Fitnah Berdarah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Indonesia Serial Mahesa Kelud Karya Bastian Tito

Fitnah Berdarah


SATU

MAHESA Kelud letakkan sebuah batu besar di kepala makam di mana jenazah kakek sakti bernama Karang Sewu dikebumikannya. Dia menarik nafas dalam, duduk bersila di depan makam. Sambil pandangi makam bertanah merah itu murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini berucap dalam hati.

"Karang Sewu, walau pertemuan kita begitu singkat namun aku sudah menganggap dirimu sebagai guru dan kakek sendiri. Jenazahmu memang sudah aku urus dan aku kebumikan. Manusia iblis yang telah membunuhmu telah pula aku habisi riwayatnya. Tapi budi dan hutang nyawa yang aku tanam atas dirimu rasanya tidak akan lunas sampai kapanpun. Aku berdoa dengan segala derita yang telah kau alami selama bertahun-tahun kiranya Gusti Allah akan memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagimu di akhirat."

Mahesa Kelud angkat kedua tangannya keatas berdoa dan memohon khidmat kepada Yang Maha Kuasa untuk Karang Sewu yang bukan saja telah menyelamatkan dirinya dari Gua Iblis tapi juga telah memberikan satu ilmu kesaktian yang luar biasa. Sebelum masuk ke dalam gua Mahesa terlebih dulu membuat sebuah obor. 

Lorong demi lorong dilaluinya. Di satu lorong ditemuinya tiga pintu batu karang. Dengan mempergunakan Pukulan Sakti "Karang Sewu" Mahesa Kelud menghantam bobol ketiga pintu itu. Ruangan di dalamnya pengap dan sempit. Tiga ruangan berupa penjara batu itu ternyata kosong.

Mahesa menelusuri sebuah lorong lagi. Udara di sini terasa panas. Di ujung lorong yang buntu terdapat satu ruangan berbentuk segi tiga. Di sini terdapat tiga pintu terbuat dari batu. Mahesa memilih pintu sebelah tengah. Sekali hantam saja pintu batu itu berderak lalu runtuh kelantai gua. Bau busuk serta merta menusuk hidung Mahesa Kelud. Dia maju tiga langkah sambil angkat obor di tangan kirinya tinggi-tinggi. Bulu kuduknya langsung merinding. Sesosok tubuh yang hanya merupakan jerangkong tetapi masih ditempeli gumpalan-gumpalan daging yang telah membusuk serta digeragoti belatung terkapar di salah satu sudut ruangan.

"Manusia malang ini pasti salah satu dari lima pendekar yang telah menerima Surat Kematian seperti yang telah diceritakan Karang Sewu," membatin Mahesa Kelud. Sambil geleng-geleng kepala dia tinggalkan tempat itu. 

Ketika dua pintu batu lagi dibobolnya dia menemui dua sosok jerangkong yang telah mengering. Agaknya dua korban keganasan si Nenek Iblis ini menemui ajal bertahun-tahun lebih lama dibanding dengan yang pertama tadi. Mahesa mula-mula tak mengerti mengapa Karang Sewu bisa mempertahankan diri sampai sepuluh tahun sedang ketiga manusia yang sudah tinggal tulang belulang itu tidak? 

Disuluhinya kamar sempit tersebut dengan teliti. Akhirnya jawaban didapatnya. Tiga kamar di mana ketiga manusia itu terpenjara terletak jauh dari sungai sehingga udara yang panas sama sekali tidak membuat adanya lumut yang dapat dimakan pada dinding-dinding kamar batu karang!

"Untung saja si Karang Sewu dan aku dipenjarakan di lorong dekat sungai. Kalau tidak...," tegak bulu kuduk pendekar muda itu. "Tapi dimana gerangan dua orang lainnya?" dia bertanya-tanya dalam hati. 

Masih ada empat lorong gelap yang belum diselidiki Mahesa Kelud. Satu demi satu lorong itu dijelajahinya. Di lorong yang kedua ditemuinya satu kerangka manusia. Kamar-kamar sempit di lorong ketiga tidak berpenghuni. Lorong yang keempat kini. Udara agak sejuk, ini tanda bahwa lorong itu juga berada dekat sungai. 

