahuilah nyawa burukku tidak begitu sedap untuk diteguk! Katakan pada Dewi kalian aku Simo Gembong ingin bertemu dan bicara dengannya!"

"Kentut busuk! Biar kepalamu kubuat menggelinding dulu!" Tiga Biru cabut pedang hitamnya lalu menerjang. Sinar hitam menderu dalam gelapnya malam.

Simo Gembong masih tertawa mengekeh. Tubuhnya berkelebat. Terdengar seruan Tiga Biru. Gadis ini melompat mundur. Memandang ke depan dia hampir tak percaya melihat pedang hitamnya telah berpindah tangan. Kini dipegang oleh Simo Gembong!

Meskipun melihat kenyataan bahwa orang tua kurus berambut awut-awutan itu memiliki kepandaian luar biasa tingginya namun Tiga Biru tidak menaruh takut sama sekali. Dengan tangan kosong dia kembali menyerbu. Enam gadis lainnya kini tak tinggal diam. Mereka serentak cabut padang dan menyerang.

"Tahan!"

Satu seruan lantang terdengar membelah kegelapan malam. Tujuh gadis baju biru cepat menahan gerakan mereka begitu mengenali suara tadi. Sesosok tubuh tinggi semampai berpakaian hijau tipis tegak di tengah Pedataran Pemancungan. Dewi Maut! Dia berdiri dengan kaki merenggang tangan di pinggang.

"Puluhan tahun lalu kau melarikan diri dariku. Melarikan diri dari tanggung jawab secara pengecut! Malam dingin begini tahu-tahu muncul kembali! Apakah kau sudah bersiap sedia untuk mati Simo Gembong...?"

"Dewi Maut... Dewi Maut! Sajakmu sungguh bagus. Ah! Aku tak boleh memanggilmu dengan nama itu. Lebih layak menyebut nama aslimu. Sutri.... Sutri!"

Paras Dewi Maut tampak berubah ketika Simo Gembong menyebut namanya. "Dengar Sutri, aku datang memang untuk mati. Jika itu sudah takdirku! Tak ada yang lebih nikmat dari pada kematian. Tapi sebelumnya aku ingin bicara empat mata dulu denganmu!"

"Begitu?! Orang yang mau mampus memang layak dikabulkan pemintaannya!" 
jawab Dewi Maut. Lalu dia memberi isyarat pada ketujuh anak buahnya.

"Dewi..." Tiga Biru menunjukkan rasa kawatir.

"Jangan takut!" berkata sang dewi. "Tua bangka rongsokan ini tampangnya memang angker. Lagaknya selangit. Tapi dia tak ada apa-apanya! Kalian boleh pergi...!"

Meskipun tetap kawatir akan keselamatan dewi mereka namun Tiga Biru dan kawan-kawannya terpaksa harus mematuhi perintah pimpinannya itu. Kini di Pedataran Pemancungan hanya Dewi Maut tegak berhadap-hadapan, terpisah sejarak sepuluh langkah.

"Lekas katakan apa maumu!" kata Dewi Maut.

"Aku ingin memperlihatkan bahwa bagaimanapun aku adalah manusia yang bisa bertanggung jawab..."

"Maksudmu?!"

"Dalam sisa hidupku, aku ingin tinggal bersamamu disini atau dimana saja sebagai suami istri...!" Simo Gembong bicara blak-blakan.

"Jadi itu tanggung jawab yang kau maksudkan!"

"Betul sekali Sutri..."

Sutri alias Dewi Maut mendongak ke langit gelap lalu tertawa panjang. "Tanggung jawabmu sudah basi Simo Gembong! Dosamu tak mungkin terampunkan dengan cara apapun! Lagi pula aku berpikir-pikir, apakah kau pernah berkaca sebelum datang kemari dan bicara melantur seperti ini?"

Paras Simo Gembong kelihatan menjadi merah.

"Matamu cuma satu, hidungmu pesek, kupingmu sumplung. Dan hatimu lebih jahat dari iblis kepala seribu! Apakah kau cukup pantas tinggal bersamaku?! Jangan mimpi Simo. Atau kau mabok? Atau ada niat keji di balik maksudmu itu...."

"Tidak ada niat keji apapun. Aku benar-benar ingin melupakan masa lalu dan ingin menempuh hidup baik-baik!"
"Ah, ternyata kaupun pandai bersajak. Tapi sajakmu itu sayang, tak laku disini! Malam ini malaikat maut siap menjemput nyawa anjingmu!"

Dendam kesumat Dewi Maut yang pernah dirusak kehidupannya dimasa muda lalu ditinggalkan begitu saja, rupanya tak mungkin dihapus dengan maksud dan janji muluk.

"Kalau memang begitu katamu, akupun sudah siap untuk mati!" kata Simo Gembong. Lalu maju dua langkah. "Aku tahu kau memiliki pedang Samber Nyawa yang asli. Keluarkan senjata itu. Gorok batang leherku! Kau puas dan akupun terlepas dari siksa batin puluhan tahun!"

Dari balik pinggang pakaian hijaunya Dewi Maut keluarkan sebuah benda berbentuk gulungan. Ketika gulungan ini dibuka... sret! Membersitlah sinar hitam pekat menggidikkan. Sebilah pedang angker kini tergenggam di tangan Dewi Maut. Senjata ini demikian tipisnya dan bergoyang-goyang tiada henti, sulit dilihat mana badannya yang asli dan mana yang bayangan belaka!

"Aku sudah siap!" kata Simo Gembong dan maju lagi dua langkah.

Dewi Maut juga melangkah mendekat. Pedang Samber Nyawa melintang di depan dada. Ketegangan menggantung di udara malam yang dingin mencucuk sungsum. Justru saat itulah tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat dan satu bentakan nyaring terdengar.

"Nyawa Simo Gembong adalah milik kami!" Sesaat kemudian Datuk Ular Muka Tengkorak dan Pendekar Kembang Merah sudah berada di Pedataran Pemancungan. Sebelumnya mereka telah berhasil  merobohkan Lima Biru dan Tujuh Biru.

"Oladalah! Dua ekor monyet ini rupanya!" kata Simo Gembong ketika mengenali dua tokoh silat itu dalam gelapnya malam. Dia sengaja menyebut mereka sebagai dua ekor monyet karena jengkel. "Aku mengampuni nyawa kalian waktu pertempuran di Lembah Suket! Sekarang malah menyusul kemari. Benar-benar minta mampus!"

Pendekar Kembang Merah bertonjolan rahangnya mendengar ucapan Simo Gembong yang merendahkan itu. Sebaliknya Datuk Ular cepat menyahuti sambil tak lupa mengumbar tawa mengejek.

"Simo Gembong manusia durjana! Kami datang justru mengejarmu yang secara pengecut melarikan diri dari Lembah Suket!"

"Bagus! Kalau kalian merasa diri sebagai jago silat kelas satu terima salam hormatku ini!" Simo Gembong lambaikan kedua tangannya ke depan. Perlahan saja. Tapi dari telapak tangan kiri kanan menderu angin dahsyat berwarna hitam!

Baru saja dua sinar pukulan itu menghantam setengah jalan tiba-tiba terdengar suara rebab digesek keras melengking langit menembus kegelapan malam dingin. Sinar putih kekuningan yang mengembang seperti kipas berkiblat. Sesaat Pedataran Pemancungan terang benderang. Lalu des! des! Dua larik sinar hitam dari telapak tangan Simo Gembong terpapas lebur berantakan. Beberapa seruan kaget terdengar.

Simo Gembong tampak miring tubuhnya ke kiri tapi dia cepat mengimbangi diri dan pasang kuda-kuda baru. Di sebelah kanan pedataran tampak seorang perempuan berambut panjang tergerai, berwajah pucat. Dia memegang alat penggesek di tangan kanan dan rebab di tangan kiri. Perempuan ini tampak terhuyung-huyung kebelakang. Ketika dia hampir jatuh terduduk di rumput cepat dia melompat jungkir balik di udara lalu tegak kembali diatas kedua kakinya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah Simo Gembong.

"Ah, mengapa perempuan ini muncul lagi disini," diam-diam Simo Gembong mengeluh.

"Dewi Rebab Kencana!" seru Datuk Ular menyebut julukan perempuan bermuka pucat. "Terima kasih, kau lagi-lagi menolong kami. Hanya saja mohon dimaafkan. Biarkan kami menyelesaikan urusan dengan manusia durjana bermata satu itu!"

Perempuan yang memegang rebab mendengus. "Apapun urusan kalian aku tidak perduli. Darah dan nyawanya adalah bagianku!" Lalu alat penggesek ditangannya meluncur diatas tali-tali rebab. Terdengar suara rebab melengking yang disusul dengan kiblatan sinar putih kekuningan. Kali ini lebih hebat, lebih panas dan lebih terang. Menghantam ke arah Simo Gembong!

"Manusia-manusia tolol! Kalian datang tidak pada waktu yang tepat! Biarkan aku menyelesaikan urusan dengan Dewi Maut!" teriak Simo Gembong seraya melompat tiga tombak ke atas. Dari atas dia memukul dengan tangan kanan ke bawah. Angin sedahsyat badai menerpa.

Buum!

Pedataran berumput itu laksana dilanda gempa. Para tokoh silat yang ada disitu berlompatan berserabutan. Ketika muncratan pukulan-pukulan sakti itu lenyap tampak Dewi Rebab Kencana duduk bersila di rumput. Rebab dan penggeseknya terletak di atas pangkuan. Dadanya turun naik, wajahnya tambah pucat dan rambutnya yang panjang awut-awutan. Jelas dia tengah mengatur jalan nafas dan peredaran darah dari gejolak hebat akibat bentrokan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Di seberang sana Simo Gembong tampak tersandar ke salah satu tiang pemancungan. Rahangnya menggembung. Matanya yang cuma satu membeliak besar. Terlebih ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana perlahan-lahan berdiri sambil pegang rebab dan penggeseknya.

"Dewi Rebab! Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah! Kalian bertiga pantas dihukum mati karena telah masuk ke Pulau Mayat tanpa izinku! Tapi mengingat akupun punya persoalan dengan kakek buruk ini, jika kalian mau meninggalkan tempat ini dengan segera maka nyawa kalian aku ampunkan!"

"Kalau kita semua mempunyai urusan yang sama, mengapa tidak saling berebut cepat berbuat pahala menamatkan riwayat manusia biang racun malapataka ini?!" ujar Datuk Ular.

Dewi Rebab menggesek rebabnya, keras melengking. Tanda dia setuju dengan ucapan Datuk Ular. Pendekar Kembang Merah tidak berkata apa-apa, tapi diapun ikut setuju dan diam-diam sudah kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan tangan kiri menyelinap mengambil senjatanya yaitu kembang kertas warna merah. Sebelum Dewi Maut dapat mencegah ketiga tokoh silat itu sudah menyerbu Simo Gembong.

Kawatir kedahuluan ketiganya, Dewi Maut yang sejak tadi telah memegang pedang Samber Nyawa akhirnya menyerbu pula ke tengah kalangan pertempuran. Sinar hitam menggidikkan yang mengeluarkan deru angin panas berkelebat di udara ketika pedang sakti itu membabat. Badan pedang berubah menjadi puluhan. Sulit diterka mana yang asli dan mana bayangannya!

Dua bunga kertas merah menyambar ganas ke perut dan batok kepala Simo Gembong. Ikat pinggang berupa ular sanca besar ditangan Datuk Ular menderu membabat ke pinggang dan sinar putih kekuningan yang keluar dari tali-tali rebab yang digesek bersiur dahsyat melabrak kakek bertubuh kurus itu!

Simo Gembong berteriak keras. Putus asa karena Sutri alias Dewi Maut menolak untuk hidup bersama. Disamping itu dia juga marah melihat kenyataan dirinya menjadi bulan-bulanan pengeroyokan. Namun suara teriakan Simo Gembong yang dahsyat itu ternggelam dalam satu bentakan menggeledek yang datang dari ujung timur Pedataran Pemancungan. Semua serangan punah berantakan!

"Manusia-manusia curan! Beraninya main keroyok! pengecut! Benar-benar memalukan!"

Segulungan asap putih datang membuntal. Udara di pedataran berumput itu mendadak sontak menjadi dingin luar biasa. Semua yang ada disitu menggigil. Pendekar Kembang  Merah goyah lututnya dan jatuh tersungkur. Datuk Ular komat-kamit entah membaca mantera apa. Tubuhnya menggeletar. Dewi Rebab Kencana menggigil, berusaha bertahan agar tidak melosoh ke tanah. Dewi Maut pegang Pedang Samber Nyawa erat-erat dan salurkan hawa panas dari pedang itu ke dalam tubuhnya. 
Namun tak urung tetap saja dia merasa kedinginan. 

Simo Gembong tegak tergontai-gontai. Matanya yang besar merah tampak membeliak. Tapi dia tidak merasa dingin. Jelas pukulan asap putih dingin itu tidak ditujukan padanya! Tapi tak dapat dia menduga. Kawan atau lawankah yang datang ini? Di saat dia sudah kepingin cepat-cepat mati mengapa masih ada saja yang hendak menolongnya?

Asap putih dingin perlahan-lahan sirna meninggalkan kabut tipis. Dibalik asap tipis itu kelihatan tegak sesosok tubuh tinggi kekar, berpakaian putih dengan baju terbuka hingga tampak dadanya yang penuh dengan otot.

"Mahesa!" seru Simo Gembong ketika dia mengenali siapa adanya orang itu.

Dewi Maut tersentak kaget. Mendadak saja hatinya gembira berbunga-bunga. Benarkah pemuda yang dirindukannya itu yang tegak dibalik kabut putih tipis itu?

"Embah!" seru si pemuda seraya melompat ke hadapan gurunya dan tegak dengan sikap melindungi.

Embah Jagatnata alias Simo Gembong sesaat masih terkesiap namun kemudian terdengar suara tawanya panjang. "Muridku! Aku gembira kau datang! Tapi aku tidak senang kau turun tangan menolongku! Aku kagum melihat kau memiliki ilmu pukulan sakti bernama Api Salju tadi! Muridku, biarlah aku mati ditangan orang-orang ini! Untuk menebus semua dosaku. Termasuk dosaku padamu! Dosa membunuh ayah dan ibumu!"

"Embah, saya telah melupakan hal itu...." kata Mahesa.

"Bagus! Terima kasih muridku. Tapi ada yang tak bakal melupakan. Yakni hukuman Tuhan! Jika kau merasa masih muridku, patuh padaku, pergi ke ujung lapangan sana! Biarkan orang-orang ini membantaiku di pedataran rumput ini!"

"Sebagai murid saya tak bias berlepas tangan membiarkan mereka membunuh Embah!"

"Jangan keras kepala! Turut perintahku!" Simo Gembong tampak marah.

Mahesa tetap tegak ditempatnya. Kedua matanya memandang ke arah orang-orang yang siap mengeroyok gurunya. Simo Gembong diam-diam mengetahui apa yang ada dalam benak pemuda itu. Maka dia cepat berkata,

"Mahesa, dengar! Apapun yang mereka lakukan terhadapku jangan sekali-kali kau mendendam pada mereka!"

Datuk Ular, Dewi Rebab Kencana dan Pendekar Kembang Merah hampir tak dapat mempercayai kalau yang muncul itu adalah seorang pemuda yang diakui murid oleh Simo Gembong. Jika gurunya jahat apakah sang murid juga jahat? nyatanya sang murid memiliki kepandaian yang tidak berada dibawah tingkat kepandaian gurunya. Apakah dia berkeras kepala untuk membantu Simo Gembong?

Sebaliknya Dewi Maut tidak perdulikan siapapun adanya Mahesa. Melihat wajah pemuda itu kembali hilanglah kerinduannya selama ini. Selintas pikiran muncul dibenaknya. Serangkum senyum menyungging dibibirnya yang merah mungil. Dia berpaling pada Simo Gembong dan berkata,

"Tua Bangka durjana! Aku bisa melupakan dendam kesumatku terhadapmu dan mengampuni selembar nyawa busukmu. Asal saja kau mau membujuk muridmu untuk tinggal disini, di Pulau Mayat ini!"

Paras Mahesa Kelud tampak menjadi sangat merah. Datuk Ular, Dewi Rebab dan Pendekar Kembang Merah sama memandang ke arahnya.

"Eh, apa katamu Sutri...?!" ujar Simo Gembong seraya memandang pulang balik pada Mahesa dan Dewi Maut. "Ha ha ha...! Rupanya kau sudah jatuh cinta pada muridku! Ha ha ha..! Pantas tak ada tempat lagi untukku dihatimu!"

Meskipun mulutnya tertawa tapi hati dan batin Simo Gembong benar-benar terpukul. Kemungkinan hidup bersama dengan perempuan yang pernah dirusak kemudian dicintainya itu sudah tertutup. Apalagi yang kini dicarinya selain kematian?! Dia memandang berkeliling.

"Siapa yang ingin membunuhku, bunuhlah! Mahesa, jangan kecewakan hatiku dihari terakhir hidupku ini! Menyingkir ke tepi pedataran!"

Mahesa merasakan tenggorokannya tercekik. Dengan langkah gontai dia berjalan ke tepi pedataran berumput. Saat itulah Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah pergunakan kesempatan. Ikat pinggang ular sanca menderu. Kembang kertas merah melesat. Disaat yang sama Dewi Rebab gesek rebabnya. Sinar putih kekuningan menyambar ke arah perut Simo Gembong. 

Tubuh orang tua itu mencelat ketika sinar putih menghantam perutnya. Belum sempat mencelat jauh, kepala ular menggebuk punggungnya hingga dia terbanting ke bawah. Disaat itu pula kembang kertas yang sekeras kepingan besi itu menancap di dadanya!

Jelas sekali terlihat Simo Gembong tidak berusaha menghindar atau balas menyerang. Dia biarkan dirinya menjadi sasaran tiga serangan itu. Tubuhnya terkapar di tanah. Tapi dia bangkit kembali sambil menyeringai. Darah mengucur dari dadanya yang ditancapi kembang kertas. Tulang-tulang iganya dibarisan belakang kiri hancur oleh gebukan senjata Datuk Ular dan sinar putih yang menghantam dadanya membuat dada itu hangus. Darah kental kelihatan mengucur di sela bibirnya.

"Embah!" pekik Mahesa.

"Tetap ditempatmu!" teriak Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dia melangkah ke hadapan Dewi Maut. "Sutri...! Mereka bisa menggebukku sampai hancur! Mereka bisa mencincang tubuh kasarku! Tapi aku tak akan mati! Nyawaku tak akan lepas! Hanya pedang di tanganmu itu yang sanggup membunuhku! Tusukkan ke dadaku Sutri! Tusukkan!"

"Jangan dengar ucapannya Dewi!" 
Mahesa berteriak dari tepi pedataran.

Sesaat Dewi Maut menjadi ragu. Kata-kata siapa yang harus diikutinya. Sebaliknya Simo Gembong yakin bahwa perempuan itu akan mengikuti ucapan Mahesa. Tak ada jalan lain. Simo Gembong menerkam ke depan. Dewi Maut terpekik. Tubuhnya mencelat dan jatuh terhampar di rumput. Pedang Samber Nyawa tertarik lepas dari genggamannya. Ketika dia memandang ke depan senjata sakti itu sudah berada dalam tangan Simo Gembong.

"Embah! Jangan...!" teriak Mahesa menggeledek. Dia memburu.

Tapi Simo Gembong lebih cepat. Pedang Samber Nyawa ditusukkannya ke dadanya. Persis seperti kejadian di puncak Gunung Kelud tempo hari. Tapi sekali ini yang menancap di dadanya adalah pedang Samber Nyawa yang asli. Terdengar suara aneh dari tenggorokan Simo Gembong. Suara seperti kerbau disembelih. Darah membusah dimulutnya, mengucur dari luka didada. Matanya yang merah membeliak besar. Mahesa cepat cabut pedang Samber Nyawa dari dada gurunya. Tubuh Simo Gembong rebah menelentang ke tanah. Mahesa merangkulnya.

"Embah… Embah!"

Tapi sang guru tak menjawab. Tidak bergerak dan tak bernafas lagi. Benar-benar mati. Dewi Maut melangkah mendekat. Dipungutnya, Pedang yang tergeletak di rumput.

"Dia sudah mati Mahesa. Gurumu sudah mati..." terdengar perempuan itu berkata.  
Mahesa hanya bisa tundukkan kepala.

Disampingnya terdengar Dewi Maut membentak. "Dewi Rebab! Datuk Ular! Pendekar Kembang Merah! Kalian tak punya kepentingan apa-apa lagi disini! Pergi sebelum aku merubah keputusan untuk mengampuni nyawa kalian!"

Datuk Ular berpaling pada Pendekar Kembang Merah. Keduanya saling mengangguk. "Memang, tak ada perlunya kami berlama-lama disini!" Lalu keduanya cepat-cepat tinggalkan tempat itu.