Kalau saja ada manusia yang dipenjarakan di sini, mungkin masih hidup, pikir Mahesa. Pintu Karang yang pertama didobraknya. Kosong. Pintu kedua dipukulnya bobol. Dia menyeruak masuk ke dalam dan undurkan langkah ketika melihat sesuatu yang bergerak di sudut ruangan.

Mahesa terkejut apakah yang dilihatnya ini manusia atau setan. Kulitnya putih bulai dan sangat pucat. Rambutnya juga putih seperti kapas. Kedua matanya yang cekung berputar liar. Dia lindungi kedua matanya ini dengan belakang tangan dari silaunya api obor. Perlahan-lahan makhluk ini berdiri sambil berpegangan ke dinding. Ternyata dia seorang manusia juga adanya. Tawanan si Nenek Iblis! Keadaan tubuhnya menyedihkan dan nyaris tanpa pakaian.

"Kawan atau lawankah yang datang ini?" tanya orang yang tubuhnya kurus kering dan berkulit putih bulai serta pucat,  tinggal kulit pembalut tulang saja. Mahesa menjauhkan obornya dari mata orang tua yang kesilauan itu. "Jangan khawatir," katanya. "Aku sahabat baik yang datang untuk menolongmu. Kau siapa?"

Tawanan tua itu nampak bimbang. "Kalau kau kaki tangannya si Nenek Iblis, lebih baik bunuh aku cepat!" katanya. Mahesa gelengkan kepala. "Tadinya aku juga seorang tawanan...."

"Seseorang yang pernah menjadi tawanan si Nenek Iblis keadaan tubuhnya tidak akan sepertimu! Lagi pula tak ada satu manusia pun sanggup bebaskan diri dari dinding-dinding karang tebal yang mengurungnya!"

"Sebaiknya mari kita keluar dari sini. Aku akan terangkan segala-galanya padamu nanti," ujar Mahesa seraya putar tubuhnya.

"Tunggu," terdengar suara tawanan itu ketika dilihatnya Mahesa hendak berlalu. Si pemuda palingkan kepala. "Kau tahu, aku lima belas tahun lebih dikurung di sini oleh si Nenek keparat. Kekuatanku seakan-akan punah. Aku tidak bisa jalan."

Mahesa memperhatikan tubuh laki-laki yang sangat kurus dan telanjang di hadapannya itu. Kedua kakinya kecil sekali, hampir sebesar tongkat! Mahesa dekati orang itu lalu memapahnya. Beberapa lama kemudian mereka sampai diluar. Orang yang dipapah Mahesa Kelud memejamkan matanya kesilauan oleh sinar matahari. Mahesa membawanya ke bawah sebatang pohon. Lama sekali baru orang ini sanggup membuka kedua matanya. Itupun masih dengan menyipit-nyipit.

"Pemuda, kau siapa? Aku berhutang nyawa padamu."

"Sudah kukatakan tadi aku adalah seorang tawanan si Nenek Iblis juga. Namaku Mahesa Kelud."

"Bagaimana kau bisa lolos?"

"Karang Sewu menolong aku."

"Siapa? Karang Sewu...?! Mana dia sekarang?" tanya orang itu dengan nada sangat terkejut.

"Dia sudah mendahului kita. Sejak sepuluh tahun yang lalu dia kena ditipu dan dipenjarakan oleh si Nenek Iblis di gua itu," menerangkan Mahesa Kelud.

"Tidak mungkin! Mustahil! Tidak ada satu penjarapun yang sanggup mengurung jago silat itu! Kau tahu apa artinya Karang Sewu!"

"Mulanya aku juga berpendapat seperti kau. Tapi kemudian si Karang Sewu menerangkan padaku bahwa ketika dia dipukul secara pengecut yaitu tiba-tiba, maka dalam keadaan pingsan tak sadar diri si Nenek Iblis membacok putus kedua tangan dan kakinya. Jadi meskipun dia mempunyai ilmu Karang Sewu, tapi percuma saja karena tangan ataupun kakinya tak bisa dipergunakan."

"Benar-benar terkutuk perempuan iblis itu!
Aku sudah bertekad bulat, bila saja aku sanggup membebaskan diri atau ada yang menolongku keluar dari gua maut itu aku akan adu nyawa dengan si Nenek Iblis!"

"Kurasa itu sudah tak perlu lagi," kata Mahesa Kelud dengan tersenyum. Dia menunjuk jauh ke muka sana, ke arah pepohonan. Orang itu mengikuti jari telunjuk si pemuda dan sambil berpegangan ke batang pohon dibelakangnya dia berdiri. Sesosok tubuh yang telanjang dan berkulit keriputan, berambut putih jarang menggeletak di tanah tak bergerak-gerak. Tubuh si Nenek Iblis!

"Siapa yang telah membunuhnya?!" tanya orang itu.

"Kebenaran," jawab Mahesa tidak mau tonjolkan diri.

"Kebenaran?"

"Ya. Kebenaran akan selalu membunuh kejahatan. Itu suatu hukum yang tidak tertulis...."

Orang itu tertawa. Untuk pertama kalinya saat itu baru dia menyadari bahwa dirinya tidak berpakaian sama sekali. Dia duduk ke tanah dan melipatkan kedua kaki untuk menutupi bagian tubuhnya. "Harap maafkan keadaanku," katanya.

"Selama lima belas tahun dikurung, pakaianku hancur luluh menjadi bubuk."

"Tak apa-apa. Nanti kita bisa mencari beberapa potong pakaian untukmu. Kau tahu apa yang terjadi dengan tawanan-tawanan lainnya yang berjumlah empat orang?"

"Mereka masih hidup?"

"Mati semua."

"Tapi mereka bisa makan lumut di dinding karang itu...."

"Mereka dipenjarakan dilorong yang jauh dari sungai. Dinding karang yang mengurung mereka tidak menghasilkan lumut. Kita, aku, kau dan si Karang Sewu masih beruntung terpenjara di lorong dekat sungai. Kalau tidak nasib kita sama dengan empat tokoh silat itu. Mati secara mengenaskan, jadi jerangkong lapuk!"

Orang tua di hadapan Mahesa Kelud menghela nafas panjang. Dia berpaling. Saat itulah sepasang matanya membentur gundukan tanah merah. "Kuburan siapa itu? Kelihatannya masih baru sekali," si orang tua bertanya.

"Makam Karang Sewu. Orang yang telah menolong kita..." jawab murid Embah Jagatnata.

Mendengar keterangan Mahesa itu si orang tua kumpulkan seluruh kekuatannya lalu dengan beringsut dia mendekati makam Karang Sewu. Didepan makam dia membungkuk dalam memberi penghormatan.

"Aku tidak bisa membalas budi jasamu. Aku hanya bisa mendoakan agar Tuhan memberi tempat yang terbaik bagimu di akhirat..." kata si orang tua pula dengan suara tersendat. Dia berpaling pada Mahesa. 

Saat itu Mahesa berkata. "Kasihan kakek sakti itu. Rupanya Nenek Iblis mengetahui kalau Karang Sewu telah mengajarkan pukulan sakti Karang Sewu padaku agar aku bisa lolos. Waktu itu aku sedang bersiap-siap untuk keluar dari dalam penjara batu. Tahu-tahu perempuan iblis itu sudah menyelinap masuk kedalam penjara Karang Sewu dan langsung membunuh orang tua yang tidak berdaya itu!" Kini Mahesa yang menarik nafas panjang. "Orang tua," katanya pada orang yang duduk di depan makam Karang Sewu itu. "Kau masih belum terangkan siapa kau adanya."