Dewi Maut berpaling pada Dewi Rebab Kencana. Yang dipandang tersenyum tawar lalu gesek rebabnya. Kali ini tak ada sinar dahsyat yang berkiblat. Hanya bunyi yang keras tapi bernada pilu. Begitu bunyi itu lenyap, Dewi Rebab juga ikut lenyap dari tempat tersebut. Dewi Maut bertepuk tiga kali. Tujuh anak buahnya segera muncul.

"Urus mayat kakek itu," katanya pada mereka.

"Baik Dewi!" Tujuh gadis cantik berpakaian biru menyahut berbarengan.

'Tidak!" tiba-tiba terdengar suara Mahesa. "Aku sendiri yang akan mengurus mayat guru! Jangan ada yang berani menyentuh jenazahnya!"

Dewi Maut termangu sesaat. Lalu berkata, "Jika itu maumu, akupun tidak melarang. Hanya saja kau harus menguburkannya di pulau ini!"

Mahesa tak menyahut. Didukungnya jenazah Simo Gembong yang selama ini hanya dikenalnya dengan nama Embah Jagatnata. Ditepi pantai dia berhenti, memandang ke tengah laut sementara hari mulai terang dan di timur langit kelihatan mulai merah.

Dewi Maut yang sejak tadi mengikutinya bersama tujuh anak buahnya tegak di belakangnya. Ketika Mahesa menurunkan jenazah Simo Gembong, Dewi Maut memberi isyarat. Dua orang anak buah Dewi Maut yakni Tiga Biru dan Dua Biru meletakkan alat-alat penggali disamping Mahesa yakni pacul dan linggis. Keduanya kemudian mundur ke tempat semula.

Tanpa berkata apa-apa Mahesa ambil pacul itu lalu mulai menggali kubur untuk gurunya. Dewi Maut mengambil linggis. Sesaat dia tegak memandangi Mahesa. Ketika Mahesa mengangkat kepalanya, pandangan mereka bertemu.

"Kalau kau memang ingin membantu, mulailah," kata Mahesa.

Dewi Maut tersenyum lebar. Dia segera mengambil linggis dan masuk ke dalam lobang yang telah digali Mahesa. Tiga Biru memandang pada kawan-kawannya.

"Tak ada pekerjaan untuk kita disini!"  
katanya.

Lalu ketujuh gadis itu segera tinggalkan tempat tersebut. Mahesa dan Dewi Maut terus menggali sementara sang surya sudah menyembul di sebelah timur.

Simo Gembong Mencari Mati

Mahesa Kelud. Simo Gembong Mencari Mati

SIMO GEMBONG MENCARI MATI

Karya : Bastian Tito


PUNCAK GUNUNG KELUD...
Awan berarak tinggi. Sesaat menyelimuti puncak gunung kemudian bergerak menjauh, ditiup angin ke arah timur. Di dalam pondok kayu beratap rumbia, letaki tua itu duduk bersila. Kedua tangan diletakkan diatas paha. Mata kanan terpejam rapat sedang mata kiri yang hanya merupakan rongga besar nyalang menantang mengerikan.

Janggutnya yang hitam panjang bergoyang-goyang ditiup angin yang masuk dari pintu. Dari batok kepalanya yang ditutupi rambut kotor awutan-awutan tampak mengepul asap hijau aneh.  Jelas orang tua ini tengah bersemedi sambil mengerahkan tenaga dalam yang sangat tinggi.

Ketika sekelompok awan datang lagi menyelimuti puncak Gunung Kelud, orang tua bertampang angker ini membuka mata kanannya yang sejak tadi dipejamkan. Ternyata mata ini berwarna sangat merah, membuat wajahnya tambah menyeramkan untuk dipandang. Kemudian terdengar suaranya serak besar ketika mulutnya terbuka.

"Syukur kau sudah kembali Mahesa. Aku gembira!"

Dan mata kanan yang merah itu memandang tak berkedip pada sosok tubuh pemuda yang duduk khidmat dihadapannya.

"Muridku, kau berhasil mendapatkan pedang Samber Nyawa?"

"Berhasil Embah."

"Bagus!"

Mulut orang tua itu menyunggingkan senyum. Tapi senyum ini malah membuat tampangnya tambah seram. "Bagus sekali! Lalu apakah kau juga sudah berhasil menemukan dan membunuh manusia bernama Simo Gembong?"

Sang murid Mahesa Kelud tidak menjawab. Diperhatikannya sesaat tanda hitam disiku tangan kanan orang tua itu. Hatinya berdebar. Tanda itu adalah salah satu dari ciri-ciri manusia yang namanya barusan disebutkan oleh sang guru!

"Aku bertanya. Apakah kau sudah berhasil menemukan manusia bernama Simo Gembong dan membunuhnya...?" Orang tua itu kembali bertanya.

"Embah Jagatnata," sahut Mahesa Kelud menyebut nama gurunya itu. "Petunjuk-petunjuk yang saya dapatkan masih kurang jelas. Saya memerlukan tambahan petunjuk dari Embah." Air muka Embah Jagatnata tampak berubah.

"Kalau begitu, percuma kau datang kemari! Bukankah dulu sudah kuberi ingat? Kau sekali-kali tidak boleh kembali kesini sebelum berhasil menemui dan membunuh orang bernama Simo Gembong itu?! Apa jawabmu Mahesa?!"

"Embah, hasil penyelidikan yang saya dapat, membuat saya jadi bingung sendiri," jawab Mahesa Kelud. Nama itu adalah pemberian gurunya. Nama sebenarnya pemuda ini adalah Panji Ireng.

"Bingung?" Kening Embah Jagatnata tampak  berkerenyit. "Bingung bagaimana?"

"Harap maafkan saya Embah. Ciri-ciri orang bernama Simo Gembong itu sangat sama dengan ciri-ciri Embah sendiri.”

"Kalau begitu apakah kau sudah berpendapat bahwa aku gurumu ini adalah Simo Gembong itu?!"

"Walau kenyataan memberi petunjuk demikian, tapi saya tidak berani mengatakan begitu Embah. Saya tidak dapat mempercayainya..."

"Lalu kau berpegang pada yang mana. Pada kenyataan atau pada jalan pikiranmu sendiri?!" Tanya sang guru.

"Pada kedua-duanya Embah" sahut Mahesa.

"Kalau kau memang berpegang pada keduanya, lalu mengapa masih belum berhasil menemui dan membunuh manusia Simo Gembong itu?"

"Justru disitulah saya ingin petunjuk lebih lanjut dari Embah, agar tidak keliru mengambil keputusan."

Embah Jagatnata memandang pada Mahesa dengan matanya yang cuma satu. Asap kehijauan masih mengepul keluar dari ubun-ubun kepalanya. "Bodoh!" bentak orang tua itu tiba-tiba. "Kau sudah lihat kenyataan! Kau sudah lihat kesamaan ciri-ciri antara aku dan Simo Gembong! Apakah kau masih belum dapat menarik kesimpulan?!"

Sesaat pemuda itu terkesiap. Lalu, "Kalau kesimpulan itu berbunyi bahwa manusia bernama Simo Gembong adalah Embah sendiri, lantas mengapa Embah menyuruh saya turun gunung untuk mencarinya dan membunuhnya?" 
Pemuda ini benar-benar tidak mengerti.

Embah Jagatnata geleng-gelengkan kepala. "Akan  kuterangkan,  akan kuterangkan," katanya kemudian. "Selama puluhan tahun hidup, aku telah melewatinya dengan percuma. Bahkan dengan menanam dosa di sepanjang hari kehidupanku itu. Aku berilmu tinggi. Tak ada yang menandingi. Dengan ilmuku itu aku berbuat apa yang aku mau. Membunuh! Merampok!  Memeras!  Menculik gadis-gadis, merusak kehormatannya. Melarikan istri orang, memperkosanya. Bahkan aku juga membunuh anak-anak! Tak ada satu orangpun berani turun tangan menghukumku! Aku semakin tua dan dosa-dosaku yang selangit tembus itu semakin karatan! Aku ingin mati! Ingin mampus! Biar Tuhan menghukumku diliang kubur. Tapi ajal tak kunjung sampai. Malaikat maut masih belum mau datang! Satu-satunya senjata yang sanggup memisahkan nyawaku dengan jazadku adalah pedang Samber Nyawa. Aku tak tahu dimana senjata sakti itu berada. Karena itu kusuruh kau mencarinya. Dan katamu kau telah berhasil mendapatkan pedang itu. Dimana kau temukan pedang itu Mahesa?"

"Di sebuah lembah bernama Lembah Maut di Pulau Mayat. Tempat kediaman Dewi Maut...."

"Dewi Maut... Ah, ternyata dia masih hidup!" Paras Embah Jagatnata tampak memutih. Mata kanannya terpejam. Berulang kali dia menarik nafas dalam. "Aih, ternyata dia masih hidup. Bagaimanakah keadaannya? Apakah dia masih mendendam diriku? Ingin sekali aku melihatnya. Sungguh tak disangka kalau dia masih hidup dan masih memiliki senjata itu...." Kata-kata itu diucapkan Embah Jagatnata dalam hati sehingga Mahesa Kelud tidak mendengarnya. Keinginan untuk mati kini tiba-tiba saja memudar dalam diri sanubari si orang tua.

"Embah," kata Mahesa. "Menurut Dewi Maut, dengan pedang itu dia membabat puntung telinga kananmu. Apa benar....?"

Embah Jagatnata mengangguk perlahan. Hatinya terasa perih. "Aku membuat segudang dosa besar padanya. Dia ingin membalaskan sakit hati. Kami berkelahi. Saat itu, puluhan tahun silam tingkat kepandaian kami masih sama. Namun dia memiliki pedang Samber Nyawa. Aku tak sanggup menghadapinya dan melarikan diri setelah dia menabas buntung telinga kananku. Kau bertemu muka dengan Dewi Maut. Bagaimana keadaannya. Atau kau sudah membunuhnya?" Hati orang tua ini mendadak berdebar.

"Tidak, saya tidak membunuhnya. Keadaannya... Dia hidup di alam aneh..."

"Aneh bagaimana maksudmu?"

"Embah tahu perempuan itu seusia Embah. Tapi wajahnya dan tubuhnya tetap muda...."

"Aku tahu! Aku tahu! Pasti dia mendapat mantera awet muda itu dari gurunya si Dewi Cabut Nyawa..."

"Memang  begitu  menurut pengakuannya."

Embah Jagatnata geleng-gelengkan kepala. Hasrat ingin bertemu dengan perempuan itu semakin menyentak. Tapi keinginan untuk mati yang sudah dipanteknya dihadapan muridnya apakah harus dibatalkan begitu saja? Dia tak bakal punya muka terhadap Mahesa! Setelah menghela nafas dalam, orang tua ini berkata,

"Di hari-hari tuaku ini, dimasa hampir masuk ke liang kubur terbit rasa penyesalan dalam hatiku. Menyesal atas segala kejahatan dan dosa tak berampun yang telah kuperbuat. Aku ingin cepat-cepat mempertanggungj-awabkan semua itu dihadapan llahi. Tapi ajal tak kunjung datang. Hidup dan batinku tersiksa. Kau tahu Mahesa. Kau adalah seorang anak manusia yang menjadi korban kebejatanku!"

"Saya tidak mengerti Embah….." kata Mahesa ketika sang guru menghentikan penuturannya sejenak.

"Tentu kau tak mengerti muridku. Tabahkan hatimu," jawab Embah Jagatnata. 
"Ketahuilah, ibumu seorang perempuan cantik dan hidup bahagia bersama ayahmu. Ketika dia baru saja melahirkan kau yang waktu itu berusia dua bulan, ibumu kularikan. Ayahmu kubunuh. Juga paman serta kakekmu. Juga mertuamu. Ibumu kubawa kesebuah pondok di rimba belantara. Disitu kugauli, kurusak kehormatannya selama berminggu-minggu. Kemudian kubunuh! Bejat! Aku terlalu bejat. Dosa semacam itu merupakan dosa tak berampun. Dan yang seperti itu bukan hanya sekali kulakukan, tapi puluhan kali. Puluhan gadis, anak istri orang jadi korbanku!"

Mahesa Kelud merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Darahnya memanas dan kuduknya mendadak menjadi dingin. Saat itu terdengar kembali suara gurunya.

"Penyesalan selalu datang terlambat. Ketika aku tahu bahwa kau adalah anak perempuan yang dulu aku bunuh maka aku berniat agar kelak kaulah yang dapat membunuhku sebagai pembalasan atas dosa-dosaku. Waktu itu kau sudah menjadi seorang pemuda dan di ambil jadi anak angkat oleh satu keluarga miskin di kampung Sariwangi. Kau diberi nama Panji Ireng oleh mereka. Suatu malam sehabis kau menonton wayang golek, di bawah hujan lebat kau kuhadang di Kali Brantas. Arus sungai melemparkan kau ke dalam air. Dalam keadaan pingsan kau kubawa kemari, kuambil jadi murid, kudidik dan kuajari berbagai ilmu silat serta kesaktian. Semua itu agar kau punya bekal untuk mencari pedang Samber Nyawa. Hanya senjata itulah satu-satunya yang bisa membunuhku, Senjata lain bisa melukaiku tapi tak sanggup mematikan!"

Embah Jagatnata diam sejenak, baru meneruskan. "Kau pergi dan sekarang kembali membawa pedang sakti itu. Hari ini adalah hari kematianku!"

Sampai disitu kembali orang tua itu terdiam sesaat. Di pelupuk matanya yang hanya satu kembali terbayang wajah Dewi Maut dan di lubuk hatinya dia bertanya benarkah dia menginginkan kematiannya hari itu?

"Hari ini adalah hari kematianku," mengulang Embah Jagatnata yang kenyataannya adalah Simo Gembong adanya.

"Hari ini hari pembalasan. Aku tahu kematianku ditanganmu belum tentu dapat menebus semua dosa-dosaku. Mahesa! Keluarkan pedang Samber Nyawa, tetakkan ke batok kepalaku. Cincang tubuhku sampai lumat. Biar terbalas sakit hati kematian kedua orang tuamu. Kematian semua orang yang telah kubunuh dan kurusak kehidupannya! Lakukan Mahesa! Sekarang!"

Meskipun hatinya menggeram dan darahnya seperti terbakar mendengar penuturan Embah Jagatnata namun sampai saat itu Mahesa Kelud tetap duduk tak bergerak.

"Kau tunggu apa lagi Mahesa?!"

"Tak mungkin Embah, tak mungkin saya memenuhi permintaan Embah," akhirnya terdengar jawaban si pemuda.

"Tapi aku telah membunuh ayahmu, ibumu. Kau tak akan berdosa jika kau membunuhku karena aku yang tanggung semua dosa!" ujar sang guru.

"Mohon dimaafkan Embah jika saya berpendapat bodoh. Tak ada manusia yang bisa menanggung dosa manusia lainnya dihadapan Tuhan. Apapun yang telah terjadi tak mungkin saya harus membunuh guru..."

Antara guru dan murid itu terjadi perdebatan panjang yang mungkin tak akan ada habisnya. Jagatnata alias Simo Gembong kehabisan kesabarannya. Dicabutnya sebatang tongkat kecil dari pinggangnya lalu berdiri seraya berkata,

"Mari kita keluar. Aku tahu hatimu. Kau memang kesatria murni. Keluarkan pedang Samber Nyawa. Mari kita bertempur sampai kau berkesempatan membunuhku secara kesatria!"

Orang tua itu mendahului melangkah ke luar pondok. Setelah lama menunggu baru Mahesa Kelud menyusul. "Cabut pedang Samber Nyawa itu!" teriak Simo Gembong.

Mahesa menggerakkan tangannya. Tapi yang dicabutnya bukan pedang Samber Nyawa melainkan sebilah pedang merah. Pedang Dewa. Melihat sosok senjata mustika itu Simo Gembong menyeringai.

"Pedang Dewa," katanya mengenali. "Pedang bagus. Merupakan satu dari beberapa senjata langka dunia persilatan. Tentu kau telah berguru pada Suara Tanpa Rupa. Nasibmu baik Mahesa. Tapi ketahuilah senjata itu hanya bisa melukaiku. Tak dapat membunuhku. Sekalipun kau melakukan seribu tusukkan ke sekujur tubuhku!"

Sesaat sang murid berdiri bimbang.

"Kalau kau tak percaya mari kita buktikan!" kata Embah Jagatnata. Tubuhnya berkelebat ke depan. Tongkat di tangan kanan dipukulkan. Meski benda ini kecil saja tapi derunya laksana badai, menyambar ke arah leher Mahesa.

Pemuda ini cepat berkelit namun tak mau membalas. Tongkat membalik, menggempur ke arah dada, letak peredaran darah besar. Ketika pemuda ini mengelak lagi tahu-tahu terdengar suara berdentrang. Pedang Dewa terpukul lepas oleh tongkat sang guru! Sebelum senjata ini jatuh ketanah Mahesa cepat-cepat menangkap hulunya lalu pemuda ini tegak termangu.

"Kau lihat sendiri muridku betapa tidak bergunanya pedang sakti itu. Keluarkan pedang Samber Nyawa…..!"

Mahesa masukkan kembali Pedang Dewa ke dalam sarung dibalik punggung. Di tangan kanannya kemudian terlihat sinar kuning terang. Ternyata pemuda ini telah keluarkan Keris Ular Emas yang didapatnya dari Dewi Ular.

"Aih, kau benar-benar bernasib baik muridku. Tidak gampang mendapatkan Keris Ular Emas itu! Senjata sakti yang sanggup mematikan segala macam racun. Namun untukku tetap tak ada manfaatnya. Lihat…..!"

Tubuh Simo Gembong seperti seekor burung elang. Melayang ke udara. Kakinya menggempur lebih dulu. Mahesa meskipun pegang keris sakti di tangan namun tak berani memapaki serangan, mengambil sikap mengelak. Tongkat kecil di tangan sang guru menusuk ke kepala itu sebenarnya adalah bayangan saja dari tongkat yang asli. Sementara badan tongkat yang asli meluncur deras ke bawah dan... plak!

Keris Ular Emas terlepas mental. Sebelum jatuh kembali Mahesa cepat menyambuti dan menyimpannya. Pemuda ini berpikir-pikir, apakah benar Pedang Dewa dan Keris Ular Emas itu tidak sanggup menandingi sang guru. Apakah bukan karena dia mengambil sikap bertahan dan mengelak, sama sekali tidak mau balas menyerang?

"Masih juga kau belum mau keluarkan pedang Samber Nyawa itu Mahesa?!"

Perlahan-lahan Mahesa gerakkan tangannya ke pinggang kiri. Sebuah benda hitam tergulung seperti ikat pinggang kini berada di tangan kanannya. Begitu gulungan dibuka maka benda itu berubah menjadi sebilah pedang yang memancarkan sinar hitam legam!

Mata kanan Simo Gembong yang merah membuka lebar, memandang tak berkedip pada senjata di tangan Mahesa, kemudian sinar matanya yang galak buas meredup dan akhirnya terpejam.

"Senjata itu....." desisnya dalam hati. "Pedang itu palsu! Ternyata palsu, bukan yang asli. Bentuk, sinarnya memang hampir sama. Tapi palsu. Muridku telah tertipu. Hari kematianku tak akan sampai.....!" Dan dilubuk hati Simo Gembong kembali menyusup perasaan yang ingin menolak kematian. Dipelupuk matanya kembali terbayang wajah Dewi Maut.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana Mahesa hanya dapatkan pedang yang palsu! Dan pemuda itu agaknya tidak mengetahui hal ini. Kasihan muridku. Tapi aku tak ingin mengecewakannya. Aku tak ingin membuat dia merasa sia-sia....!"

Perlahan-lahan mata kanan itu membuka kembali. Simo Gembong angsurkan kepalanya ke arah Mahesa. "Ayo Mahesa! Tebas leherku! Bacok kepalaku! Cepat!" 

Mahesa tak bergerak.

"Mahesa! Kau dengar perintahku?!" Suara Simo Gembong menggeledek. Puncak  Gunung Kelud laksana bergetar.

"Tidak guru! Saya tidak bisa melakukannya!? Kata Mahesa kemudian. Ketika pemuda itu masih tak mau bergerak maka menyeranglah Simo Gembong. Tongkat di tangan sang guru berubah laksana puluhan banyaknya dan menyerang ke berbagai bagian tubuh si pemuda hingga mau tak mau Mahesa harus bertindak cepat selamatkan diri. Sekali-sekali dia terpaksa pergunakan pedang hitam untuk membentengi diri. Kesempatan ini sengaja dipergunakan Simo Gembong untuk mengangsurkan tongkatnya dalam gerakan lebih perlahan hingga tongkat itu terbabat putus oleh pedang hitam.

"Ayo Mahesa. Bacokkan pedangmu! Tusukkan senjata itu!"

Tetap saja Mahesa mengambil sikap mengelak dan mempertahankan diri. Setelah bertempur puluhan jurus terdengar  Simo Gembong menggembor. Bagaimanapun memaksa muridnya itu tak akan mau membunuhnya. Tahu betul akan hal ini si orang tua buang tongkatnya yang buntung. Matanya tampak berapi-api, rahangnya menggembung.

Tiba-tiba dia melompat ke muka, menerkam seperti seekor harimau lapar. Kedua tangannya cepat sekali mencekal lengan kanan Mahesa Kelud. Sebelum pemuda ini tahu apa yang hendak dilakukan gurunya, dengan kekuatan luar biasa Simo Gembong tarik tangan muridnya yang memegang pedang kemuka, ke arah dadanya dan keras! Ujung pedang Samber Nyawa terhunjam di dadanya!

"Mahesa...Selamat tinggal muridku!"

Mahesa tersentak kaget. Dia lepaskan pegangan pada hulu pedang dan cepat merangkul tubuh gurunya sebelum jatuh terbanting ke tanah.

"Guru.... Embah.... Mengapa kau senekad itu...." ujar Mahesa terbata-bata. Sosok tubuh yang tak bergerak dan bermandikan darah itu dibopongnya ke dalam pondok dibaringkannya diatas balai-balai kayu. Dipandanginya jenazah sang guru dengan mata berkaca-kaca.

"Guru, Tuhan sendiri belum mau menjatuhkan hukuman padamu. Mengapa kau mengambil keputusan sendiri...? Aku memaafkan apapun yang telah kau lakukan terhadap kedua orang tuaku. Semoga semua orang mengambil sikap begitu...."

Kata-kata itu meluncur tersendat-sendat dari mulut Mahesa. Perlahan-lahan dia membalikkan tubuh, melangkah keluar pondok. Udara tampak mendung. Dalam beberapa waktu lagi hujan akan turun. Sebelum hujan turun sebaiknya dia menyempurnakan jenazah gurunya. Sang guru yang telah membunuh ayah dan ibunya, yang telah membantai kakek serta mertuanya. Guru yang telah memusnahkan kehidupan keluarganya, tapi kepada siapa dia tidak menaruh dendam kesumat barang secuilpun.

Mahesa mulai menggali tanah di depan pondok. Menyiapkan kubur untuk Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Setelah lubang yang digali dirasakan cukup dalam maka diapun masuk ke dalam pondok untuk menjemput jenazah gurunya. Tapi baru sampai diambang pintu, kedua kakinya laksana dipantek. Kedua matanya membeliak besar. Jenazah sang guru yang tadi dibaringkan diatas balai-balai kayu, yang masih ditancapi pedang Samber Nyawa lenyap!

"Embah!" seru Mahesa Pemuda itu memeriksa seluruh pondok kecil itu. Membalikkan balai-balai kayu. Tapi jenazah sang guru bersama pedang hitam tetap tidak ditemuinya. "Apa yang terjadi?!" pikir Mahesa sambil tegak tersandar ke dinding pondok. "Seseorang mencuri mayat dan pedang itu...?"

Mahesa lari keluar pondok. Menyelidik. Sama sekali tak ada tanda-tanda kemunculan seseorang dipuncak gunung itu. Menurutnya tak mungkin ada seseorang sanggup mencuri mayat dan pedang itu tanpa diketahuinya. Setan sekalipun tak bakal sanggup melakukannya! Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Pemuda itu duduk terperangah ditepi lobang yang baru digalinya.



***

Apakah sebenarnya yang terjadi? Sesaat sesudah tubuhnya dibaringkan diatas balai-balai dan ditinggal keluar pondok oleh Mahesa, mata kanan Simo Gembong membuka. Kedua tangannya bergerak mencabut pedang yang menancap di dadanya. Darah masih mengucur deras namun dengan melakukan beberapa kali totokan darah itu serta merta berhenti mengalir.

Seperti orang baru bangun tidur saja, manusia sakti ini sambil memegang gulungan pedang di tangan kanan melangkah ke pintu, keluar dari pondok tanpa suara, tanpa diketahui oleh Mahesa yang sibuk menggali lubang. Seperti dikatakan sendiri oleh Embah Jagatnata alias Simo Gembong, berbagai senjata hanya bisa melukainya tapi tak bisa membunuhnya. Satu-satunya yang sanggup mematikannya ialah pedang Samber Nyawa. Samber Nyawa yang asli. Bukan yang palsu yang didapat Mahesa dan yang tadi menusuk dadanya!

Mahesa Kelud duduk termenung ditikungan Kali Brantas, dibawah pohon-pohon bambu. Berbagai pikiran menyamak hati dan kepalanya. Sampai saat itu masih belum tersingkap apa sebenarnya yang terjadi dengan jenazah gurunya Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dalam pada itu dia teringat pula pada Wulansari, istri yang ditinggalkannya di puncak Gunung Muria. Sangat rindu dia pada sang istri dan ingin sekali cepat-cepat kembali kepuncak Muria. 

Namun sebelum kabut lenyapnya jenazah Embah Jagatnata dapat disingkapkan, tak mungkin baginya menemui Wulansari. Disamping itu urusannya dengan Kemaladewi belum pula selesai. Benarkah bayi yang ditemuinya di Ujung Kulon itu anak hasil hubungannya dengan gadis itu? Hubungan akibat terjebak oleh manusia jahat Iblis Buntung alias Sitaraga? Dan terngiang ucapan Kemaladewi ditelinga Mahesa sebelum gadis itu lari bersama Raja Lutung dan bayinya.

"Dengar baik-baik, kelak bayi itu, anakmu sendiri nanti di satu hari akan membunuhmu. Ingat itu! Anak sendiri yang akan membunuh ayahnya!"

Mahesa Kelud usap wajahnya beberapa kali. Kenapa jalan hidupnya penuh liku seperti ini? Kenapa dia tidak mati tenggelam saja di Kali Brantas tempo hari?! Pemuda itu seperti menyesali nasib sendiri. Menyesali kenapa dia harus lahir kedunia kalau hanya akan menghadapi persoalan hidup yang begini rumit.

"Orang muda, kesusahan apakah yang membuat kau duduk termenung di tepi Kali Brantas ini....?" Tiba-tiba satu suara datang menegur.

Astaga! Mahesa Kelud terkejut. Saking begitu dalamnya dia tenggelam dalam persoalan yang dihadapi sampai tidak mendengar kedatangan orang. Berpaling ke kiri Mahesa melihat seorang lelaki berpakaian biru tegak memandang padanya sambil tersenyum. Orang itu memakai caping bambu yang lebar hingga sebagian mukanya tertutup.

"Siapa kau, saudara?" tanya Mahesa. Kembali orang itu tersenyum.

"Seperti kau, akupun kebetulan lewat disini dan melihatmu duduk termenung. Banyak persoalan rupanya?"

"Itu bukan urusanmu...."

"Ah... ah...! Tentu saja bukan urusanku. Tapi ketahuilah. Aku seorang juru ramal. Meski miskin tapi pandai meramal."

Mahesa diam saja seperti tak perduli.

"Apakah kau tak mau diramal?"

Mahesa tetap diam. Malah sebenarnya hendak berdiri dan melanjutkan perjalanan tinggalkan orang itu.

"Apakah kau tidak ingin mengetahui gambaran kehidupanmu dimasa datang? Langkah, rezeki, jodoh dan maut...?" tanya orang yang mengaku peramal tadi.

"Empat hal itu hanya Tuhan yang tahu!" kata Mahesa akhirnya. Sang peramal tertawa.

"Pengetahuan Tuhan memang sejagat luasnya. Pengetahuan manusia tidak ada sepersejutanya! Tapi apakah itu berarti Tuhan menginginkan kita umat manusia menjadi orang bodoh dan hidup tanpa usaha? Dengan belajar kita bisa menemukan berbagai rahasia dalam kehidupan ini. Termasuk pengetahuan tentang masa depan kita. Apalagi kulihat dirimu seperti diselimuti banyak kesulitan. Jika kau tahu langkah masa depanmu bukankah berarti kau bisa melakukan sesuatu. Mencegah hal-hal yang tak diingini....?"

Mahesa terdiam. Dalam hati dia membenarkan juga ucapan juru ramal itu.

"Nah, kau tentu mau kuramal. Ulurkan tangan kirimu. Kembangkan telapak tanganmu...."

Perlahan-lahan Mahesa ulurkan tangan kirinya dengan telapak dibuka lebar-lebar. Si juru ramal pegang tangan kiri Mahesa dan mendekatkan matanya seperti meneliti guratan-guratan yang ada di telapak tangan itu. Tiba-tiba cepat sekali sang juru ramal tekan urat besar di pergelangan kiri Mahesa hingga pemuda ini merasakan sekujur tubuhnya seperti ditusuk jarum.

Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, tangan kanan orang didepannya menyelinap menusuk ke dada kiri. Detik itu juga tubuh pemuda ini kaku tegang tak bisa bergerak tak dapat lagi bersuara! Mahesa hanya bisa merutuk kebodohannya sendiri. Sebetulnya sejak semula dia sudah curiga terhadap orang tak dikenal yang muncul secara tiba-tiba itu. Namun kini semua terlambat sudah.

"Siapa sebenarnya setan alas pembongkong ini?!" tanya Mahesa dalam hati. Kelak pertanyaannya itu cukup lama baru bisa terjawab. Si juru ramal bertepuk tiga kali. Dari balik tikungan sungai muncul sebuah gerobak ditarik seekor kuda coklat.

"Garda! Tolong aku menggotong orang ini ke atas gerobak!" kata juru ramal pada kusir kereta.

Keduanya kemudian menggotong tubuh Mahesa, dinaikkan ke atas gerobak. Bagian atas gerobak itu kemudian ditutup dengan kain lebar tebal hingga ketika gerobak mulai bergerak Mahesa tidak tahu kejurusan mana dia dibawa. Saking jauhnya perjalanan pemuda ini sempat tertidur diatas gerobak yang dipacu kencang itu. Selama perjalanan hanya dua kali kendaraan itu berhenti. Dan selama itu dia sama sekali tidak diberi minum maupun makan!

Ketika akhirnya gerobak itu berhenti dan kain penutup dibuka, Mahesa melihat langit gelap diatasnya tanda saat itu malam hari. Kusir gerobak menggotong tubuhnya bersama lelaki juru ramal lalu membawanya masuk ke dalam sebuah gedung. Mahesa terkejut ketika dia kemudian mengenali gedung itu adalah tempat kediaman bekas Adipati Suto Nyamat yang tewas di tangan Wulandari. Berarti dia berada di Madiun!

Mahesa dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian lelaki juru ramal itu muncul kembali. Dia tegak bertolak pinggang. Sesaat kemudian dia membungkuk menggeledah tubuh Mahesa hingga akhirnya menemukan Pedang Dewa dan Keris Ular Emas.

"Senjata-senjata mustika....." katanya tersenyum puas. Kedua senjata itu kemudian dimasukkannya kedalam sebuah lemari, ditutup dengan tumpukan pakaian. Lalu si juru ramal kembali mendekati Mahesa dan kali ini dia bergerak melepaskan totokan jalan suara pemuda itu. Begitu jalan suaranya pulih Mahesa segera membuka mulut.

"Bagus! Jadi kau ternyata juru ramal palsu. Dengar, jika kau berani mengambil pedang dan keris itu, nyawamu tak akan kuampuni!"
Sang juru ramal tertawa. Aneh! Suara tawanya bukan lagi suara tawa lelaki. Tapi suara tawa perempuan. Merdu nyaring!

"Kau sendiri akan segera mampus! Bagaimana bisa mengampuni nyawaku?!"

"Keparat! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Mahesa.

"Siapa aku? Sebentar lagi kau akan lihat!" Sang juru ramal palsu buka topi capingnya dan lemparkan ke sudut kamar. Rambutnya yang putih dijambaknya. Kini kelihatan rambut lain dibawah rambut itu dan berwarna hitam berkilat. Lalu dia tarik lepas selembar kulit tipis dari wajahnya. Ternyata wajah dibalik kulit itu adalah wajah seorang gadis cantik jelita.

"Kau!" seru Mahesa kaget. Si gadis tersenyum.

"Sekarang kau tahu siapa aku!"

"Kau... kau Retno! Puteri tunggal Suto Nyamat!"

"Tepat sekali!" kata sang dara.

"Kenapa kau lakukan ini? Aku tidak ada permusuhan denganmu!"

Sang dara tertawa panjang. Tiba-tiba wajahnya yang cantik tampak berubah buas. "Tidak ada permusuhan katamu? Ngacok! Dusta besar! Kau punya andil segudang atas kematian ayahku!"

"Dia memang pantas mati sesuai dengan dosanya yang setumpuk langit! Lagi pula sahabatku yang membunuhnya!"

"Tidak sangka kau terlalu pengecut mengakui keterlibatanmu! Apapun dalihmu kematian ayahku menjadi tanggungjawabmu! Sayang kawanmu yang perempuan itu... siapa namanya? Wulansari? Sayang dia tak ada bersamamu. Tapi tak mengapa. Lain waktu aku pasti berhasil menangkapnya!"

"Apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"" tanya Mahesa.

"Coba kau terka. Atau kau ada usul ingin mampus cara bagaimana?"

Mahesa merasakan tengkuknya dingin. Dalam keadaan tertotok tak berdaya seperti itu mudah sekali bagi Retno untuk membunuhnya. Dan kalau memang nasibnya harus mati di tangan gadis itu, diapun tidak takut.

"Kalau kau memang ingin membunuhku, lakukan dengan cepat!" kata Mahesa.

"Sebetulnya memang itu niatku sejak kau dan kawanmu membunuh ayah. Tapi kalau aku bisa mendapatkan keuntungan dari kematianmu mengapa tidak kulakukan...?"

"Apa maksudmu?!" Tanya Mahesa penasaran.
"Aku akan menjual nyawamu pada hartawan Prajadika!" sahut puteri Suto Nyamat.

Hartawan Prajadika. Siapa manusia ini. Mahesa coba mengingat-ingat. Dan dia ingat. Hartawan itu seorang terkemuka di Kotaraja yang dekat dengan kalangan istana. Putera hartawan tersebut, yang bernama Prajakuncara adalah murid Niliman Toteng, seorang tokoh silat sesat berkepandaian tinggi bergelar Iblis Jangkung.

Prajakuncara mati di tangan Mahesa, dalam kamarnya ketika hendak memperkosa Wulansari. Kalau begitu sang hartawan mendendam setengah mati terhadapnya dan inginkan jiwanya sebagai pengganti kematian puteranya. Kini Mahesa mengetahui apa yang ada dalam benak Retno dan menjadi latar belakang perbuatannya saat itu. Di pintu terdengar ketukan.

"Masuk!" kata Retno tanpa berpaling dari Mahesa yang terus diawasinya. Pintu terbuka lalu tertutup kembali. Dua orang berpakaian serba biru berbadan tinggi kekar masuk. Mereka adalah hulubalang istana kelas tiga yang saat itu mengenakan pakaian preman dan menjalankan perintah seorang pejabat tinggi istana untuk kepentingan hartawan Prajadika.

"Kalian boleh membawa orang ini. Tapi sesuai perjanjian serahkan dulu uang imbalan!" berkata puteri Suto Nyamat.

"Jangan kawatir den ayu Retno. Uang sudah kami siapkan!" Lalu salah seorang dari dua hulubalang itu mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pakaian birunya.   Terdengar suara bergemerincing. Retno menerima dan memeriksa isi kantong itu. Dia tersenyum puas dan melemparkan kantong itu ke dalam lemari.

"Perjanjian dipenuhi. Silahkan bawa orang itu."

"Den ayu Retno. Ada satu hal yang ingin kami tanyakan….." berkata hulubalang disebelah kanan.

"Tanyakan cepat!"

"Ketika kau pertama kali menangkap pemuda ini, apakah kau juga menemui sesuatu di tubuhnya? Menurut pengetahuan kami dia memiliki lebih dari satu senjata mustika..."

"Soal senjata tidak termasuk dalam perjanjian. Raden Mas Prajadika hanya menginginkan nyawanya. Bukan yang lain-lain. Lagi pula ketika kuperiksa, aku tidak menemukan apa-apa padanya," menjelaskan Retno.

"Kalau memang begitu baiklah. Kami akan membawanya dan minta diri...."

Lalu tubuh Mahesa digotong dan dinaikkan ke atas sebuah kereta. Malam itu juga dia dibawa ke gedung kediaman Prajadika di Kotaraja. Mahesa tidak takut apapun yang bakal terjadi atas dirinya. Yang dicemaskannya adalah Pedang Dewa dan Keris Ular Emas yang telah dirampas oleh puteri Suto Nyamat. Kalau senjata itu sampai jatuh ketangan manusia-manusia jahat tak bertanggung jawab atau tokoh silat sesat lainnya, maka akan celakalah dunia persilatan!

Disamping itu pemuda ini juga merasa heran, dari mana Retno mendapat kepandaian menyamar dan menotok. Setahunya gadis itu bukanlah seorang yang pernah mendapat pengajaran ilmu silat.



***

Kita tinggalkan dulu Mahesa Kelud yang mengalami nasib sial. Kita ikuti apa yang kemudian dilakukan Simo Gembong alias Embah Jagatnata begitu dia berhasil menyelinap keluar dari pondok di puncak Gunung Kelud. Orang tua berwajah angker ini lari secepat angin menuruni gunung ke arah timur. Dia sama sekali tidak merasakan perihnya luka bekas tusukan pedang Samber Nyawa palsu di dadanya.

Sepanjang berlari senantiasa terbayang olehnya wajah Dewi Maut, apapun yang terjadi dia harus menemui perempuan itu. Ada dua maksud terkandung dalam hati orang tua ini. Pertama untuk menjajagi kemungkinan hidup bersama. Selama hidupnya manusia ini telah puluhan kali menculik anak gadis dan istri orang.

Namun harus diakuinya Dewi Maut adalah perempuan paling cantik yang pernah ditemui dan kepada siapa sebenarnya hatinya terpikat. Siapa tahu kini perempuan itu yang kabarnya awet muda dapat dibujuk melupakan kejadian masa lalu dan hidup bersama. Kawin jadi, tanpa nikahpun tak jadi apa!

Tujuan kedua ialah jika dia tidak berhasil membujuk Dewi Maut maka dia akan minta agar perempuan itu membunuhnya dengan pedang Samber Nyawa. Karena jika dia memberikan pedang yang palsu pada Mahesa berarti dia memiliki pedang yang asli.

Namun setelah sekian tahun mengucilkan diri di puncak Gunung Kelud, tidak lagi mencampuri segala macam urusan duniawi, kini setelah turun dari puncak gunung itu memasuki kehidupan dunia nyata apakah dia tidak akan terpikat lagi untuk melakukan kejahatan dan kebejatan seperti dimasa mudanya?

Disamping itu sekali dia diketahui muncul kembali dalam dunia persilatan, apakah sekian banyak manusia yang pernah disakitinya dan mendendam sampai mati akan berdiam diri saja? Hal ini tidak pernah terfikirkan oleh Simo Gembong. Dia lari terus menuju ke timur. Tujuannya adalah Pulau Mayat.

Siang itu, setelah dua hari dia meninggalkan Gunung Kelud, Simo Gembong sampai di Gucialit, sebuah desa subur dikaki tenggara pegunungan Tengger. Dimulut jalan yang menuju ke desa perhatiannya terbagi pada serombongan orang yang berpakaian serba bagus. Disebelah depan terdapat lima orang membawa bendera-bendera besar. Ke lima orang ini diikuti oleh serombongan penabuh rebana dan alat-alat bebunyian lainnya termasuk sebuah gong besar.

Disebelah belakang enam orang lelaki bertubuh tegap memanggul sebuah tandu yang dihias aneka warna gaba-gaba. Dikiri kanan tandu dan dibagian belakangnya bersenjata melangkah selusin lelaki golok terhunus. Rupanya mereka bertindak sebagai pengawal tandu. Lalu menyusul beberapa orang lelaki dan perempuan. Yang lelaki berpakaian bagus rapi dan gagah, menyisipkan keris di pinggang sedang para perempuan berdandan cantik lengkap dengan perhiasan.

Perhatian Simo Gembong tidak tertuju pada perempuan-perempuan cantik yang melangkah dibarisan belakang itu. Matanya yang hanya satu itu senantiasa mengarah pada tandu. Di atas tandu yang ditutup dengan kain merah muda tipis itu duduk seorang gadis dalam pakaian pengantin yang gemerlapan. Wajahnya berseri-seri. Sebentar lagi dia akan sampai di rumah pengantin pria, duduk disandingkan dengan pemuda yang hari itu bakal menjadi suaminya.

Simo Gembong beberapa kali mengusap mukanya. Setan mulai merasuk hatinya. Dicobanya menghindar bujukan iblis dengan membayangkan Dewi Maut kekasihnya dimasa muda.

Namun yang lebih nyata dihadapannya jauh lebih menawan. Tak dapat lagi menahan goncangan jiwanya yang selama ini tidak pernah menyentuh kehidupan duniawi maka orang tua inipun memapasi rombongan tersebut di sebelah tengah, langsung melompat ke atas tandu. 