"Aku orang jauh.... Datang ke sini tak tahunya hanya untuk mencari mati. Aku berasal dari tanah Bugis. Namaku Ulong Jamber. Suatu hari sekitar lima belas tahun yang lalu aku mendengar kabar selentingan tentang adanya delapan helai surat rahasia yang dilayangkan dari Gua Iblis ini. Bukan aku sombong, tapi begitulah. Tanah Bugis penuh dengan jago-jago silat dan orang-orang sakti. Mereka semua menyeberang ke tanah Jawa ini untuk dapatkan surat itu. Tapi aku lebih beruntung. Aku berhasil paling dulu mendapatkan salah satu dari delapan surat itu. Di tengah jalan, dalam perjalanan ke sini aku dihadang beberapa tokoh silat. Mereka memaksa aku menyerahkan surat. Bentrokan tak dapat dihindarkan. Semua menemui ajal di tanganku. Tapi tak tahunya Nenek Iblis penghuni Goa ini menipuku. Aku jauh-jauh datang untuk mendapatkan Cambuk Iblis yang menurut isi surat siapa yang memilikinya pasti akan merajai dunia persilatan delapan penjuru angin. Namun nasib yang kutemui adalah dipenjarakan sampai belasan tahun. Untung saja ada kau, kalau tidak mungkin untuk seumur hidup aku akan disekap di ruang batu karang itu! Aku berhutang nyawa padamu, Mahesa."

"Kau salah. Bukan padaku Ulong Jamber tapi pada Karang Sewu. Dan aku juga berhutang nyawa serta budi padanya...."

"Mahesa Kelud, kau beruntung memiliki ilmu pukulan Karang Sewu itu. Kau punya harapan besar akan merajai dunia persilatan. Tentunya kau sudah dapatkan Cambuk Iblis itu," kata Ulong Jamber.

Si pemuda tersenyum pahit. "Tentang Cambuk Iblis itu..." katanya, "Cerita kosong belaka!"

"Cerita kosong bagaimana?" tanya Ulong Jamber tak mengerti.

"Si Nenek Iblis sengaja menyebarkan delapan helai surat rahasia untuk menarik orang-orang dari kalangan persilatan agar datang ke sini, ke guanya, untuk dibunuh! Sedang maksud utamanya ialah memancing seorang jago tua bernama Simo Gembong yang tak lain adalah bekas kekasihnya sewaktu masih gadis." 

Untuk lebih jelas bagi Ulong Jamber maka Mahesa Kelud kemudian tuturkan kisah riwayat hidup si Nenek Iblis yang didengarnya dari Karang Sewu. Ulong Jamber tak habisnya geleng-gelengkan kepala begitu selesai mendengarkan penuturan Mahesa.

"Simo Gembong bukan seorang manusia yang mudah untuk dipancing," kata Ulong Jamber pula.

"Kau kenal dia dan di mana beradanya sekarang?" tanya Mahesa Kelud.

"Semua orang di dunia persilatan tak ada yang tak pernah dengar nama itu. Simo Gembong pernah menggetarkan dunia persilatan bahkan dianggap sebagai raja rimba persilatan secara tidak resmi. Kalau si Nenek Iblis ingin balaskan sakit hatinya dan kalau sekiranya Simo Gembong berhasil dipancingnya, maka sangat kecil kemungkinan bahwa si Nenek Iblis akan sanggup melayani jago tua itu sampai sepuluh jurus sekalipun! Tapi anehnya sekitar lima tahun belakangan ini Simo Gembong hilang lenyap begitu saja. Meskipun namanya tetap menggetarkan kalangan persilatan namun tidak satu orangpun tahu dimana dia berada...."

"Mungkin sudah mati?" ujar Mahesa Kelud. Ulong Jamber gelengkan kepala.

"Mustahil sesudah tahunan begini kalau dia mati tak ada satu manusiapun yang tahu. Yang menyulitkan ialah sepanjang pengetahuan dia tidak pernah mempunyai seorang muridpun sehingga sukar dicari jalan untuk mengikuti jejaknya. Semasa hidupnya karena kelakuannya yang buruk dia banyak punya musuh. Dia tukang mainkan anak gadis orang bahkan juga isteri orang. Dia perusak rumah tangga orang. Tapi setiap orang yang sakit hati dan mendendam kepadanya tidak berdaya berbuat suatu apa ketika mereka mengetahui siapa adanya orang yang mereka hadapi yaitu Simo Gembong. Seorang raja silat yang tak bisa dilawan meskipun dengan dikeroyok oleh lima pendekar silat kelas utama!"