Enam orang pemandu tandu tersentak kaget ketika melihat satu bayangan cepat sekali menyambar tubuh pengantin. Tandu terjungkir balik. Sang pengantin terdengar memekik. Dua belas pengawal bertindak cepat. Pemimpinnya membentak garang.

"Penculik keparat! Lepaskan pengantin!"

Simo Gembong menyeringai. Mulutnya komat kamit. Tanpa berkata apa-apa dia berkelebat cepat tinggalkan tempat itu yang serta merta menjadi gaduh. Tiga pengawal di tambah pemimpinnya tadi berusaha mencegah sambil membabatkan golok masing-masing ke bagian bawah tubuh Simo Gembong.

Mereka tak berani menghantam sebelah atas karena takut akan mencelakai pengantin perempuan. Empat serangan itu dielakkan Simo Gembong dengan sangat mudah. Sebelum lenyap dia masih sempat menghadiahkan tumitnya ke dada pemimpin pengawal hingga orang ini terhempas roboh muntah darah!

Sejak peristiwa penculikan pengantin di Gucialit itu mata dan telinga rimba persilatan tiba-tiba saja menjadi terbuka. Ciri-ciri si penculik yang disebar dan dituturkan dari mulut kemulut jelas seperti ciri-ciri Simo Gembong. Benarkah manusia ini muncul kembali setelah sekian lama tak pernah terdengar lagi kabar beritanya?

Diduga sudah mati benarkah dia masih hidup? Dan kini muncul dengan membawa kejahatan bejad masa lalunya? Mulai lagi menebar angkara murka, menculik dan membunuh?! Tampaknya bencana itulah yang bakal melanda dunia persilatan kembali. Buktinya korban pertama telah jatuh!


***

Hujan lebat baru saja berhenti. Di dalam sebuah rumah kayu bertingkat yang terletak di lereng sebuah bukit, ditingkat atas duduk tiga orang tua mengelilingi sebuah meja. Di atas meja ada lampu minyak yang berkelap kelip setiap kali angin datang meniupnya. Lelaki yang duduk di ujung meja sebelah kanan mengenakan pakaian serba putih dan memakai sorban. Namanya Ki Ampel Sampang. Dia adalah seorang pengurus Pesantren Megasuryo yang terletak di Sampang, Madura.

Di sebelah kirinya duduk kakek tua berbadan kurus, mengenakan baju hitam lengan panjang dan celana hitam sebatas betis juga berwarna hitam. Dia memakai destar hitam di kepalanya. Sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan berwarna hitam legam. Orang tua ini dikenal dengan julukan Kelabang Hitam.

Lelaki ketiga yang duduk di hadapan Kelabang Hitam memiliki wajah aneh menyeramkan. Kepalanya seperti tidak berdaging lagi dan tanpa rambut sama sekali. Wajahnya hampir tidak ada beda dengan sebuah tengkorak. Sepasang matanya cekung. Dia mengenakan jubah biru gelap. Di pinggangnya melilit sebuah ikat pinggang besar terbuat dari bangkai ular Sanca.

Saat itu dialah yang menjadi pimpinan dalam pembicaraan karena diantara mereka bertiga memang dialah yang diketahui paling tinggi ilmu kepandaiannya. Namanya tak ada yang tahu tapi julukannya menggetarkan rimba persilatan yakni Datuk Ular Muka Tengkorak.

"Jika kalian berdua setuju, kita akan coba menghadang iblis bermata satu itu di Lembah Suket. Karena jika benar dia menuju ke timur pasti dia ingin mencari kekasih lamanya si Dewi Maut. Dan pasti dia akan melewati Lembah itu. Lembah yang penuh kenangan dimasa mudanya.

"Datuk Ular," Kelabang Hitam ganti bicara. "Aku tahu pengetahuanmu tentang  tindak tanduk Simo Gembong luas sekali. Hanya dapatkah kau menerangkan apa alasanmu bahwa dia pasti menuju ke timur?"

"Aku menyokong pertanyaan sahabat Datuk Ular," ikut berkata Ki Ampel Sampang. "Lagi pula bukankah markas tempat kediaman Dewi Maut di Pulau Mayat diobrak abrik seorang pendekar muda dua bulan berselang?"

Datuk Ular Muka Tengkorak manggut-manggut beberapa kali. "Kalian benar. Kita harus mempergunakan perhitungan yang matang. Agar tidak membuang tenaga dan waktu."

Sesaat dia mengusap muka tengkoraknya lalu meneruskan. 
"Turut penyelidikan, dari salah seorang anak buah Dewi Maut yang melarikan diri setelah kediamannya dihancurluluhkan, ternyata Dewi Maut tidak mati. Perempuan itu masih hidup. Berarti pula dia akan menuju ke timur. Apalagi sudah ada kenyataan bahwa saat ini dia berada di antara Gunung Kelud dan Lembah Suket. Terus terang segala sesuatunya diatas perhitungan segala kemungkinan. Kalau kita tidak berusaha atau melakukan sesuatu, kemungkinan itu tidak bakal menjadi kenyataan. Dan berarti tak ada sesuatupun yang bisa kita lakukan untuk mencegah angkara murka Simo Gembong. Atau apakah kita harus menunggu sampai banyak korban berjatuhan?"

Tiba-tiba diluar sana terdengar suara tawa membahak membahana! "Para sahabat! Jangan lupakan aku!"

Bersamaan dengan lenyapnya ucapan itu pintu ditingkat atas bangunan terpentang lebar. Sesosok tubuh berjubah merah berkelebat masuk. Jubahnya penuh dengan gambar bunga-bunga yang semuanya berwarna merah. Tiga orang tua yang ada dalam ruangan, kalau tadi tersentak kaget dan bersiap waspada, kini mereka menarik nafas lega. Ternyata yang datang adalah kawan sealiran.

"Pendekar Kembang Merah!" seru Kelabang Hitam.

"Kami gembira kau muncul!"

"Makin banyak jumlah kita makin baik!" kata Ki Ampel Sampang.

Datuk Ular Muka Tengkorak menarik kursi dihadapannya dan mempersilahkan Pendekar Kembang Merah duduk. "Para sahabat, angin membawa kabar pertemuan ini padaku. Karenanya jangan jengkel kalau aku datang tanpa diundang!" berkata Pendekar Kembang Merah.

Ki Ampel Sampang tersenyum. "Untuk melakukan sesuatu kebaikan mengapa harus menunggu undangan? Mari kita duduk dan membicarakan masalah yang tengah kita hadapi."

Maka dengan kedatangan anggota baru, pertemuan itu diulang dan digodok kembali. Keempatnya sepakat untuk menghadang Simo Gembong di Lembah Suket. Selesai perundingan Ki Ampel Sampang berdiri.

"Kawan-kawan, aku mohon diri lebih dulu. Ada seorang sahabat lama yang harus kusambangi sebelum berangkat ke Suket. Sampai bertemu pada hari yang ditentukan disana….." Pengurus Pesantren Megasuryo ini menjura lalu tinggalkan ruangan. Tiga orang lainnya menjelang pagi baru meninggalkan tempat tersebut.


LEMBAH SUKET
Lembah ini terletak antara kaki Gunung Suket dan Gunung Raung. Merupakan lembah subur tetapi hampir tak pernah didatangi manusia, apalagi untuk didiami. Disini, ditepi sebuah telaga berair aneka warna akibat pantulan pepohonan dan langit biru diatasnya, terdapat sebuah bangunan kayu yang sudah lapuk dimakan usia. Atapnya banyak yang bocor.

Dinding dan lantainya banyak yang sudah dimakan bubuk atau rayap. Daun jendela dan daun pintu pada miring hampir tanggal. Bangunan yang diselimuti debu dan sarang laba-laba itu meskipun kecil tapi tampak angker. Tiga orang itu berlindung dibalik semak belukar rapat di tepi telaga diseberang rumah kayu. Mereka tak banyak bicara. Kalaupun harus bicara maka mereka harus berbisik-bisik. Sesekali terdengar burung berkicau atau gerakan binatang melata yang menggeresek semak belukar.

Tiga pasang mata mereka tiada henti-hentinya memandang ke arah bangunan. Mereka berada di tempat itu sejak dini hari tadi. Dan kini hari telah pagi, matahari mulai naik. Sampai matahari tinggi menjelang tengah hari apa yang mereka tunggu masih belum tampak. Mereka seperti mulai gelisah. Salah seorang diantara ketiganya yakni Pendekar Kembang Merah berbisik,

"Manusia angkara murka itu belum muncul. Tetapi adalah mengherankan mengapa sahabat kita Ki Ampel Sampang masih belum datang?"

Datuk Ular Muka Tengkorak sebenarnya sudah sejak tadi menindih rasa was-wasnya. Bukan kawatir karena Simo Gembong masih belum muncul, tapi was-was karena Ki Ampel Sampang tidak kunjung datang. Sebelum berpisah malam itu, Ki Ampel Sampang mengatakan akan menyambangi seorang sahabat lama. Kalau hanya sekedar menyambangi, pasti saat itu dia sudah sampai di Lembah Suket.

Dia memandang ke arah rumah kayu di seberang sana. Dulu di rumah itulah Simo Gembong pernah hidup bercinta mesra dengan Dewi Maut. Sebagaimana sifat dan kebiasaan Simo Gembong, cinta mesra itu hanya tipuan busuk belaka. Setelah bosan maka ditinggalkannya   Dewi   Maut mentah-mentah. Dicari kian kemari akhirnya Dewi Maut berhasil menemukan Simo Gembong. Keduanya berkelahi puluhan jurus.

Dengan pedang Samber Nyawa di tangan lawan, Simo Gembong tak berkutik dan akhirnya melarikan diri setelah kupingnya sebelah kanan ditebas puntung. Seharusnya dihari tuanya Simo Gembong menanam dendam terhadap perempuan itu. Tetapi justru semakin dikenang, semakin mendalam rasa sukanya.

"Datuk, berapa hari menurutmu kita menunggu disini...?" Kelabang Hitam bertanya berbisik.

Datuk Ular merenung. Lalu menjawab, "Sampai dua hari dimuka. Jika dia tidak muncul kita langsung ke pantai timur. Bila perlu menyeberang ke Pulau Mayat....."

"Tapi, Pulau Mayat itu… apakah kita tahu jelas dimana letaknya?" Tanya Pendekar Kembang Merah.

"Aku bisa menduga dimana letaknya. Berdasarkan keterangan anak buah Dewi Maut yang melarikan diri. Sayang, kalau dia berada bersama kita, kita tak akan susah-susah mencari pulau itu..."

Ketiganya berdiam diri. Kembali tempat itu diselimuti kesunyian. Mendadak ketiga orang itu serentak berpaling saling pandang! Jauh didalam kerapatan pepohonan dibelakang rumah kayu tiba-tiba terdengar suara sesuatu. Suara berbunyian!

"Itu suara rebab!" bisik Pendekar Kembang Merah.

"Ya.... ada seseorang menggesek rebab," balas berbisik Datuk Ular.

Ketiga orang itu memasang telinga dalam tegang. "Mungkinkah itu Simo Gembong ....?" ujar Kelabang Hitam.

"Aku menyangsikan," sahut Datuk Ular. "Manusia sejahat Simo Gembong mana tahu segala macam peralatan bebunyian. Kita tunggu saja. Mungkin aku bisa menduga siapa adanya pemain rebab itu...."

Sementara itu suara rebab yang semula digesek perlahan kini terdengar mengalun semakin keras, tetapi lagu yang diperdengarkannya bernada sedih memilukan. Sejurus kemudian suara alunan rebab itu dibarengi dengan suara nyanyian. Yang menyanyi adalah seorang perempuan!

Tiga tokoh silat dibalik semak belukar kembali saling pandang. Pendekar Kembang Merah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu tapi Datuk Ular Muka Tengkorak cepat memberi isyarat seraya berbisik:
 "Dengar saja nyanyian itu. Akurasa-rasa mulai mengenali siapa orangnya."

Di utara Gunung Suket
Di selatan Gunung Raung
Di tengah-tengah lembah subur
Menghias danau indah berair bening

Rumah tua saksi bisu
Seribu dosa seribu dendam
Apakah saat pembalasan sudah datang?

Di utara Gunung Suket
Di selatan Gunung Raung
Rumah tua saksi bisu
Tapi mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli

Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi!

 
"Datuk....." bisik Kelabang Hitam tak dapat menahan hati. "Kira-kira kau tahu siapa yang dimaksudkan kalian oleh penyanyi itu?"

"Juga apa yang dimaksudkannya dengan yang tidak bernafas lagi?" ikut bertanya Pendekar Kembang Merah. Datuk Ular tak segara dapat menjawab. Suara nyanyian dan alunan rebab semakin memilukan.

Mengapa kalian menjadi buta
Mengapa kalian menjadi tuli
Tidak melihat apa yang terjadi
Tidak mendengar apa yang tak
bernafas lagi!
Buka mata pentang telinga
Melangkah datang jangan hanya
sembunyi!


Datuk Ular mengusap wajahnya. Dia memandang pada dua sahabat didepannya. "Nyanyian itu jelas ditujukan pada kita....." bisiknya. "Kita harus melakukan sesuatu….."

"Mendatangi penyanyi itu?" Tanya Pendekar Kembang Merah.

"Ya, tapi itu nanti. Yang perlu saat ini kita harus memeriksa rumah tua itu...."

"Maksudmu Simo Gembong sudah ada di dalam rumah tua itu?"

"Tak dapat kupastikan. Mari kita memeriksa!" jawab Datuk Ular lalu memberi isyarat pada Pendekar Kembang Merah dan Kelabang Hitam untuk mengikutinya. 

Ketiganya melangkah dengan hati-hati mendekati rumah tua di tepi telaga. Mereka tak berani masuk. Jika Simo Gembong benar ada di dalam maka mereka akan menjadi sasaran empuk pembokongan. Lewat jendela dan pintu yang terbuka di sebelah depan mereka dapat melihat sebagian ruangan di dalam rumah kayu itu. Ketiganya kemudian melangkah ke samping bangunan.

Tepat dijendela samping yang hampir tanggal Datuk Ular dan dua kawannya melengak kaget. Di sana, di dalam rumah sesosok tubuh berpakaian serba putih dengan sorban hampir terjatuh dari kepalanya, tampak tergantung telah jadi mayat dengan lidah terjulur dan mata mencelet!

"Ki Ampel Sampang!" ujar Datuk Ular dengan mulut bergetar. Melupakan bahaya kalau sekiranya Simo Gembong memang ada dalam bangunan itu, Datuk Ular berkelebat masuk ke dalam rumah lewat jendela. Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang Merah ikut melompat masuk. Ketiganya segera menurunkan tubuh Ki Ampel Sampang setelah terlebih dulu memutuskan tali penggantung.

"Pasti Simo Gembong yang melakukan ini!" kata Datuk Ular.

"Berarti dia sudah ada di tempat ini!" kata Pendekar Kembang Merah dan memandang cepat berkeliling dengan wajah tegang. 

Mayat Ki Ampel Sampang mereka baringkan dilantai rumah. Datuk Ular memeriksa dengan cepat. Terdapat beberapa tanda merah di kedua lengan pengurus Pesantren Megasuryo itu. Rupanya sebelumnya terjadi perkelahian. Ketika dada pakaian putihnya disingkap, kelihatan tanda hitam di bagian kiri. Itulah pukulan maut yang mematikan.

"Selagi sakarat tubuhnya digantung!" kata Datuk Ular menarik kesimpulan.

"Biadab!" kutuk Kelabang Hitam. Di luar sana masih terdengar terus suara alunan rebab dan nyanyian.

"Kalian berdua tunggui mayat ini disini," kata Datuk Ular. "Aku akan menemui penyanyi itu. Dia pasti tahu apa yang telah terjadi. Datuk Ular cepat melangkah ke pintu belakang rumah. Namun sebelum sempat mencapai pintu dari atap bangunan tua itu terdengar suara tawa bergelak. Dilain saat atap bangunan ambruk jebol dan sesosok tubuh melayang turun.

"Simo Gembong! "seru ketiga orang itu serempak.

Yang melompat turun itu memang Simo Gembong, rambutnya gondrong awut-awutan. Kedua kakinya yang memakai akar bahar tegak terkembang dalam kuda-kuda silat yang kokoh. Hidungnya yang pesek kembang kempis sedang mata kanannya tampak melotot merah menyapu ketiga orang dihadapannya. Dari mulutnya masih mengumbar suara tawa.  Begitu suara tawa lenyap dia pun membentak.

"Kalian sudah saksikan apa yang terjadi?! Apakah kini masih punya nyali untuk meneruskan rencana kalian?!"

"Manusia iblis! Kematian bukan apa-apa bagi kami orang persilatan golongan putih. Apalagi demi menghancurkan angkara murka!" Yang menjawab adalah Datuk Ular.

Simo Gembong tertawa mengekeh. "Datuk Ular, Datuk Ular... Nada bicaramu seperti pemain sandiwara saja. Kau hendak jadi pahlawan rupanya!"

Pendekar Kembang Merah maju selangkah tapi segera dihardik.

"Berani lagi kau maju satu langkah, selembar nyawamu akan minggat dari tubuh!"

"Simo Gembong manusia keparat!" balas membentak Pendekar Kembang Merah. "Dosamu selangit tembus! Hari ini kami bertiga justru datang untuk mengambil nyawamu!"

"Ha ha ha…..! Tadinya kalian berempat, kini hanya tinggal tiga. Sebentar lagi tumpas semua!"

Datuk Ular letakkan tangan kanannya diatas kepala ular sanca yang jadi ikat pinggangnya. "Beberapa tahun lalu kalian menculik murid-murid kami. Merusak kehormatan mereka lalu membunuh mereka! Beberapa lama mengucilkan diri ternyata tidak membuat kau bertobat! Malah sebulan lalu kau mulai mengganas kembali. Menculik seorang pengantin di desa Gucialit!"

"Lalu apa urusan kalian dengan pengantin perempuan itu?!" sentak Simo Gembong.

Kelabang Hitam buka pakaiannya di bagian dada. Pada kulit dadanya yang tersingkap kelihatan rajah gambar seekor kelabang besar.

Simo Gembong menyeringai. "Kenapa kau tidak buka celana sekalian. Biar kulihat apakah dibawah perutmu juga ada gambar kelabang jelek itu!" kata Simo Gembong mengejek.

Kelabang Hitam mengelam dan membesi mukanya. "Sahabat! Tak ada gunanya bicara berlama-lama dengan manusia iblis mata picak ini! Lebih cepat kita kirim dia menemui teman-temannya di neraka akan lebih baik!" Habis berkata begitu Kelabang Hitam melompat sambil menggapaikan tangan kanannya yang berkuku panjang dan mengandung racun jahat.

Sreeettt.....!

Tangan kanan Simo Gembong bergerak. Sebuah benda yang tadi tergulung, membuka panjang dan memancarkan sinar hitam. Kagetlah ketiga orang itu.

"Pedang Samber Nyawa!" seru Pendekar Kembang Merah. Dia mengenali senjata yang jadi buah bibir rimba persilatan itu tapi tidak mengetahui kalau senjata itu adalah pedang palsu meskipun memancarkan sinar hitam pekat yang menyeramkan. Datuk Ular dan Kelabang Hitam ikut tercekat. Ketiganya sama mengetahui. Siapa yang memegang pedang Samber Nyawa maka dia akan menguasai dunia persilatan! Dan kini mereka menghadapi lawan yang memiliki senjata luar biasa itu!

Menghadapi kenyataan ini maka Datuk Ular segera loloskan senjatanya dari pinggang. Yakni bangkai ular sanca besar. Kelabang Hitam alirkan seluruh tenaga dalamnya pada kedua tangan hingga jari-jari tangan sampai ke kuku memancarkan sinar hitam. 

Pendekar Kembang Merah susupkan tangan ke balik pakaian. Sesaat kemudian selusin bunga berwarna merah tampak tergenggam ditangannya. Memang inilah senjata sang pendekar. Sejenis bunga yang terbuat dari kertas, mengandung racun jahat dan sanggup menghancurkan pohon atau batu besar sekalipun!

"Majulah kalian bertiga sekaligus! Jangan takut aku akan tidak akan mencap kalian sebagai pengeroyok-pengeroyok pengecut! Dengan maju serentak lebih mudah dan lebih cepat bagiku membantai kalian!"

Kata-kata Simo Gembong itu membakar amarah ketiga tokoh silat dihadapannya. Tanpa banyak bicara lagi Datuk Ular, Kelabang Hitam dan Pendekar Kembang Merah menyerbu serentak dari tiga jurusan. Sepuluh larik sinar hitam yang memancar dari kuku Kelabang Hitam menderu laksana sepuluh kelabang yang menggapai mangsanya dalam kecepatan kilat.

Dari samping kiri sebuah kembang kertas merah melesat mencari sasaran di leher Simo Gembong. Lalu dari depan, kepala ular sanca mati yang merupakan senjata Datuk Ular membuat gerakan membeset dari kiri ke kanan, seperti hendak membabat putus pinggang guru Mahesa Kelud itu.