"Sulit juga kalau begitu...." desis Mahesa Kelud.

"Apa yang sulit, anak muda?" tanya Ulong Jamber.

"Ulong, aku berterus terang padamu. Aku belum lama turun gunung. Ketika dilepas oleh guruku aku dibekali dua tugas berat. Yang pertama mencari pedang bernama Samber Nyawa dan yang kedua mencari serta membunuh Simo Gembong dengan pedang itu...."

Ulong Jamber termenung seraya kedua matanya yang mulai biasa dengan sinar matahari memandang ke kejauhan. "Tentang pedang Samber Nyawa itu tidak bisa dipastikan kebenaran adanya. Seribu satu cerita mengenai kehebatan pedang ini tersebar ke pelbagai penjuru namun di mana adanya itu senjata tak satu manusia pun yang tahu. Kau bilang tadi bahwa kau ditugaskan oleh gurumu untuk mencari Simo Gembong. Kalau aku boleh tahu Mahesa, siapa gurumu adanya?"

"Embah Jagatnata. Beliau diam di puncak gunung Kelud. Kau kenal padanya barangkali?"

Ulong Jamber gelengkan kepala. "Dia tentu seorang yang berilmu sangat tinggi. Tapi sayang aku baru kali ini dengar nama itu. Sebagai muridnya kau tentu punya ilmu tinggi pula, Mahesa. Ditambah lagi dengan pukulan Karang Sewu yang kau dapat dari Karang Sewu. Namun demikian untuk menghadapi Simo Gembong dalam menjalankan tugas gurumu itu nanti hati-hatilah. Selama hidupnya Simo Gembong tidak pernah menjadi seorang pecundang!"

"Aku tahu, mudah-mudahan aku berhasil menemukan pedang Samber Nyawa. Bila tidak, aku tetap akan lakukan tugas guruku sekalipun untuk berhasilnya aku harus bayar dengan nyawa."

"Kau seorang murid yang patuh, Mahesa. Gurumu tentu sangat menyayangimu," kata Ulong Jamber pula. Dia berdiri dan berkata: "Sebelum senja datang sebaiknya kita masuk ke dalam gua kembali untuk mencari secarik pakaian yang dapat menutupi tubuhku. Aku tak bisa kembali ke Bugis dengan telanjang seperti ini...."

Mahesa berdiri. Obor yang tadi dipadamkan kini dihidupkan kembali. Kedua orang itu masuk ke dalam gua. Menjelang senja mereka sudah keluar dan Ulong Jamber tampak memakai sehelai kain hitam. Kain ini milik si Nenek Iblis. Bagi Ulong Jamber adalah jauh lebih baik memakai kain perempuan yang dibencinya itu dari pada harus bertelanjang bulat.

"Malam ini sebaiknya kita bermalam saja disini. Besok pagi kau lanjutkan perjalanan dan aku sendiri akan kembali ke Bugis."

Mahesa Kelud mengangguk menyetujui usul Ulong Jamber itu. Pemuda ini segera mencari kayu dan ranting-ranting kering untuk membuat perapian.


***
DUA

PERLAHAN-LAHAN api perapian mulai padam. Mulut gua di mana kedua orang itu terbaring diliputi kegelapan. Sesosok tubuh bergerak seperti melayang-layang mendekati Mahesa Kelud yang tengah terbaring tidur dengan nyenyaknya. Sebagai orang berilmu tinggi yang punya naluri tajam biasanya jika ada orang yang melangkah di dekatnya, walau bagaimana pun nyenyaknya tidur Mahesa Kelud akan terbangun dengan cepat. 