Bagaimanapun Simo Gembong mengejek dan memperhinakan ketiga lawannya tadi namun dia tahu betul kalau tiga orang yang dihadapinya itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi. Meskipun jauh dari perasaan takut namun dia tak mau bertindak ayal. Pedang Samber Nyawa Palsu yang dialiri dengan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya diputar setengah lingkaran. Senjata itu menderu memancarkan sinar hitam menggidikkan!

Tring!

Kembang merah yang menyerang dari sebelah kiri hancur berantakan tapi salah satu bagian pada mata padang di tangan Simo Gembong menjadi gompal! Pedang terus membabat ke arah kedua tangan Kelabang Hitam, membabat putus. Tapi saat itu yang punya tangan sudah tarik pulang kedua tangannya, sambil membuat lompatan jungkir balik Kelabang Hitam layangkan tendangan kaki kiri ke bawah perut lawan sementara dari atas kedua tangannya kemudian kembali menggapai ke batok kepala Simo Gembong.

Orang tua bermata satu itu tekuk kedua lututnya. Sesaat kemudian tubuhnya rebah ke belakang. Bukan saja sekaligus dia menghindari tendangan serta cakaran Kelabang Hitam, tetapi disaat yang sama dia berhasil pula mengelakkan sambaran senjata Datuk Ular. Sambil menggulingkan diri di lantai lapuk, Simo Gembong kembali babatkan pedang Samber Nyawa Palsu ke arah lawannya terdekat yakni Pendekar Kembang Merah.

Jengkel lemparan kembang mautnya tadi dapat ditangkis lawan, Pendekar Kembang Merah kini lemparkan dua bunga merah beracun sekaligus. Lemparannya kali ini bukan lemparan biasa karena dari kedua bunga kertas itu tampak bertaburan debu merah yang mengandung racun! Simo Gembong kertakkan rahang. Dia pukulkan tangan kirinya ke arah dua kembang kertas. Hebat sekali!

Dua kembang kertas berikut debu beracunnya membalik menghantam ke arah pemiliknya. Pendekar Kembang Merah cepat merunduk. Tapi sambaran debu beracun masih sempat menghantam jalan hafasnya. Masih untung dia cepat menutup jalan nafas lalu melompat menjauh sambil lepaskan lagi satu kembang kertas. Bangkai ular ditangan Datuk Ular berkelebat menderu-deru. Senjata ini setiap saat bisa berubah menjadi tongkat keras atau seperti ular benaran yang mematuk atau menelikung tubuh lawan. 

Cakaran sepuluh kuku Kelabang Hitam datang tiada henti. Setelah bertempur lebih dari dua belas jurus kelihatannya ketiga lawan itu mulai berhasil mendesak Simo Gembong. Sementara itu di belakang rumah masih terdengar alunan rebab dan suara orang menyanyi. Pada jurus ke dua puluh tiga Simo Gembong mempercepat gerakannya. Sebentar saja dia berhasil keluar dari himpitan serangan ketiga lawan. 

Pedangnya telah beberapa kali dipakai menangkis bunga kertas yang dilemparkan Pendekar Kembang Merah. Akibatnya mata pedang semakin banyak yang gompal. Mengetahui hal ini Pendekar Kembang Merah tambah bersemangat namun menjadi kawatir ketika menyadari bahwa persediaan senjata anehnya itu hanya tinggal empat buah!

Datuk Ular kini tahu kalau pedang di tangan Simo Gembong bukan benar-benar pedang Samber Nyawa yang sakti. Pedang asli tak mungkin akan gompal dihantam bunga merah Pendekar Kembang Merah. Maka semangat sang datuk jadi berkobar kembali. Gempuran bangkai ular sancanya semakin menggebu-gebu. Malah kini dia semprotkan sejenis racun biru dari mulut ular itu. 

Kelabang Hitam berkelebat cepat dan ganas kian kemari. Sepuluh jari tangannya berkelebat tiada henti. Demikian hebatnya serangan ketiga orang itu namun mereka masih belum sanggup merobohkan Simo Gembong. Memasuki jurus ke empat puluh dua, terjadilah gebrakan hebat. Kelabang Hitam melihat kesempatan baik ketika Simo Gembong sibuk menghadapi gempuran senjata bangkai ular sanca sementara bunga terakhir milik Pendekar Kembang Merah meluncur ke arah batok kepala kakek itu. 

Karena menganggap serangan kembang dan hantaman bangkai ular lebih berbahaya maka Simo Gembong tidak begitu ambil perhatian terhadap serangan Kelabang Hitam yang datang dari kiri. Dengan bacokan ganas serta pukulan tangan kiri yang dahsyat dia melabrak bunga merah terakhir dan membuat Datuk Ular terpaksa mundur. 

Ketika serangan sepuluh kuku Kelabang Hitam datang Simo Gembong hanya sempat miringkan tubuh. Tapi pinggangnya tak mungkin diselamatkan. Dengan menggembor marah kakek ini biarkan pinggangnya terkena cakaran kuku-kuku beracun itu. Dia tak perlu kawatir karena saat itu dia membekal obat penawar racun yang ampuh.

Bret... bret...!

Pinggang pakaian Simo Gembong robek besar. Daging tubuhnya di bagian pinggang tampak tergurat dalam. Luka dan darah yang mengucur keluar kelihatan bukannya merah tetapi berwarna hitam tanda racun kuku Kelabang Hitam benar-benar ganas. 

Keberhasilannya menciderai lawan membuat Kelabang Hitam berlaku ayal. Dia tak sempat mengelak ketika kaki kanan Simo Gembong berdesing dan mendarat dipertengahan dadanya. Kelabang Hitam mencelat, terhempas ke dinding lapuk. Dinding ini jebol dan tubuh Kelabang Hitam mental keluar rumah, jatuh tergelimpang di tepi telaga tanpa berkutik lagi. Isi dadanya di sebelah dalam luluh lantak. Tokoh ini mati dengan mata membeliak. Simo Gembong mengekeh.

"Kalian sudah siap menyusul Kelabang Hitam?" tanyanya mengejek.

Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah tidak menyahut. Sang datuk lipat gandakan kecepatan serangannya. Seluruh tenaga dalam dikerahkan. Bangkai ular di tangan kanannya menderu laksana badai. Sebaliknya Pendekar Kembang Merah yang kini tidak memiliki senjata lagi hanya mampu meneruskan serangan dengan tangan kosong. Jelas dia merupakan titik kelemahan dari hujan serangan itu. Dan hal ini diketahui benar oleh Simo Gembong yang punya segudang pengalaman.

Maka dia pun pusatkan serangan mematikan ke arah lawan yang satu ini. Dalam satu kesempatan dia lemparkan pedang Samber Nyawa palsu di tangan kanannya ke arah Pendekar Kembang Merah disaat pendekar ini kehilangan keseimbangan akibat pukulannya mengenai tempat kosong. Pendekar Kembang Merah tak mungkin berkelit.

Datuk Ular tak mungkin menolong kawannya karena saat yang sama diapun harus selamatkan diri dari hantaman tangan kiri Simo Gembong yang dahsyat dengan jatuhkan diri. Angin pukulan Simo Gembong menghantam dinding rumah. Rumah tua itu semakin hancur berantakan dan atapnya miring ke kiri, siap untuk roboh!

Paras Pendekar Kembang Merah menjadi sepucat kain kafan. Dia sadar nyawanya tak tertolong lagi. Simo Gembong tertawa mengekeh. Pedang Samber Nyawa hanya tinggal sejengkal lagi siap menembus perut Pendekar Kembang Merah. Tiba-tiba terdengar suara rebab melengking tinggi menusuk liang telinga. Dikejap yang sama berkiblat sinar putih kekuningan. Begitu sinar ini menghantam pedang Samber Nyawa maka senjata itu mental patah dua!

Simo Gembong melompat mundur dengan wajah kaget sekaligus tegang. Datuk Ular hampir keluarkan seruan tertahan sementara Pendekar Kembang Merah melosoh lemas karena hampir tak percaya sesuatu telah terjadi dan menyelamatkannya dari kematian!

"Keparat! Siapa yang berani ikut campur urusan orang!"

Sebagai jawaban sentakan itu terdengar gesekan rebab, keras melengking dan satu cahaya putih kekuningan kembali menerpa. Simo Gembong cepat jatuhkan diri. Sinar putih kekuningan yang mengandung hawa panas melabrak dinding rumah dibagian satu-satunya yang masih utuh. Dinding dan tiang-tiangnya hancur berantakan. Atap yang kini tidak tersanggah langsung amblas roboh. 

Empat sosok tubuh cepat melesat keluar dari bangunan yang runtuh itu. Tapi sampai diluar hanya tiga sosok manusia yang kelihatan. Yakni Datuk Ular, Pendekar Kembang Merah dan seorang perempuan separuh baya berambut panjang terurai berparas pucat yang tegak sambil memegangi rebab dan alat penggeseknya. Simo Gembong sendiri tidak kelihatan. Lenyap!

"Bangsat itu kabur!" ujar Pendekar Kembang Merah.

"Pengecut!" kertak Datuk Ular geram. Lalu dia berpaling ke kiri dimana perempuan berparas pucat berambut terurai tegak berdiri memegang rebab. "Dewi Rebab Kencana!" sapa sang datuk. "Terima kasih kau telah mau membantu...." Lalu sambil menjura dalam dia melirik kepada Pendekar Kembang Merah.

Pendekar Kembang Merah yang mengerti maksud lirikan itu cepat-cepat pula menjura seraya berkata, "Nama besarmu sudah lama kudengar. Tidak tahunya hari ini sekali muncul kau telah selamatkan nyawaku. Aku tidak tahu bagaimana harus mengucapkan terima kasih...."

Orang yang memegang rebab tidak memberi jawaban apa-apa. Wajahnya yang pucat juga tampak tak berubah, dingin seperti tadi-tadi. Hal ini membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah menjadi kikuk.

"Kita harus segera mengejar manusia pengacut itu!" kata Datuk Ular.

Perempuan bergelar Dewi Rebab Kencana tampak mendongak ke langit. Lalu menggesek rebabnya, mengeluarkan suara pendek pilu. "Manusia itu bukan pengecut! Jika dia mau mudah saja baginya membunuh kita satu persatu..."

Datuk Ular mengerling ke arah Pendekar Kembang Merah. "Dewi, apakah kau bisa memberi petunjuk lebih lanjut?" tanya Pendekar Kembang Merah.

Perempuan itu kembali menggesek rebabnya, baru menjawab, "Jika dia pergi berarti ada sesuatu yang lebih penting yang harus dilakukannya....."

Lalu dia melangkah menghampiri pedang hitam yang terletak di tanah. Pedang Samber Nyawa yang tadi dilemparkan Simo Gembong dan patah dua dihantam sinar putih kekuningan yang menyambar keluar dari tali-tali rebab sang dewi. Diambilnya kedua patahan pedang. Sesaat dia meneliti benda itu lalu mencampakkannya ke tanah.

"Setahu kami dia dalam perjalanan ke Pulau Mayat guna mencari kekasih lamanya dimasa muda. Pasti saat ini dia menuju kesana!" berkata Datuk Ular sambil lilitkan senjatanya, bangkai ular sanca ke pinggang. 

Tanpa berkata apa-apa perempuan memegang rebab balikkan tubuh dan melangkah pergi.

"Manusia aneh..." desis Datuk Ular.

Melihat orang hendak pergi Pendekar Kembang Merah cepat berkata, "Dewi Rebab Kencana! Sekali lagi terima kasih atas pertolonganmu."

Tanpa berpaling perempuan bermuka pucat itu menjawab, "Aku tidak merasa menolong siapa-siapa. Simo Gembong punya hutang tersendiri padaku. Yang harus dibayarnya dengan darah dan nyawa....."

Lalu perempuan ini gesekkan rebabnya. Terdengar suara melengking. Disusul sambaran sinar putih kekuningan. Ketika sinar itu lenyap sosok tubuhnyapun ikut lenyap. Datuk Ular geleng-geleng kepala sementara Pendekar Kembang Merah hanya tegak leletkan lidah.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang Datuk?"

"Mengejar Simo Gembong ke Pulau Mayat. Tapi jenazah Kelabang Hitam dan Ki Ampel Sampang harus kita kuburkan dulu," sahut Datuk Ular.



***

"JADI ini tampang manusia yang membunuh puteraku?!" ujar hartawan Prajadika ketika Mahesa Kelud dibawa kehadapannya.

Dengan kedua tangan terkepal dia maju mendekati. Tampangnya sebuas harimau lapar. Lalu jotosannya kiri kanan diayunkan berulang kali ke wajah Mahesa hingga muka pemuda itu babak belur. Darah mengucur dari hidung, mulut dan pinggiran matanya. Mahesa menggeram menahan sakit. 

Prajadika baru berhenti memukul setelah kedua tangannya terasa sakit. Masih belum puas dia menyambar sebatang tombak yang terletak di sudut ruangan. Ketika dia hendak menambus perut Mahesa dengan tombak ini, dua orang hulubalang istana cepat mencegah.

"Lepaskan! Biar kubunuh bangsat ini detik ini juga!" teriak Prajadika.

"Raden Mas, ingat apa rencana kita semula?" berkata hulubalang di sebelah kanan.

Kawannya ikut bicara, "Jika dibunuh seperti keinginan Raden Mas bukankah terlalu enak baginya? Bukankah Raden Mas ingin dia mati sedikit demi sedikit? Tersiksa agar dia dapat merasakan bagaimana sakitnya hati Raden Mas atas kematian putera?"

Dengan dada turun naik dan nafas menyengal, hartawan Prajadika buang tombaknya ke lantai. Kedua matanya berapi-api. "Masukkan dia kedalam sumur tua itu! Jangan diberi makan dan minum sampai dia mampus kelaparan dan kehausan! Jangan lupa tuangkan segayung air mendidih setiap pagi biar tubuhnya melepuh dan busuk!"

"Perintah kami jalankan Raden Mas."

"Satu hal! Jangan kalian lepaskan totokan ditubuhnya!"

Kedua hulubalang itu tersenyum.

"Kami tidak sebodoh itu Raden Mas," kata salah seorang dari mereka.



***

Di belakang gedung kediaman Raden Mas Prajadika terdapat halaman luas. Disitu ada sebuah sumur tua sedalam empat meter yang mata airnya sudah kering. Kesitulah dalam keadaan tertotok tubuh Mahesa mereka lemparkan. Masih untung pemuda ini jatuh ke dasar sumur dengan kaki lebih dulu. Sempat kepalanya mendarat lebih dulu celakalah dia.

"Bagaimana dengan air panas mendidih?" tanya hulubalang pertama.

"Siapa yang mau memasak malam-malam begini. Besok pagi saja kita guyur. Kalau perlu tidak hanya satu gayung. Satu ember!" jawab kawannya. Lalu keduanya tinggalkan sumur tua itu.

Mahesa kerahkan tenaga dalamnya sampai butir-butir keringat memercik dikening. Dia berusaha melepaskan totokan. Tapi sia-sia saja. Pemuda ini heran dari mana puteri Suto Nyamat mempelajari ilmu totokan yang sangat lihay itu. Padahal dua tahun lalu gadis itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa. Menghadapi kematian bukan satu hal yang menakutkan bagi Mahesa. Tetapi yang saat itu teringat olehnya adalah istrinya Wulansari. Lalu bayi yang menurut Kemaladewi adalah puteranya.

Terbayang wajah gurunya Karang Sewu dan Suara Tanpa Rupa. Dia berusaha bersikap tabah. Tapi tak urung air mata mengalir membasahi pipinya. Dalam sumur tua yang gelap dan dingin serta pengap itu, Mahesa tegak pejamkan mata, berusaha bersemedi menenangkan jiwa. Hanya itulah yang bisa dilakukannya sementara menunggu saat kematian yang datang merayap. Besok pagi siksaan pertama akan dirasakannya. Diguyur dengan air mendidih!

Hampir menjelang pagi, ketika udara dingin mencucuk daging menembus tulang, Mahesa Kelud merasakan sebuah benda meluncur kebahu, terus turun kepunggung. Dia tak mau membuka kedua matanya yang terpejam. Sangkaannya benda yang meluncur itu pastilah ular atau sejenis binatang tanah yang berbisa. Biarlah binatang itu mematuknya. Mati terkena racun ular lebih baik dari pada mengalami siksa. Tapi tak ada yang mematuk. Tak ada yang menggigit walau benda itu masih terus meluncur naik turun dipunggungnya.

Tiba-tiba bret! Pantat celananya robek. Sesuatu menyangkut di ikat pinggangnya. Kemudian perlahan-lahan, sedikit demi sedikit tubuhnya terangkat keatas sampai akhirnya kepalanya muncul ditepi bibir sumur. Mahesa membuka matanya lebar-lebar menembus kegelapan malam. 

Seseorang dilihatnya dengan susah payah menarik tali yang berhubungan dengan besi pengait yang dipakai untuk menggeret tubuhnya ke atas. Dia tidak dapat mengenali siapa adanya orang ini. Tubuhnya ditarik keluar sumur. Baru saja dibaringkan di tanah yang basah, tiba-tiba dari arah bangunan terdengar suara seseorang membentak.

"Hai! Siapa didekat sumur?!"

Bentakan  disusul  dengan mendatanginya sesosok tubuh sambil menghunus golok. Orang yang menolong Mahesa Kelud Jatuhkan diri ke balik sumur sambil tangannya mencabut sebilah belati. Ketika lelaki yang memegang golok melangkah lebih dekat, secepat kilat belati itu dilemparkannya.

"Heekk...!"

Golok terlepas dari tangan. Orang itu hanya sempat mengeluarkan suara seperti ayam tercekik lalu roboh ke tanah. Belati besar menancap di lehernya!

“Supitmantil!" seru Mahesa Kelud ketika dalam gelap kemudian dia mengenali siapa orang yang menolongnya itu. Supitmantil silangkan jari telunjuk di depan bibir memberi isyarat agar Mahesa jangan bicara keras.

"Sahabat...” berbisik Mahesa. "Kebaikanmu dimasa lalu masih belum sempat kubalas, hutang budi belum kulunaskan. Kini kau telah menanam budi baru. Aku berhutang nyawa padamu Supit.

"Kita harus segera keluar dari sini," ujar Supitmantil. Pemuda inilah dulu yang memberi keterangan kemana Wulansari dilarikan ketika diculik oleh Niliman Toteng alias Iblis Jangkung (Baca Pedang Sakti Keris Ular Emas) Kini kembali dia jadi tuan penolong.

"Ya, tapi aku tak bisa jalan. Aku tertotok. Bisakah kau mendukungku...?"

"Tentu saja tapi kita harus hati-hati. Dua hulubalang istana masih ada di gedung sana..."

"Kalau begitu kau lepaskan totokanku. Disini, disebelah dada!"

Supitmantil seorang pemuda yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi. Ini karena dia berguru pada beberapa tokoh silat kalangan istana. Namun dalam soal ilmu totok menotok pemuda ini masih belum matang. Maka Mahesa harus membimbing memberi tahu bagaimana cara yang ampuh untuk melepaskan totokan ditubuhnya. Setelah mencoba beberapa kali baru Supitmantil berhasil.

Namun totokan itu belum pulih seluruhnya. Terpaksa Mahesa duduk bersila dan kerahkan tenaga dalamnya ke dada untuk memusnahkan sisa-sisa totokan. Selagi dia melakukan hal itu tiba-tiba melayang dua buah obor besar. Benda ini menancap di kiri kanan sumur hingga tempat itu jadi terang benderang.

"Supitmantil! Bagus sekali perbuatanmu!" terdengar bentakan marah. Itu suara hartawan Prajadika.

Supitmantil berpaling. Ditangga belakang gedung tampak tegak Raden Mas Prajadika dengan bertolak pinggang. Disebelahnya tegak dua lelaki berpakaian biru, tinggi dan kekar. Mereka adalah dua hulubalang istana kelas tiga yang membawa Mahesa sebelumnya dari tempat kediaman Suto Nyamat di Madiun.

"Celaka!" keluh Supitmantil. Dia tidak takut terhadap hartawan yang dianggapnya mempergunakan kedudukan dan kekayaannya untuk berbuat sesuka hatinya itu. Tapi dua hulubalang istana kelas tiga itu adalah dua lawan berat. Satu saja sulit bagi Supitmantil untuk menghadapi. Kini mereka malah berdua! Pemuda ini melirik pada Mahesa.

Saat itu Mahesa masih mengerahkan tenaga dalam  untuk memulihkan sisa totokan. Justru disaat itu pula dua hulubalang istana berkelebat, menerkam ke arah Supitmantil. Pemuda ini jatuhkan diri. Tendangan yang mengarah ke batok kepalanya berhasil dielakkan. Baru saja dia bangkit berdiri hulubalang yang tadi menyerang sudah menghantamkan jotosan ke dadanya, Supitmantil menangkis dengan lengan kiri dan balas memukul dengan tinju kanan. Dua lengan beradu. Supitmantil mengeluh kesakitan. Lengan kirinya laksana ditabas pedang sedang tinju kanannya hanya memukul angin.

"Gonto! Cepat kau ringkus pemuda yang bersila itu! Yang satu ini biar aku yang melumatkan!" Terdengar hulubalang yang menyerang Supitmantil berseru.

Maka kawannya yang semula ikut menghantam Supitmantil, kini melompat ke hadapan Mahesa Kelud. Sikap duduk Mahesa merupakan sasaran empuk untuk diserang. Terdengar suara bersiur ketika kaki kanan hulubalang bernama Gonto melesat ke muka Mahesa Kelud, disaat pemuda ini masih meramkan mata memusnahkan totokan di dadanya. Pukulan yang mengenai angin membuat Supitmantil terhuyung ke depan. Akibatnya dadanya menjadi sasaran terbuka. Tinju hulubalang kelas tiga itu laksana palu godam melabrak dada kanannya.

Supitmantil keluarkan seruan kesakitan. Tubuhnya mencelat dan terkapar dekat sumur tua. Mulutnya terasa panas dan asin. Ada darah yang keluar dari saluran di dadanya tanda saat itu dia menderita luka dalam yang parah akibat hantaman lawan. Menahan sakit Supitmantil berusaha berdiri. Dia tahu apa artinya jika tubuhnya masih tergeletak begitu rupa. Lawan akan menghantamnya kembali dengan tendangan atau pukulan maut.

Sambil bangkit Supitmantil cabut sebilah belati besar dari balik pinggangnya. Memang pemuda ini memiliki keahlian melempar senjata tajam. Tadi telah dibuktikannya dengan sekali hantam saja berhasil merobohkan pengawal gedung. Tapi sekali ini orang yang dihadapinya bukan manusia jenis ronda malam. Dengan mudah hulubalang istana ini berhasil mengelakkan sambaran belati. Di lain kejap dia sudah menerkam Supitmantil. Lututnya menusuk ke perut pemuda itu.

Selagi Supitmantil terlipat ke depan, kedua tangannya yang besar kuat datang menyambar dan mencekik leher si pemuda laksana japitan besi. Supitmantil meronta-ronta. Tapi kehabisan nafas membuat tenaganya lumpuh. Tak mungkin lagi baginya menyelamatkan diri. Matanya mendelik dan lidahnya mulai menjulur.

Prakk!!!

Satu pekik kesakitan menggeledek. Hulubalang Gonto melengak kaget ketika Mahesa yang hendak ditendangnya tiba-tiba melayang melewatinya lalu melabrak temannya yang tengah mencekik Supitmantil. Hulubalang ini terbanting roboh ke tanah. Tulang belikatnya patah. Cekikannya terlepas.

Supitmantil mereguk udara segar sebanyak-banyaknya. Lalu selagi hulubalang itu terkapar tak berdaya pemuda ini hunjamkan sebilah belati ke dadanya. Sang hulubalang hanya keluarkan keluhan pendek, kaki menggelepar beberapa kali, setelah itu diam tak berkutik lagi!

Melihat kematian kawannya Gonto menggembor marah. Ditangan kanannya tahu-tahu sudah tergenggam sebilah golok besar. Sambil menerjang dia babatkan goloknya ke arah leher Supitmantil. Tapi setengah jalan seseorang menyambar pinggangnya hingga hulubalang ini terpuntir.

Wuutt!

Dia membabat ke arah Mahesa Kelud yang menelikung pinggangnya namun satu pukulan menghancurkan sambungan sikunya hingga hulubalang ini meraung kesakitan. Goloknya terlepas mental. Selagi meraung kesakitan itu dirasakannya tubuhnya terangkat lalu tiba-tiba sekali dilemparkan kebawah.

Kembali hulubalang ini menjerit ketika mengetahui dirinya dilemparkan ke dalam sumur tua, kepala kebawah kaki ke atas. Suara teriakannya serta merta lenyap ketika batok kepalanya menghantam dasar sumur tua hingga pecah dan lehernya patah. Nyawanya putus detik itu juga!

Supitmantil cepat datangi Mahesa dan berkata, "Kita harus tinggalkan tempat ini segera Mahesa”

"Ya, tapi aku harus membayar hutang dulu pada orang kaya itu!" sahut Mahesa. 
Sekali lompat saja dia sudah berdiri dihadapan Raden Mas Prajadika yang tegak ketakutan di pintu belakang gedung. Dia segara balikkan diri sambil berteriak namun Mahesa jambak rambutnya, putar tubuhnya   hingga   keduanya berhadap-hadapan.

"Prajadika!" kata Mahesa. "Aku membunuh puteramu bukan karena aku manusia jahat buas! Tapi karena anakmu memang pantas ditabas batang lehernya! Dia kupancung ketika hendak memperkosa seorang gadis!"

"Aku tidak percaya! Puteraku anak baik-baik! Aku tidak percaya. Lepaskan jambakanmu! Keparat...!!"

Plak!

Satu tamparan keras menghantam pipi kanan hartawan itu hingga bibirnya pecah dan tiga giginya tanggal. Prajadika meraung kesakitan. Tubuhnya melintir. Kalau saja rambutnya tidak dijambak pasti sudah terkapar di tangga gedung.

"Itu hadiah dari gadis yang hendak dirusak oleh puteramu!" kata Mahesa. "Dan ini pembayar hutang tadi malam!"

Lalu Mahesa hantam muka Prajadika dengan tinju kiri. Kembali orang ini meraung kesakitan, tapi raungan itu segera lenyap karena dirinya keburu pingsan. Mahesa lepaskan jambakannya. Prajadika tergelimpang di tangga batu. Hidungnya hancur dan darah mengucur!

Di gedung sebelah depan terdengar suara orang berlari. Beberapa diantaranya meneriakkan sesuatu. Mahesa memberi isyarat pada Supitmantil. Kedua pemuda ini lompati tembok halaman belakang. Ketika enam orang penjaga gedung sampai disitu keduanya telah lenyap dalam kegelapan. 

Ketika ayam berkokok di kejauhan dan langit di ufuk timur tampak kemerahan, kedua pendekar itu sampai di sebuah anak sungai berair dangkal tapi jernih. Baik Mahesa maupun Supitmantil segera menggulingkan diri di tebing sungai dan merendam muka mereka yang berlepotan darah.

"Seharusnya kubunuh orang kaya itu...." kata Supitmantil beberapa saat kemudian sambil menyisir rambutnya yang basah dengan jari-jari tangan. "Dia mengetahui pengkhianatanku. Kini aku jadi orang buronan! Pasti Prajadika meminta tokoh-tokoh istana untuk menangkapku hidup atau mati!"

"Semua karena aku!" ujar Mahesa.

"Aku tidak menyesal menolongmu," kata Supitmantil yang tahu maksud kata-kata Mahesa tadi.

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan?" tanya Mahesa.

"Jelas aku tak mungkin kembali ke Kotaraja. Mungkin aku harus menempuh hidup sepertimu. Mengembara sambil menambah ilmu."

"Kalau begitu seandainya kau tersesat ke utara maukah kau singgah di puncak Muria. Istriku berada disana. Namanya Wulansari. Kau pasti kenal dia karena dialah gadis yang dulu berhasil kuselamatkan  dari  kebejatan Prajakuncara berkat pertolonganmu..."

"Apa yang harus kukatakan jika bertemu?" tanya Supitmantil.

"Katakan bahwa aku dalam keadaan baik. Aku akan segera pulang ke Muria begitu beberapa urusanku selesai…."

Supitmantil mengangguk. "Aku akan mampir menemui istrimu," katanya.

"Terima kasih sahabat. Sekarang ada satu hal yang amat penting yang harus kulakukan"

"Apa itu?"

"Dua senjata milikku dirampas puteri Suto Nyamat. Untuk mendapatkan kedua senjata itu nyawaku taruhannya. Karenanya aku harus mengambilnya kembali sekalipun mungkin kali ini aku harus membunuh gadis itu! Sebelum kesana aku perlu keterangan darimu..."

"Katakanlah…"

"Dua tahun lalu Retno hanya seorang gadis cantik biasa yang tidak memiliki kepandaian apa-apa. Tapi melihat kemampuannya menotokku, pastilah dia telah berguru pada seseorang. Mungkin kau mengetahui siapa guru gadis itu dan dimana kediamannya?"

Supitmantil menggeleng. "Sekali ini aku tak bisa menolongmu Mahesa….."

"Tidak jadi apa," jawab Mahesa. Dia merangkul  Supitmantil  sambil mengucapkan terima kasih berulang kali.

"Jangan  berterima  kasih terus-terusan Mahesa. Kau lupa bahwa kaupun tadi menyelamatkan jiwaku dari tangan hulubalang istana itu!"

Mahesa Kelud hanya angkat bahu. "Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas," katanya.

"Selamat jalan Mahesa,"

"Selamat mengembara Supit. Sampai ketemu..."

Kedua sahabat itupun berpisah, tepat ketika sang surya menyembul di ufuk timur.


***

Begitu sampai di Madiun, Mahesa Kelud langsung menuju rumah kediaman Suto Nyamat. Saat itu remang senja memasuki malam. Gedung besar itu tampak sepi. Tak seorangpun kelihatan. Setelah menunggu sambil meneliti keadaan beberapa lamanya, baru Mahesa menyelinap kedalam, terus memasuki kamar dimana dulu dia dijebloskan oleh Retno sebelum diserahkan pada dua hulubalang istana. Lemari yang terkunci sekali dobrak saja hancur berantakan pintunya. Mahesa melemparkan semua pakaian yang ada dalam lemari itu. Namun sampai lemari itu menjadi kosong dia tidak menemukan Pedang Dewa ataupun Keris Ular Emas.

"Celaka!" keluh Mahesa dalam hati. Kemana harus dicarinya kedua senjata mustika itu? Kemana harus dicarinya puteri Suto Nyamat? Mahesa kemudian menggeledah seluruh gedung. Tetap saja dia tidak menemukan apa yang dicari. Geram dan marah akhirnya Mahesa lepaskan beberapa pukulan karang sewu hingga dinding bangunan jebol besar dan atap runtuh.

Tiba-tiba pemuda ini mendengar suara kuda meringkik. Dia segera melompat ke halaman samping lewat dinding yang jebol. Seorang lelaki berdestar hitam dilihatnya melompat turun dari kuda lalu lari menuju gedung. Di ruangan depan langkahnya terhenti dan terdengar suaranya.

"Gusti Allah! Tak ada gempa tak ada badai! Kenapa bangunan ini jebol dan ambruk?!" 
Baru saja dia berkata begitu satu tangan yang kuat mendadak dirasakannya mencekal tengkuknya. "Sis ... siapa...?"

"Kau yang siapa?!" Mahesa membentak. Lalu memutar tubuh orang itu dengan keras hingga hampir terpelanting jatuh. Orang itu tampak ketakutan. Seperti melihat hantu. Mulutnya terbuka tapi tak ada kata-kata yang keluar.

"Kemana penghuni rumah ini dan kau siapa?!" kembali Mahesa membentak.

"Rum... rumah ini kosong. Tak ada yang mendiami lagi. A... aku ditugaskan menjaga. Tapi kenapa gedung ini sekarang hancur seperti ini. Celaka, matilah aku..."

"Siapa yang menugaskanmu menjaga rumah ini?"

"Siapa? Pemiliknya tentu..."

"Siapa pemiliknya..."

"Den ayu Retno Kumalasari..." jawab si penjaga.

"Dimana gadis itu sekarang...?"

"Di rumah kekasihnya!"

"Bagus! Kau antarkan aku kesana!"

"Tapi..."

Plak!

Mahesa yang sudah tidak sabaran langsung tampar pipi orang itu hingga destarnya tercampak dan sesaat pemandangannya gelap berkunang-kunang. "Kau mau antarkan aku kesana atau kutampar lagi hingga robek mulutmu?!"

"Aku... aku akan antarkan. Kau ini siapa. Apa kau yang merusak bangunan ini...?"

Mahesa tak menjawab. Dia tarik tengkuk penjaga itu dan mendorongnya keras-keras hingga jatuh terguling di tangga gedung!



***

Tempat yang dituju ternyata cukup jauh di tenggara Madiun. Sepanjang perjalanan Mahesa berusaha mendapat keterangan dari penjaga yang mengantarkannya. Meskipun tidak banyak keterangan yang didapat tapi ada satu yang sangat penting. Yaitu bahwa kekasih Retno Kumalasari adalah juga gurunya dalam ilmu pengobatan.

Satu hal yang tidak jelas bagi Mahesa ialah mengapa puteri bekas Adipati itu walaupun ayahnya sudah meninggal kini tidak tinggal bersama ibunya yang tentunya disatu gedung bagus tetapi memilih diam bersama kekasihnya di daerah terpencil. Lapat-lapat dikejauhan terdengar suara air menderu. Suara air terjun. Si penjaga melarikan kudanya ke arah suara air itu. 

Mahesa menempel di belakang. Disatu tempat ketinggian si penjaga hentikan kuda dan menunjuk ke lembah yang terletak di bawah mereka diselimuti kegelapan. Orang ini menerangkan disebelah kanan air terjun terdapat sebuah kali. Di sebelah utara dekat tikungan ada sebuah rumah kecil. Disitulah Retno Kumalasari bersama kekasihnya berada.

"Kau tahu apa akibatnya jika kau memberi keterangan dusta?!" ujar Mahesa seraya pegang dan tekan bahu si penunjuk jalan.

"Demi Tuhan. Aku bersumpah! Gadis itu pasti ada disana!"

"Siapa nama kekasihnya?"

"Pergola. Pergola apa aku tak tahu..."

Mahesa melompat dari punggung kuda. "Kau boleh pergi!" katanya.

Tanpa menunggu lebih lama orang itu segera putar kudanya dan tinggalkan tempat itu sekencang yang bisa dilakukannya.

Rumah kayu itu selain kecil juga tampak tidak terurus. Di ruang depan menyala sebuah pelita. Puteri Suto Nyamat, Retno Kumalasari berbaring diatas sehelai tikar sementara seorang lelaki berambut tebal dan beralis mata tebal hitam berusia sekitar empat puluh tahun duduk di sebelahnya tengah membuka ikatan sebuah kantong besar.

"Retno, sudah saatnya kau masuk kedalam dan tidur. Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke Kotaraja." terdengar yang lelaki berkata. Dialah Pergola. Sepasang mata Retno menatap sayu ke langit-langit diatasnya. Lalu ada senyum aneh tersungging di bibirnya.

"Aku tidak akan mau tidur sebelum kau berikan barang itu..." katanya.

"Sudah cukup Retno. Terlalu banyak kau bisa sakit..."

"Aku ingin menghisap lagi. Biar sakit. Aku memang sudah sakit. Dan akan lebih sakit jika tidak kau berikan..."

"Dengar, besok kita akan bicara dengan pejabat tinggi istana mengenai jual beli senjata-senjata mustika ini. Aku kawatir kau masih dibawah pengaruh barang itu dan bicara tak karuan!”

"Aku berjanji akan bersikap dan bicara baik," jawab Retno lalu gulingkan tubuhnya.

Sesaat kemudian dia telah memperbantal paha Pergola. Matanya terpejam Mulutnya ternganga dan lidahnya yang merah basah setengah terjulur. Pergola geleng-geleng kepala dan kecup bibir gadis itu lumat-lumat. Dia mengeluarkan sebuah kotak kain dari dalam saku pakaiannya. Dari dalam kotak  ini dikeluarkannya sehelai daun kering. Di atas daun diletakkannya tembakau kering yang dicampur sejenis obat. Lalu daun kering tadi digulungnya hingga berbentuk sebatang rokok.

Rokok ini kemudian disulutnya ke api pelita. Baru saja rokok menyala Retno sudah menyambar, lalu gulingkan diri ke sudut kamar, duduk menjelepok disana dan sedot rokok itu dalam-dalam hingga kedua pipinya menjadi cekung. Asap rokok berbau aneh dihembuskannya ke udara sementara kedua matanya terbuka lebar tetapi kuyu dan sayu.

"Betapa nikmatnya kakak.... Nikmat sekali rokok ga*ja ini!" Dihisapnya lagi rokok itu dalam-dalam. "Ahh… Indah sekali. Aku mulai melihat sesuatu yang indah. Tidakkah kau ingin menyaksikannya...."

Dia angkat kedua kakinya setinggi dada hingga kainnya tersingkap. "Aku tak bisa hidup tanpa rokok ini kakak. Kau dengar itu kakak Pergola...?"

"Eh, apakah kau bisa hidup tanpa aku?" tanya Pergola.

"Tentu saja tidak. Kau dan rokok ini jadi satu. Datanglah kesini kakak. Peluk aku, biar lebih nikmat rasanya menghisap ganja ini."

Pergola tetap duduk di tempatnya. Dia telah membuka ikatan kantong besar. Dari dalam kantong itu dikeluarkannya dua buah senjata yang sarungnya memancarkan sinar kuning dan sinar merah. Pedang Dewa dan Keris Ular Emas!

Retno melirik sebentar lalu berkata, "Kau tak bosan-bosannya memandangi benda itu. Jika kau memang suka benda itu mengapa tidak turut kataku? Belajar ilmu silat dan kau akan jadi raja diraja dalam rimba persilatan!"

Pergola tertawa. "Aku sudah terlalu tua untuk belajar silat. Lagi pula apa untungnya jadi raja diraja dunia persilatan? Hidup tak tenang, musuh banyak. Bukankah lebih baik dua senjata mustika itu kita jual. Ditukar dengan uang emas dan harta perhiasan? Kita akan jadi kaya raya. Memiliki gedung bagus, hidup mewah!"

Retno mencibir. "Aku bosan tinggal di gedung bagus. Aku muak dengan hidup mewah. Aku lebih suka tinggal disini bersamamu. Asal saja kau selalu menyediakan rokok ganja ini untukku. Hik hik hik!"

Siapakah sebenarnya lelaki bernama Pergola itu? Dulu dia tinggal di Magetan, putera seorang ahli obat. Ayahnya memiliki hubungan baik dengan banyak pejabat tinggi yang sekaligus jadi langganannya. Salah satu diantara langganannya Adipati Suto Nyamat. Ketika ahli obat itu meninggal sekitar dua tahun lalu, Pergola yang telah mewariskan hampir keseluruhan kepandaian ayahnya melanjutkan pekerjaan sang ayah.

Hanya saja secara diam-diam Pergola mempergunakan kepandaiannya untuk maksud tidak baik alias kejahatan. Lelaki yang sudah lama menduda ini menaruh hati terhadap puteri Suto Nyamat yakni Retno. Hubungannya yang akrab dengan keluarga itu membuat mudah baginya mendekati si gadis. Dengan dalih memberikan obat untuk menjaga kesehatan serta agar tetap langsing dan wajah berseri Pergola memberikan obat aneh hingga si gadis ketagihan dan tak dapat membebaskan diri lagi dari tangan Pergola. 

Ketika Adipati Suto Nyamat terbunuh hubungan Pergola dengan Retno sudah tak ubah seperti suami istri saja. Sang ibu yang tak dapat mencegah dan tak berdaya berbuat apa akhirnya dalam keadaan sakit-sakitan pulang ke rumah orang tuanya di selatan. Bagi Pergola justru ini yang diinginkannya. Retno diboyongnya ke rumah di tepi sungai itu. Gadis ini semakin lengket setelah Pergola mengajarkannya menghisap rokok daun ganja yang tembakaunya dibubuhi obat terlarang.

Sejalan dengan kepandaiannya dalam pengobatan. Pergola juga memiliki keahlian dalam bidang ilmu menotok. Sambil terus mengikat Retno dengan rokok dan obat, kepada gadis ini diajarkannya bagaimana cara menotok hingga orang dalam waktu sekejap tidak berdaya. Kaku diam dan bisu! Karena pada dasarnya Retno adalah seorang gadis yang cerdas maka dalam waktu singkat dia sudah menguasai ilmu itu. Pergola mengajarkan ilmu menotok itu sebenarnya karena mempunyai tujuan tertentu. 

Disamping ahli mengobati dan menotok lelaki ini memiliki keahlian lain yakni pengetahuan yang amat luas tentang berbagai macam senjata mustika atau senjata sakti yang ada di tanah Jawa. Dia mampu mengingat diluar kepala senjata-senjata yang terdapat diberbagai Keraton di pulau Jawa ataupun yang dimiliki para tokoh ternama lainnya, termasuk tokoh-tokoh dunia persilatan.

Sejak lama dia berniat memiliki beberapa dari senjata sakti mandraguna tersebut. Bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijual dengan harga tinggi. Diantara senjata-senjata yang jadi incarannya adalah Pedang Dewa Dewi yang selama ini tersimpan disebuah gua tempat kediaman tokoh sakti Suara Tanpa Rupa. Lalu Keris Ular Emas yang dikuasai Dewi Ular dan yang ketiga Pedang Samber Nyawa yang berada di sebuah pulau diujung Jawa Timur.