Tapi kali ini anehnya tidak demikian adanya. Apakah makhluk yang mendekati si pemuda, berilmu lebih tinggi sehingga baik telinga maupun naluri perasaan Mahesa tidak sanggup menangkap suara kaki-kakinya yang melangkah? Sosok tubuh itu berlutut di hadapan Mahesa Kelud, tiba-tiba dia ulurkan kedua tangannya ke arah leher si pemuda. Jari-jarinya yang kurus-kurus panjang mencekik dan meronta. Kedua matanya membuka besar dan membentur satu wajah yang menyeramkan di atasnya. 

"Mampus! Mampuslah kau pemuda terkutuk." Kata makhluk itu. 

Mahesa yang sudah menyengal nafasnya dengan sekuat tenaga menghantamkan lututnya ke tubuh makhluk yang mencekiknya itu. Tapi tumitnya seperti mengenai angin kosong. Dipergunakannya tangan kanannya untuk memukul. Lagi-lagi dia hanya menghantam tempat kosong. Tanpa pikir panjang si pemuda yang untung saja masih belum kehilangan akalnya itu segera gulingkan diri ke samping. Cekikan pada lehernya terlepas. Dengan cepat Mahesa bangkit berdiri!

Betapa terkejutnya pemuda ini ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat itu. Tak lain si Nenek Iblis! Ada keanehan yang mengerikan pada diri makhluk itu. Wajahnya lebih mengerikan sedang tubuhnya seperti meliuk-liuk tak ubahnya laksana api pelita yang dihembus angin. 

Ketika dia melihat kaki itu sama sekali tidak menyentuh tanah maka maklumlah kini Mahesa Kelud dengan siapa dia berhadapan saat itu. Yang dilihatnya memang berwujud si Nenek Iblis yang tadi siang dibunuhnya, tapi sebenarnya hanya merupakan roh halusnya. Roh halus yang jahat atau jelasnya setan jadi-jadian!

Di malam yang sunyi dan dingin itu tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan makhluk dihadapan Mahesa. Tubuhnya bergerak mendekati pemuda itu, melangkah tanpa kaki menginjak bumi, seperti orang yang pandai melayang. Kedua tangannya terulur ke muka dan senantiasa mengarah ke batang leher Mahesa. Si pemuda mundur.

"Jangan lari Mahesa! Kau telah bunuh aku. Sekarang mari ikut sama-sama aku ke lobang neraka! Hi... hi... hi!"

"Pergi!" bentak si pemuda seraya hantamkan tangan kanannya ke muka. Tapi yang dipukulnya hanya udara kosong. Tubuh makhluk yang di hadapannya meliuk-liuk dan semakin dekat. Mahesa memukul lagi. Dia tahu bahwa tinjunya itu pasti sudah sampai di sasarannya tapi yang dipukulnya tetap saja udara kosong karena memang tubuh yang dipukulnya itu bukan tubuh kasar melainkan roh halus yang jahat!

Mahesa cepat melompat ke samping ketika setan si Nenek Iblis hendak mencekik lehernya. Dia meloncat lagi menjauh kira-kira sepuluh langkah. Setan jahat di hadapannya memutar tubuh dan mengejar. Mahesa maklum bahwa makhluk seperti itu tak bisa dihadapi dengan ilmu kasar. 

Cepat-cepat ini pemuda sedekapkan kedua tangannya di muka dada. Kedua matanya dipejamkan dan dalam hatinya dia mulai semedi membaca mantera. Setan perempuan jahat itu sampai di hadapan Mahesa Kelud dan segera mencekik leher si pemuda. Mahesa tak bergerak barang sedikit pun!

"Kau harus ikut aku ke neraka Mahesa! Harus ikut. Hi... hi... hi... hi...!" 

Mendadak suara tertawa cekikikan makhluk halus ini menjadi terhenti dan berganti dengan jeritan yang melolong setinggi langit! Tangannya yang mencekik terlepas dan kelihatan berubah menjadi asap! Makhluk ini menjerit terus dan mundur. Perlahan-lahan Mahesa membuka kedua matanya. 