Pergola tengah menyusun rencana bagaimana caranya mendapatkan ketiga senjata itu ketika telinganya yang tajam dan pengetahuannya yang luas menyirap kabar bahwa Pedang Dewa dan pasangannya Pedang Dewi tak ada lagi di gua Suara Tanpa Rupa. Lalu Keris Ular Emas pun telah berpindah tangan sedang Pedang Samber Nyawa terakhir sekali direbut oleh seorang pendekar gagah bernama Mahesa Kelud. Ada petunjuk nyata bahwa Pedang Dewa dan Keris Ular Emas telah berada pula di tangan pendekar itu.

Maka Pergola menyusun rencana baru. Retno Kumalasari diperalatnya untuk mendapatkan senjata-senjata itu. Maka diapun menyirap kabar dimana beradanya Mahesa Kelud. Dan akhirnya Retno berhasil memperdayai Mahesa. Bukan saja dia berhasil mendapatkan Pedang Dewa dan Keris Ular Emas, tapi dia juga berhasil "menjual" tubuh pamuda itu pada hartawan Prajadika yang menaruh dendam terhadap Mahesa karena kematian puteranya!

"Kakak Pergola, rokokku habis…" terdengar suara Retno bernada setengah merengek. "Aku minta lagi…" Kedua matanya hampir terpicing.

"Cukup Retno. Kau harus tidur...!" jawab Pergola. Tangan kanannya bergerak mencabut Pedang Dewa. Sinar merah menerangi ruangan itu. "Senjata luar biasa! Senjata yang akan membuatku jadi kaya!"

Braak!

Baru saja Pergola berkata begitu pintu rumah terpentang dan mental berantakan. Mahesa Kelud tegak diambang pintu.

"Senjata curian itu akan membuat kau celaka Pergola! Bukan membuatmu jadi kaya!" bentak Mahesa.

Pergola melompat dari duduknya, siap dengan pedang sakti di tangan. Retno, meskipun belum melihat orangnya tapi telah mengenali suara pendekar itu. Dengan cerdik dia segera menyambar Keris Ular Emas. Tapi pengaruh obat dan rokok membuat gerakannya menjadi lamban.

Mahesa bergerak lebih cepat mengambil Keris Ular Emas yang terjatuh di lantai sewaktu Pergola berdiri tadi. Bersamaan dengan itu dia pergunakan tumitnya untuk menendang Retno, tidak keras tapi cukup membuat puteri Suto Nyamat itu terpekik dan terpelanting ke samping. Baru saja jari-jari tangan Mahesa Kelud menyentuh Keris Ular Emas tiba-tiba terdengar suara menderu. 

Sinar merah yang terang berkiblat. Pedang Dewa menyambar ganas ke arah pinggang pendekar itu. Walaupun Pergola tidak memiliki ilmu silat atau ilmu pedang, namun serangan yang dilancarkannya dengan senjata sakti itu tetap saja merupakan serangan maut! Mahesa jatuhkan diri ke lantai, hampir menabrak pelita. Bacokan pedang lewat diatasnya.

"Pergola! Kalau kau serahkan pedang itu secara baik-baik, aku tak akan menyakitimu! Juga tidak akan menyakiti kekasihmu!" ujar Mahesa. Saat itu dia sudah tegak berdiri, antara Pergola dan Retno. Retno Kumalasari yang berdiri dibelakangnya tanpa terlihat oleh Mahesa memberikan isyarat rahasia lalu berseru,

"Kakak Pergola! Turuti katanya. Serahkan pedang itu dan biarkan dia pergi!"

Pergola yang sudah melihat isyarat yang diberikan Retno, semula kembali hendak menyerang, tapi batalkan niatnya. "Aku menyadari tingginya puncak Merapi!" kata Pergola pula. "Meski pedang sakti di tangan mana mungkin aku bisa menang menghadapimu. Apalagi kau memegang Keris Ular Emas. Ini, ambil kembali pedangmu. Lalu pergilah dari sini..."

Pergola angsurkan pedang dan sarungnya. Pedang di tangan kanan sarung di tangan kiri. Mahesa sisipkan Keris Ular Mas ke pinggang lalu ulurkan tangan untuk menerima senjata itu. Namun sebelum sempat menyentuh senjata ataupun sarungnya tiba-tiba, dalam gerakan luar biasa sarung pedang berkelabat, ujungnya menusuk ke dada kiri Mahesa.

 "Bangsat curang....!" maki Mahesa. Dia cepat hindarkan tusukkan ujung sarung pedang. Namun agak terlambat. Ujung sarung itu masih sempat menusuk bahu kanannya. Saat itu juga dia merasakan tubuhnya sebelah kanan menjadi sangat linu. Dia tak dapat menggerakkan tangan kanan sedang kaki kanan terasa berat untuk dilangkahkan seolah-olah diganduli batu besar!

Menyangka lawannya lumpuh total maka ahli obat itu angkat tangannya yang memegang pedang tinggi-tinggi, lalu ditetakkan sekencang-kencangnya ke kepala Mahesa. Setengah jalan Pergola tersentak kaget ketika melihat lawannya tiba-tiba mengangkat tangan kiri dan memukulkannya ke depan.

Serangkum angin luar biasa panasnya menderu. Mahesa telah lepaskan pukulan inti api. Pergola menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat menghantam dinding lalu roboh ke lantai. Sebagian dada dan perutnya hangus. Pedang Dewa jatuh tergeletak di sampingnya.

"Kakak Pergola!" terdengar pekik Retno Kumalasari lalu gadis ini lari menubruk tubuh Pergola yang tidak bergerak dan tak bernafas lagi.

Mahesa lepaskan totokan dibahunya dengan tangan kiri lalu ambil Pedang Dewa berikut sarungnya dan selipkan senjata itu ke balik pakaiannya.

"Pembunuh! Pembunuh!" teriak Retno. Hendak diterkamnya Mahesa.

Tapi kali ini si pemuda tidak punya rasa kasihan lagi. Tamparannya mendarat pulang balik ke muka gadis itu. Retno terhempas ke lantai, meraung-raung, memanggil-manggil kekasihnya. Darah bercucuran dari bibirnya yang pecah!


***

Tiga orang gadis berbaju biru, cantik-cantik  semuanya, menjura dihadapan Dewi Maut.

"Cepat katakan apa hasil penyelidikan kalian?" Dewi Maut langsung bertanya.

Sejak markasnya dilabrak Mahesa Kelud beberapa bulan lalu dia merasa masygul. Pertama dia dan anak buahnya belum sempat membenahi bangunan rahasia mereka yang terletak di Lembah Maut. Kedua dia telah sengaja menipu Mahesa dengan memberikan pedang Samber Nyawa palsu. 

Hal ini mungkin akan mendatangkan kelanjutan yang tidak enak atau yang menyenangkan hatinya. Yang tidak enak si pemuda akan muncul kembali mengobrak abrik tempat kediamannya bahkan kali ini mungkin membunuh anak buahnya. Yang menyenangkan ialah dia dapat melihat wajah pemuda itu kembali. Satu hal yang dirindukannya sejak kedatangannya dulu. 

Hal ketiga yang menimbulkan rasa kawatir dalam diri sang dewi ialah minggatnya salah seorang anak buahnya yakni empat Biru. Seperti yang dilaporkan sembilan Biru ada kecurigaan bahwa anak buah yang kabur itu telah terpikat pada Mahesa dan melarikan diri untuk dapat mengejar pemuda tersebut.

Tiga Biru maju selangkah. Dia memberi keterangan,

"Ada dua orang lelaki diketahui naik perahu dari pantai Timur menuju kemari. Saya tidak mengetahui siapa mereka.”

“Terangkan ciri-ciri keduanya!" ujar Dewi Maut. Hatinya bertambah masygul.

"Yang seorang kakek memiliki muka seperti tengkorak. Berpakaian biru gelap. Pada pinggangnya ada seeker ular mati, besar sekali..."

Dewi Maut merenung. "Aku pernah dengar tokoh silat dengan ciri-ciri seperti itu. Tapi lupa nama atau gelarnya. Bagaimana tampang lelaki yang kedua?"

"Separuh baya. Berpakaian bunga-bunga merah...." jawab Tiga Biru.

"Pasti itu si Pendekar Kembang Merah. Kenapa orang-orang itu datang kemari? Kalau tidak sengaja mencari mati pasti ada sesuatu..." Dewi Maut memandang pada anak buahnya yang kedua.

Sembilan Biru. Anak buah ini menerangkan dia tidak berhasil mencari jejak kemana perginya Empat Biru.

"Dan kau Lima Biru, apa hasil penyelidikanmu?"

Lima Biru menjura dulu baru menjawab. "Di luar pulau tak ada yang dapat saya temukan. Tapi di dalam pulau ada suatu keanehan. Di sebelah timur Lembah Maut, sejak satu hari lalu selalu terdengar suara orang menyanyi diiringi gesekan rebab….”

Paras Dewi Maut berubah. Dia tegak dari kursi besar empuk yang didudukinya lalu melangkah mundar mandir. "Kalau benar Dewi Rebab Kencana yang muncul sungguh luar biasa." Lalu dia terdiam sesaat, baru bertanya, "Tidak satupun dari kalian yang menyirap kabar tentang pemuda bernama Mahesa Kelud itu?"

"Tidak Dewi," jawab ketiga anak buah itu hampir berbarengan.

"Dengar kalian bertiga. Untuk sementara jangan ganggu orang yang menyanyi dengan iringan rebab itu. Lima Biru, kau pimpin lima orang kawan-kawanmu dan berjaga-jaga disepanjang pantai. Siang malam! Jangan sampai dua tamu tak diundang itu lolos. Dan kau Sembilan Biru, bersama dua kawanmu tetap berjaga-jaga disini. Karena alat-alat rahasia kita belum seluruhnya terpasang rampung, agaknya kita harus mempergunakan kekuatan dan kepandaian. Laksanakan tugas!"

Ketiga gadis itu menjura dan siap berlalu ketika tiba-tiba anak buah dengan panggilan Enam Biru muncul membawa kabar baru.

"Dewi, mata-mata kita di daratan memberi tahu ada seorang kakek bermuka angker menuju kemari pagi tadi. Mata-mata itu tak dapat mencegah, malah dua kawannya tewas ditangan si kakek!"

"Bagaimana keangkeran tampang orang itu?" tanya Dewi Maut.

"Matanya hanya satu, hidungnya sangat pesek. Kuping sebelah kanan sumplung. Kedua kakinya memakai gelang bahar. Berjanggut tebal sampai ke dada..."

"Tubuhnya kurus...?"

"Betul sekali Dewi."

"Ah..." seru sang dewi pendek dan berusaha menenangkan darahnya yang tersirap. "Dia berani datang lagi. Pasti mengandalkan sesuatu..."

Lalu pada ketiga anak buahnya yang terdahulu dia memerintahkan untuk segera melaksanakan tugas. Dewi Maut sendiri kemudian masuk ke dalam sebuah ruangan batu yang pintunya hanya bisa dibuka secara rahasia dan sulit dilihat karena hamper sama rata dengan dinding.


***

Malam gelap sekali dan dingin. Tambah dingin menjelang memasuki dini hari. Dibalik gundukan batu karang di sebelah timur Pulau Mayat dua sosok tubuh tampak mendekam. Keduanya hampir tak banyak bergerak ataupun bicara. Kalau bicara mereka berbisik-bisik. Dikejauhan terdengar suara alunan rebab.

"Perempuan muka pucat itu ternyata lebih cepat dari kita, Datuk," bisik lelaki berpakaian kembang-kembang. Ternyata keduanya adalah Datuk Ular Muka Tengkorak dan Pendekar Kembang Merah.

"Tak jadi apa, yang penting kita sampai disini lebih dulu dari si keparat itu!"

"Apakah menurutmu Simo Gembong belum sampai disini?" tanya Pendekar Kembang Merah.

"Aku yakin. Walau dia sebelumnya berada di depan kita tapi kita menempuh jalan memotong dan....." 
Ucapan Datuk Ular terhenti ketika tiba-tiba terdengar bentakan garang.

"Dua manusia dibalik batu karang! Jika kalian serahkan diri secara baik-baik, kami akan mengampuni nyawa kalian!"

Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah terkejut. Mereka hampir tak mendengar kedatangan orang tahu-tahu sudah berada didekat sana dan membentak. Keduanya palingkan kepala. "Ah! Ternyata gadis-gadis cantik!" ujar sang datuk sambil tertawa menyeringai.

"Kalian bertiga pasti anak buah Dewi Maut...!"

"Jika sudah tahu mengapa masih banyak mulut!" Yang menjawab adalah gadis paling ujung kanan. Dia bukan lain Lima Biru bersama Tujuh Biru dan Tiga Biru. "Kawan-kawan, mari kita tangkap dua tikus tak diundang ini!"

"Hai! Tunggu dulu!" Kata Pendekar Kembang Merah cepat. "Kami tidak ada silang sengketa dengan kalian ataupun Dewi Kalian. Mengapa hendak menangkap kami? Apa kesalahan kami berdua?!"

Lima Biru mendengus. "Apa tidak tahu peraturan? Siapa saja orang luar yang berani injakkan kaki di Pulau Mayat berarti mati! Masih untung kalian berdua hanya kami tangkap! Soal nyawa nanti Dewi yang memutuskan!"

"Alangkah hebatnya!" ujar Datuk Ular seraya batuk-batuk. "Kalian bertiga seperti kurang pekerjaan. Sebaiknya kembali ke tempat kediaman kalian. Tidur dibawah selimut hangat. Malam-malam begini berada diluaran bisa masuk angin!"

"Tua bangka bermulut ceriwis!" sentak Lima Biru. Dia memberi isyarat pada dua kawannya. Ketiga gadis itu langsung berkelebat ke arah Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah.

Dua lelaki ini memang sudah lama mendengar kehebatan Dewi Maut dan anak buahnya. Kini menyaksikan sendiri mereka jadi terkejut. Gadis-gadis muda dan cantik itu sebat sekali gerakan mereka. Tangan kanan memukul, tangan kiri berusaha menotok. Kalau tidak berkelit dengan cepat, salah satu serangan itu pasti akan menemui sasaran. Ketika menghindar melihat lawan sanggup kini Lima Biru dan dua kawannya yang ganti terkejut. Jelas dua orang ini memiliki kepandaian tinggi. Maka didahului penyerangan.

Tujuh  jurus  menggempur habis-habisan tanpa dapat merobohkan lawan membuat Lima Biru dan dua kawannya menyadari bahwa mereka tak bakal sanggup menangkap dua orang itu hidup-hidup. Diikuti oleh Tujuh Biru dan Tiga Biru, Lima Biru cabut pedang hitamnya. Dengan senjata di tangan mereka kembali menyerbu. Tiga pedang membentuk tiga buntalan sinar hitam yang menggidikkan didalam gelapnya malam.

Tekanan tiga pedang membuat Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah terdesak. Ternyata nama Dewi Maut bukan satu nama kosong. Kalau ingin selamat tak ada jalan lain. Datuk Ular harus keluarkan pukulan-pukulan sakti atau loloskan ikat pinggang ular sancanya dan Pendekar Kembang Merah harus siap dengan bunga kertasnya. Di jurus ke sepuluh ketika serbuan lawan tidak tertahankan lagi dua tokoh silat ini terpaksa keluarkan senjata masing-masing. Disaat itulah terdengar suara tawa mengekeh.

"Ha ha ha.! Dua manusia yang katanya tokoh persilatan baru menghadapi gadis-gadis bau kencur saja sudah kalang kabut! Sangat memalukan!"

Baik Datuk Ular maupun Pendekar Kembang Merah sama-sama tersentak kaget. Suara tawa dan yang tadi bicara itu adalah suaranya Simo Gembong. Berpaling ke arah datangnya suara keduanya hanya sempat melihat lenyapnya satu sosok bayangan di dalam gelap.

"Tiga Biru!" seru Lima Biru. "Lekas kejar orang itu! Beritahu kawan-kawan!"

Tiga Biru segera tinggalkan kalangan pertempuran, mengejar kearah lenyapnya suara tertawa tadi. Sambil mengejar dia keluarkan suitan panjang. Inilah tanda rahasia bagi tiga orang kawannya yang berada di jurusan lain. Setelah kedua lawan keluarkan senjata.

Sementara kepergian Tiga Biru membuat Lima Biru kini hanya berdua saja dengan Tujuh Biru, setelah terjadi gebrakan-gebrakan hebat dalam dua jurus, anak buah Dewi Maut itu kini merasakan bukan saja semua serangan mereka jadi terbendung tapi serangan balasan lawan membuat keduanya terpaksa bertahan malah sejurus kemudian terdesak hebat.

PEDATARAN PEMANCUNGAN
Nama yang menggidikkan ini diberikan oleh Dewi Maut dan sesuai dengan keadaannya. Meskipun pedataran itu merupakan lapangan luas berumput yang dikelilingi pohon-pohon bunga, namun disekelilingnya juga terdapat lebih dari selusin tiang pembantaian. Pada masing-masing tiang terpancang mayat manusia. Ada yang masih baru, ada yang sudah membusuk dan beberapa diantaranya hanya tinggal jerangkong putih.

Simo Gembong memandangi tiang-tiang kematian itu satu demi satu. Dia membalik ketika dibelakangnya terdengar beberapa sosok tubuh berkelebat. Di pedataran itu kini tampak tujuh gadis berpakaian biru, berpencaran dan jelas mengurungnya. Simo Gembong menyeringai. Matanya yang Cuma satu berkilat-kilat. Sekian tahun mengucilkan diri di puncak Gunung Kelud, siapa yang tidak terpesona melihat sekian banyak gadis cantik walau jelas pandangan mata mereka membersitkan sinar maut.

"Gadis gadis cantik! Mana Dewi kalian. Cepat suruh dia datang kemari!"

“Kau tak layak memerintah kami. Apalagi menyuruh Dewi datang kemari! Kau tahu kematianmu sudah diujung mata?!" 
Yang membuka suara adalah Tiga Biru.

Si mo Gembong tertawa mengekeh. "Gadis secantikmu tak layak segalak itu!"

"Lekas sebutkan nama atau gelarmu sebelum nyawa lepas dari tubuhmu!"

"Kalian  rupanya  memang manusia-manusia haus nyawa! Tapi ketahuilah nyawa burukku tidak begitu sedap untuk diteguk! Katakan pada Dewi kalian aku Simo Gembong ingin bertemu dan bicara dengannya!"

"Kentut busuk! Biar kepalamu kubuat menggelinding dulu!" Tiga Biru cabut pedang hitamnya lalu menerjang. Sinar hitam menderu dalam gelapnya malam.

Simo Gembong masih tertawa mengekeh. Tubuhnya berkelebat. Terdengar seruan Tiga Biru. Gadis ini melompat mundur. Memandang ke depan dia hampir tak percaya melihat pedang hitamnya telah berpindah tangan. Kini dipegang oleh Simo Gembong!

Meskipun melihat kenyataan bahwa orang tua kurus berambut awut-awutan itu memiliki kepandaian luar biasa tingginya namun Tiga Biru tidak menaruh takut sama sekali. Dengan tangan kosong dia kembali menyerbu. Enam gadis lainnya kini tak tinggal diam. Mereka serentak cabut padang dan menyerang.

"Tahan!"

Satu seruan lantang terdengar membelah kegelapan malam. Tujuh gadis baju biru cepat menahan gerakan mereka begitu mengenali suara tadi. Sesosok tubuh tinggi semampai berpakaian hijau tipis tegak di tengah Pedataran Pemancungan. Dewi Maut! Dia berdiri dengan kaki merenggang tangan di pinggang.

"Puluhan tahun lalu kau melarikan diri dariku. Melarikan diri dari tanggung jawab secara pengecut! Malam dingin begini tahu-tahu muncul kembali! Apakah kau sudah bersiap sedia untuk mati Simo Gembong...?"

"Dewi Maut... Dewi Maut! Sajakmu sungguh bagus. Ah! Aku tak boleh memanggilmu dengan nama itu. Lebih layak menyebut nama aslimu. Sutri.... Sutri!"

Paras Dewi Maut tampak berubah ketika Simo Gembong menyebut namanya. "Dengar Sutri, aku datang memang untuk mati. Jika itu sudah takdirku! Tak ada yang lebih nikmat dari pada kematian. Tapi sebelumnya aku ingin bicara empat mata dulu denganmu!"

"Begitu?! Orang yang mau mampus memang layak dikabulkan pemintaannya!" 
jawab Dewi Maut. Lalu dia memberi isyarat pada ketujuh anak buahnya.

"Dewi..." Tiga Biru menunjukkan rasa kawatir.

"Jangan takut!" berkata sang dewi. "Tua bangka rongsokan ini tampangnya memang angker. Lagaknya selangit. Tapi dia tak ada apa-apanya! Kalian boleh pergi...!"