Pandangannya yang tajam menyorot ke makhluk di hadapannya. Kedua tangan yang bersedekap di muka dada dibuka dan kini mengembang dengan telapak-telapak yang terpentang. Dari telapak tangan itu keluar angin sangat panas, menderu keras ke arah tubuh halus dari si Nenek Iblis. Inilah ilmu api yang berhasil dikuasai oleh Mahesa Kelud dengan sempurna ketika dia digembleng dipuncak gunung Kelud tempo hari oleh Embah Jagatnata.

"Tidak! Jangan.... Ampun!" terdengar jeritan setan Nenek Iblis.

Mahesa membuka mulutnya, "Makhluk halus, kembali ke tempat dari mana kau datang. Jangan gentayangan...."

"Tidak... ya... ya... aku kembali. Ampun!"

"Kembali cepat!"

Makhluk dihadapannya melayang meliuk-liuk ke arah pepohonan di mana di tempat yang kegelapan terbujur mayat si Nenek iblis. Di hadapan mayat ini makhluk tadi berhenti. Tubuhnya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit berubah menjadi kepulan asap tipis yang sesaat demi sesaat hilang lenyap dihembus angin malam yang dingin. 

Perlahan-lahan Mahesa Kelud menurunkan kedua tangannya yang terpentang lebar. Disekanya keningnya yang basah dengan keringat. Diaturnya jalan nafas dan jalan darahnya. Sesudah itu dia melangkah ke tempat di mana dia tadi tidur. Di sebelah sana dilihatnya Ulong Jamber pulas nyenyak. Apa yang telah terjadi tidak diketahuinya. Jeritan-jeritan makhluk halus tadi sama sekali tidak sampai kepada pendengarannya karena memang makhluk itu tidak bermaksud mencelakakannya tapi mencelakakan Mahesa Kelud. 

Sampai hari pagi, sampai ketika langit di sebelah timur mulai terang oleh singsingkan fajar, sesudah peristiwa mengerikan malam itu maka Mahesa Kelud tidak tidur barang sedikitpun. Dia duduk bersandar ke mulut gua. Sesaat kemudian dilihatnya tubuh Ulong Jamber bergerak tanda orang ini sudah bangun dari tidurnya.


***
TIGA

MAHESA KELUD keluar dari dalam sungai berair sejuk serta bening itu. Tubuhnya terasa segar sehabis mandi. Dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia melangkah ke tempat di mana dia meninggalkan pakaiannya. Di bawah pakaian itu diletakkannya pedang milik si Cakar Setan. 

Dia tak perlu khawatir akan dilihat atau dipergoki orang karena bagian sungai di mana dia berada saat itu adalah bagian yang tersunyi, lagi pula hari  masih sangat pagi. Selesai berpakaian maka pedang si Cakar Setan disisipkannya di belakang punggung dan dia segera melangkah hendak berlalu. Namun satu suara membentak serta merta membuat ini pemuda hentikan langkahnya.

"Maling busuk pembunuh keji, jangan pergi dulu!"

Suara itu keras tetapi halus seperti suara perempuan. Mahesa memutar tubuhnya dan memandang berkeliling. Tak ada satu orangpun yang dilihatnya. Dia jadi terheran-heran. Suara siapa tadi itu, pikirnya. Tiba-tiba dari sebatang pohon tak jauh di hadapannya melayang turun sesosok tubuh berbaju kuning. 

Dan di hadapan Mahesa Kelud kini berdirilah seorang gadis berparas jelita. Kulitnya putih. Dia memakai pakaian laki-laki berwarna kuning. Pakaiannya ini menambah kejelitaannya. Rambutnya yang hitam disanggul di atas kepala, dihiasi sekuntum bunga mawar kuning. 

Meskipun pandangannya menyorot dan beringas penuh kebencian pada Mahesa Kelud tapi justru inilah yang membuat parasnya jadi tambah cantik. Mau tak mau pemuda kita dibuat terpesona juga jadinya. Dari bentuk pakaian yang dikenakan oleh gadis itu Mahesa maklum bahwa si baju kuning ini adalah seorang gadis dari dunia persilatan. 

Tadi dia telah pula menyaksikan bagaimana ketika melayang turun tubuh si gadis tak ubahnya seperti seekor burung dan waktu kedua kakinya menyentuh tanah tidak sedikit suara pun yang kedengaran. 