Meskipun tetap kawatir akan keselamatan dewi mereka namun Tiga Biru dan kawan-kawannya terpaksa harus mematuhi perintah pimpinannya itu. Kini di Pedataran Pemancungan hanya Dewi Maut tegak berhadap-hadapan, terpisah sejarak sepuluh langkah.

"Lekas katakan apa maumu!" kata Dewi Maut.

"Aku ingin memperlihatkan bahwa bagaimanapun aku adalah manusia yang bisa bertanggung jawab..."

"Maksudmu?!"

"Dalam sisa hidupku, aku ingin tinggal bersamamu disini atau dimana saja sebagai suami istri...!" Simo Gembong bicara blak-blakan.

"Jadi itu tanggung jawab yang kau maksudkan!"

"Betul sekali Sutri..."

Sutri alias Dewi Maut mendongak ke langit gelap lalu tertawa panjang. "Tanggung jawabmu sudah basi Simo Gembong! Dosamu tak mungkin terampunkan dengan cara apapun! Lagi pula aku berpikir-pikir, apakah kau pernah berkaca sebelum datang kemari dan bicara melantur seperti ini?"

Paras Simo Gembong kelihatan menjadi merah.

"Matamu cuma satu, hidungmu pesek, kupingmu sumplung. Dan hatimu lebih jahat dari iblis kepala seribu! Apakah kau cukup pantas tinggal bersamaku?! Jangan mimpi Simo. Atau kau mabok? Atau ada niat keji di balik maksudmu itu...."

"Tidak ada niat keji apapun. Aku benar-benar ingin melupakan masa lalu dan ingin menempuh hidup baik-baik!"
"Ah, ternyata kaupun pandai bersajak. Tapi sajakmu itu sayang, tak laku disini! Malam ini malaikat maut siap menjemput nyawa anjingmu!"

Dendam kesumat Dewi Maut yang pernah dirusak kehidupannya dimasa muda lalu ditinggalkan begitu saja, rupanya tak mungkin dihapus dengan maksud dan janji muluk.

"Kalau memang begitu katamu, akupun sudah siap untuk mati!" kata Simo Gembong. Lalu maju dua langkah. "Aku tahu kau memiliki pedang Samber Nyawa yang asli. Keluarkan senjata itu. Gorok batang leherku! Kau puas dan akupun terlepas dari siksa batin puluhan tahun!"

Dari balik pinggang pakaian hijaunya Dewi Maut keluarkan sebuah benda berbentuk gulungan. Ketika gulungan ini dibuka... sret! Membersitlah sinar hitam pekat menggidikkan. Sebilah pedang angker kini tergenggam di tangan Dewi Maut. Senjata ini demikian tipisnya dan bergoyang-goyang tiada henti, sulit dilihat mana badannya yang asli dan mana yang bayangan belaka!

"Aku sudah siap!" kata Simo Gembong dan maju lagi dua langkah.

Dewi Maut juga melangkah mendekat. Pedang Samber Nyawa melintang di depan dada. Ketegangan menggantung di udara malam yang dingin mencucuk sungsum. Justru saat itulah tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat dan satu bentakan nyaring terdengar.

"Nyawa Simo Gembong adalah milik kami!" Sesaat kemudian Datuk Ular Muka Tengkorak dan Pendekar Kembang Merah sudah berada di Pedataran Pemancungan. Sebelumnya mereka telah berhasil  merobohkan Lima Biru dan Tujuh Biru.

"Oladalah! Dua ekor monyet ini rupanya!" kata Simo Gembong ketika mengenali dua tokoh silat itu dalam gelapnya malam. Dia sengaja menyebut mereka sebagai dua ekor monyet karena jengkel. "Aku mengampuni nyawa kalian waktu pertempuran di Lembah Suket! Sekarang malah menyusul kemari. Benar-benar minta mampus!"

Pendekar Kembang Merah bertonjolan rahangnya mendengar ucapan Simo Gembong yang merendahkan itu. Sebaliknya Datuk Ular cepat menyahuti sambil tak lupa mengumbar tawa mengejek.

"Simo Gembong manusia durjana! Kami datang justru mengejarmu yang secara pengecut melarikan diri dari Lembah Suket!"

"Bagus! Kalau kalian merasa diri sebagai jago silat kelas satu terima salam hormatku ini!" Simo Gembong lambaikan kedua tangannya ke depan. Perlahan saja. Tapi dari telapak tangan kiri kanan menderu angin dahsyat berwarna hitam!

Baru saja dua sinar pukulan itu menghantam setengah jalan tiba-tiba terdengar suara rebab digesek keras melengking langit menembus kegelapan malam dingin. Sinar putih kekuningan yang mengembang seperti kipas berkiblat. Sesaat Pedataran Pemancungan terang benderang. Lalu des! des! Dua larik sinar hitam dari telapak tangan Simo Gembong terpapas lebur berantakan. Beberapa seruan kaget terdengar.

Simo Gembong tampak miring tubuhnya ke kiri tapi dia cepat mengimbangi diri dan pasang kuda-kuda baru. Di sebelah kanan pedataran tampak seorang perempuan berambut panjang tergerai, berwajah pucat. Dia memegang alat penggesek di tangan kanan dan rebab di tangan kiri. Perempuan ini tampak terhuyung-huyung kebelakang. Ketika dia hampir jatuh terduduk di rumput cepat dia melompat jungkir balik di udara lalu tegak kembali diatas kedua kakinya. Sepasang matanya memandang tak berkesip ke arah Simo Gembong.

"Ah, mengapa perempuan ini muncul lagi disini," diam-diam Simo Gembong mengeluh.

"Dewi Rebab Kencana!" seru Datuk Ular menyebut julukan perempuan bermuka pucat. "Terima kasih, kau lagi-lagi menolong kami. Hanya saja mohon dimaafkan. Biarkan kami menyelesaikan urusan dengan manusia durjana bermata satu itu!"

Perempuan yang memegang rebab mendengus. "Apapun urusan kalian aku tidak perduli. Darah dan nyawanya adalah bagianku!" Lalu alat penggesek ditangannya meluncur diatas tali-tali rebab. Terdengar suara rebab melengking yang disusul dengan kiblatan sinar putih kekuningan. Kali ini lebih hebat, lebih panas dan lebih terang. Menghantam ke arah Simo Gembong!

"Manusia-manusia tolol! Kalian datang tidak pada waktu yang tepat! Biarkan aku menyelesaikan urusan dengan Dewi Maut!" teriak Simo Gembong seraya melompat tiga tombak ke atas. Dari atas dia memukul dengan tangan kanan ke bawah. Angin sedahsyat badai menerpa.

Buum!

Pedataran berumput itu laksana dilanda gempa. Para tokoh silat yang ada disitu berlompatan berserabutan. Ketika muncratan pukulan-pukulan sakti itu lenyap tampak Dewi Rebab Kencana duduk bersila di rumput. Rebab dan penggeseknya terletak di atas pangkuan. Dadanya turun naik, wajahnya tambah pucat dan rambutnya yang panjang awut-awutan. Jelas dia tengah mengatur jalan nafas dan peredaran darah dari gejolak hebat akibat bentrokan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga dalam tinggi.

Di seberang sana Simo Gembong tampak tersandar ke salah satu tiang pemancungan. Rahangnya menggembung. Matanya yang cuma satu membeliak besar. Terlebih ketika dilihatnya Dewi Rebab Kencana perlahan-lahan berdiri sambil pegang rebab dan penggeseknya.

"Dewi Rebab! Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah! Kalian bertiga pantas dihukum mati karena telah masuk ke Pulau Mayat tanpa izinku! Tapi mengingat akupun punya persoalan dengan kakek buruk ini, jika kalian mau meninggalkan tempat ini dengan segera maka nyawa kalian aku ampunkan!"

"Kalau kita semua mempunyai urusan yang sama, mengapa tidak saling berebut cepat berbuat pahala menamatkan riwayat manusia biang racun malapataka ini?!" ujar Datuk Ular.

Dewi Rebab menggesek rebabnya, keras melengking. Tanda dia setuju dengan ucapan Datuk Ular. Pendekar Kembang Merah tidak berkata apa-apa, tapi diapun ikut setuju dan diam-diam sudah kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan tangan kiri menyelinap mengambil senjatanya yaitu kembang kertas warna merah. Sebelum Dewi Maut dapat mencegah ketiga tokoh silat itu sudah menyerbu Simo Gembong.

Kawatir kedahuluan ketiganya, Dewi Maut yang sejak tadi telah memegang pedang Samber Nyawa akhirnya menyerbu pula ke tengah kalangan pertempuran. Sinar hitam menggidikkan yang mengeluarkan deru angin panas berkelebat di udara ketika pedang sakti itu membabat. Badan pedang berubah menjadi puluhan. Sulit diterka mana yang asli dan mana bayangannya!

Dua bunga kertas merah menyambar ganas ke perut dan batok kepala Simo Gembong. Ikat pinggang berupa ular sanca besar ditangan Datuk Ular menderu membabat ke pinggang dan sinar putih kekuningan yang keluar dari tali-tali rebab yang digesek bersiur dahsyat melabrak kakek bertubuh kurus itu!

Simo Gembong berteriak keras. Putus asa karena Sutri alias Dewi Maut menolak untuk hidup bersama. Disamping itu dia juga marah melihat kenyataan dirinya menjadi bulan-bulanan pengeroyokan. Namun suara teriakan Simo Gembong yang dahsyat itu ternggelam dalam satu bentakan menggeledek yang datang dari ujung timur Pedataran Pemancungan. Semua serangan punah berantakan!

"Manusia-manusia curan! Beraninya main keroyok! pengecut! Benar-benar memalukan!"

Segulungan asap putih datang membuntal. Udara di pedataran berumput itu mendadak sontak menjadi dingin luar biasa. Semua yang ada disitu menggigil. Pendekar Kembang  Merah goyah lututnya dan jatuh tersungkur. Datuk Ular komat-kamit entah membaca mantera apa. Tubuhnya menggeletar. Dewi Rebab Kencana menggigil, berusaha bertahan agar tidak melosoh ke tanah. Dewi Maut pegang Pedang Samber Nyawa erat-erat dan salurkan hawa panas dari pedang itu ke dalam tubuhnya. 
Namun tak urung tetap saja dia merasa kedinginan. 

Simo Gembong tegak tergontai-gontai. Matanya yang besar merah tampak membeliak. Tapi dia tidak merasa dingin. Jelas pukulan asap putih dingin itu tidak ditujukan padanya! Tapi tak dapat dia menduga. Kawan atau lawankah yang datang ini? Di saat dia sudah kepingin cepat-cepat mati mengapa masih ada saja yang hendak menolongnya?

Asap putih dingin perlahan-lahan sirna meninggalkan kabut tipis. Dibalik asap tipis itu kelihatan tegak sesosok tubuh tinggi kekar, berpakaian putih dengan baju terbuka hingga tampak dadanya yang penuh dengan otot.

"Mahesa!" seru Simo Gembong ketika dia mengenali siapa adanya orang itu.

Dewi Maut tersentak kaget. Mendadak saja hatinya gembira berbunga-bunga. Benarkah pemuda yang dirindukannya itu yang tegak dibalik kabut putih tipis itu?

"Embah!" seru si pemuda seraya melompat ke hadapan gurunya dan tegak dengan sikap melindungi.

Embah Jagatnata alias Simo Gembong sesaat masih terkesiap namun kemudian terdengar suara tawanya panjang. "Muridku! Aku gembira kau datang! Tapi aku tidak senang kau turun tangan menolongku! Aku kagum melihat kau memiliki ilmu pukulan sakti bernama Api Salju tadi! Muridku, biarlah aku mati ditangan orang-orang ini! Untuk menebus semua dosaku. Termasuk dosaku padamu! Dosa membunuh ayah dan ibumu!"

"Embah, saya telah melupakan hal itu...." kata Mahesa.

"Bagus! Terima kasih muridku. Tapi ada yang tak bakal melupakan. Yakni hukuman Tuhan! Jika kau merasa masih muridku, patuh padaku, pergi ke ujung lapangan sana! Biarkan orang-orang ini membantaiku di pedataran rumput ini!"

"Sebagai murid saya tak bias berlepas tangan membiarkan mereka membunuh Embah!"

"Jangan keras kepala! Turut perintahku!" Simo Gembong tampak marah.

Mahesa tetap tegak ditempatnya. Kedua matanya memandang ke arah orang-orang yang siap mengeroyok gurunya. Simo Gembong diam-diam mengetahui apa yang ada dalam benak pemuda itu. Maka dia cepat berkata,

"Mahesa, dengar! Apapun yang mereka lakukan terhadapku jangan sekali-kali kau mendendam pada mereka!"

Datuk Ular, Dewi Rebab Kencana dan Pendekar Kembang Merah hampir tak dapat mempercayai kalau yang muncul itu adalah seorang pemuda yang diakui murid oleh Simo Gembong. Jika gurunya jahat apakah sang murid juga jahat? nyatanya sang murid memiliki kepandaian yang tidak berada dibawah tingkat kepandaian gurunya. Apakah dia berkeras kepala untuk membantu Simo Gembong?

Sebaliknya Dewi Maut tidak perdulikan siapapun adanya Mahesa. Melihat wajah pemuda itu kembali hilanglah kerinduannya selama ini. Selintas pikiran muncul dibenaknya. Serangkum senyum menyungging dibibirnya yang merah mungil. Dia berpaling pada Simo Gembong dan berkata,

"Tua Bangka durjana! Aku bisa melupakan dendam kesumatku terhadapmu dan mengampuni selembar nyawa busukmu. Asal saja kau mau membujuk muridmu untuk tinggal disini, di Pulau Mayat ini!"

Paras Mahesa Kelud tampak menjadi sangat merah. Datuk Ular, Dewi Rebab dan Pendekar Kembang Merah sama memandang ke arahnya.

"Eh, apa katamu Sutri...?!" ujar Simo Gembong seraya memandang pulang balik pada Mahesa dan Dewi Maut. "Ha ha ha...! Rupanya kau sudah jatuh cinta pada muridku! Ha ha ha..! Pantas tak ada tempat lagi untukku dihatimu!"

Meskipun mulutnya tertawa tapi hati dan batin Simo Gembong benar-benar terpukul. Kemungkinan hidup bersama dengan perempuan yang pernah dirusak kemudian dicintainya itu sudah tertutup. Apalagi yang kini dicarinya selain kematian?! Dia memandang berkeliling.

"Siapa yang ingin membunuhku, bunuhlah! Mahesa, jangan kecewakan hatiku dihari terakhir hidupku ini! Menyingkir ke tepi pedataran!"

Mahesa merasakan tenggorokannya tercekik. Dengan langkah gontai dia berjalan ke tepi pedataran berumput. Saat itulah Datuk Ular dan Pendekar Kembang Merah pergunakan kesempatan. Ikat pinggang ular sanca menderu. Kembang kertas merah melesat. Disaat yang sama Dewi Rebab gesek rebabnya. Sinar putih kekuningan menyambar ke arah perut Simo Gembong. 

Tubuh orang tua itu mencelat ketika sinar putih menghantam perutnya. Belum sempat mencelat jauh, kepala ular menggebuk punggungnya hingga dia terbanting ke bawah. Disaat itu pula kembang kertas yang sekeras kepingan besi itu menancap di dadanya!

Jelas sekali terlihat Simo Gembong tidak berusaha menghindar atau balas menyerang. Dia biarkan dirinya menjadi sasaran tiga serangan itu. Tubuhnya terkapar di tanah. Tapi dia bangkit kembali sambil menyeringai. Darah mengucur dari dadanya yang ditancapi kembang kertas. Tulang-tulang iganya dibarisan belakang kiri hancur oleh gebukan senjata Datuk Ular dan sinar putih yang menghantam dadanya membuat dada itu hangus. Darah kental kelihatan mengucur di sela bibirnya.

"Embah!" pekik Mahesa.

"Tetap ditempatmu!" teriak Embah Jagatnata alias Simo Gembong. Dia melangkah ke hadapan Dewi Maut. "Sutri...! Mereka bisa menggebukku sampai hancur! Mereka bisa mencincang tubuh kasarku! Tapi aku tak akan mati! Nyawaku tak akan lepas! Hanya pedang di tanganmu itu yang sanggup membunuhku! Tusukkan ke dadaku Sutri! Tusukkan!"

"Jangan dengar ucapannya Dewi!" 
Mahesa berteriak dari tepi pedataran.

Sesaat Dewi Maut menjadi ragu. Kata-kata siapa yang harus diikutinya. Sebaliknya Simo Gembong yakin bahwa perempuan itu akan mengikuti ucapan Mahesa. Tak ada jalan lain. Simo Gembong menerkam ke depan. Dewi Maut terpekik. Tubuhnya mencelat dan jatuh terhampar di rumput. Pedang Samber Nyawa tertarik lepas dari genggamannya. Ketika dia memandang ke depan senjata sakti itu sudah berada dalam tangan Simo Gembong.

"Embah! Jangan...!" teriak Mahesa menggeledek. Dia memburu.

Tapi Simo Gembong lebih cepat. Pedang Samber Nyawa ditusukkannya ke dadanya. Persis seperti kejadian di puncak Gunung Kelud tempo hari. Tapi sekali ini yang menancap di dadanya adalah pedang Samber Nyawa yang asli. Terdengar suara aneh dari tenggorokan Simo Gembong. Suara seperti kerbau disembelih. Darah membusah dimulutnya, mengucur dari luka didada. Matanya yang merah membeliak besar. Mahesa cepat cabut pedang Samber Nyawa dari dada gurunya. Tubuh Simo Gembong rebah menelentang ke tanah. Mahesa merangkulnya.

"Embah… Embah!"

Tapi sang guru tak menjawab. Tidak bergerak dan tak bernafas lagi. Benar-benar mati. Dewi Maut melangkah mendekat. Dipungutnya, Pedang yang tergeletak di rumput.

"Dia sudah mati Mahesa. Gurumu sudah mati..." terdengar perempuan itu berkata.  
Mahesa hanya bisa tundukkan kepala.

Disampingnya terdengar Dewi Maut membentak. "Dewi Rebab! Datuk Ular! Pendekar Kembang Merah! Kalian tak punya kepentingan apa-apa lagi disini! Pergi sebelum aku merubah keputusan untuk mengampuni nyawa kalian!"

Datuk Ular berpaling pada Pendekar Kembang Merah. Keduanya saling mengangguk. "Memang, tak ada perlunya kami berlama-lama disini!" Lalu keduanya cepat-cepat tinggalkan tempat itu.

Dewi Maut berpaling pada Dewi Rebab Kencana. Yang dipandang tersenyum tawar lalu gesek rebabnya. Kali ini tak ada sinar dahsyat yang berkiblat. Hanya bunyi yang keras tapi bernada pilu. Begitu bunyi itu lenyap, Dewi Rebab juga ikut lenyap dari tempat tersebut. Dewi Maut bertepuk tiga kali. Tujuh anak buahnya segera muncul.

"Urus mayat kakek itu," katanya pada mereka.

"Baik Dewi!" Tujuh gadis cantik berpakaian biru menyahut berbarengan.

'Tidak!" tiba-tiba terdengar suara Mahesa. "Aku sendiri yang akan mengurus mayat guru! Jangan ada yang berani menyentuh jenazahnya!"

Dewi Maut termangu sesaat. Lalu berkata, "Jika itu maumu, akupun tidak melarang. Hanya saja kau harus menguburkannya di pulau ini!"

Mahesa tak menyahut. Didukungnya jenazah Simo Gembong yang selama ini hanya dikenalnya dengan nama Embah Jagatnata. Ditepi pantai dia berhenti, memandang ke tengah laut sementara hari mulai terang dan di timur langit kelihatan mulai merah.

Dewi Maut yang sejak tadi mengikutinya bersama tujuh anak buahnya tegak di belakangnya. Ketika Mahesa menurunkan jenazah Simo Gembong, Dewi Maut memberi isyarat. Dua orang anak buah Dewi Maut yakni Tiga Biru dan Dua Biru meletakkan alat-alat penggali disamping Mahesa yakni pacul dan linggis. Keduanya kemudian mundur ke tempat semula.

Tanpa berkata apa-apa Mahesa ambil pacul itu lalu mulai menggali kubur untuk gurunya. Dewi Maut mengambil linggis. Sesaat dia tegak memandangi Mahesa. Ketika Mahesa mengangkat kepalanya, pandangan mereka bertemu.

"Kalau kau memang ingin membantu, mulailah," kata Mahesa.

Dewi Maut tersenyum lebar. Dia segera mengambil linggis dan masuk ke dalam lobang yang telah digali Mahesa. Tiga Biru memandang pada kawan-kawannya.

"Tak ada pekerjaan untuk kita disini!"  
katanya.

Lalu ketujuh gadis itu segera tinggalkan tempat tersebut. Mahesa dan Dewi Maut terus menggali sementara sang surya sudah menyembul di sebelah timur.