"Gadis berbaju kuning, siapakah orang yang kau maki dengan kata-kata maling busuk dan pembunuh keji tadi...?" tanya Mahesa Kelud.

Si gadis mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Dasar pemuda edan, masih tidak tahu diri! Cis!"

Mahesa Kelud menaikkan kedua alis matanya. "Aku edan katamu? Edan bagaimana...? Aneh! Baru kali ini bertemu muka tahu-tahu aku sudah dicap pemuda edan! Memangnya kenapa?"

"Kalau kau tidak edan tentu kau tak akan berlaku pura-pura tidak mengerti bahwa kaulah yang menjadi maling busuk dan pembunuh keji itu!" tukas si gadis ketus.

"Nah... nah... sekarang makin banyak gelaran atas diriku. Pemuda edan, maling busuk dan pembunuh keji. Kalau ada pemuda edan tentu ada pemuda benar. Kalau ada maling busuk tentu ada maling harum dan kalau ada pembunuh keji tentu ada pembunuh terhormat...," Mahesa tertawa. 

Ini membuat si gadis baju kuning di hadapannya jadi naik darah. "Pemuda criwis...!"

"Oh tambah satu lagi gelaranku?!"

"Diam! Tutup mulutmu!" bentak si gadis penuh gusar.

"Baik. Aku akan tutup mulut!" kata Mahesa Kelud pula sambil katupkan bibirnya rapat-rapat. 

Si gadis semakin gemas. Dia maju satu langkah. "Akui terus terang bahwa kaulah bangsatnya yang telah membunuh Cakar Setan, mencuri surat rahasia dan pedang Naga Kuning! Ayo akui!"

Mahesa Kelud bungkam seribu bahasa. Kedua bibirnya masih terkatup rapat.

"Ayo mengakulah!"

Mahesa masih diam.

"Kurang ajar! Jawab atau kau mau mampus lebih cepat?!"

"Kau ini bagaimana? Mana bisa aku menjawab kalau tadi kau suruh aku menutup mulut rapat-rapat? Kau suruh aku tutup mulut?!"

Saking gemasnya si gadis baju kuning mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu dia sampai hentakkan kaki ke tanah. "Kupecahkan mulutmu! Tidak tahu kau berhadapan dengan siapa? Aku muridnya si Cakar Setan yang akan mencabut nyawamu karena telah membunuh guruku!"

"Oh, jadi aku berhadapan dengan murid seorang pendekar ternama? Ah, mengapa tidak bilang dari tadi?" Mahesa Kelud menjura memberi penghormatan. 

Diperlakukan seperti itu si gadis baju kuning menjadi semakin penasaran. Wajahnya yang cantik jelita menjadi sangat merah. "Kembalikan pedang Naga Kuning itu padaku cepat!"

Mahesa memperhatikan jari-jari tangan si gadis. Jari-jari itu berkuku panjang tapi bagus dan rapi tanda mendapat rawatan yang baik. "Pedang itu tidak ada padaku," kata si pemuda menjawab pertanyaan murid Cakar Setan tadi. 

"Jangan dusta!" bentak si gadis. "Aku lihat sendiri senjata itu kau sisipkan di balik punggungmu sehabis mandi tadi!"

"Hem..." gumam Mahesa Kelud. "Jadi kau telah mengintip aku mandi?" Si pemuda mengulum senyum. "Seumur hidupku baru kali ini kuketahui ada gadis yang suka mengintip pemuda mandi. Biasanya pemudalah yang suka mengintip seorang gadis sedang mandi. Rupanya dunia sudah terbalik kini heh?!"

Air muka murid Cakar Setan menjadi merah untuk kesekian kalinya. "Pemuda rendah! Kau benar-benar menghina! Rasakan ini!" 

Dengan serentak si baju kuning menyerbu ke muka mengirimkan satu jotosan tangan kanan ke dada Mahesa Kelud. Merasakan angin pukulan yang keras, Mahesa Kelud cepat-cepat menggeser kedua kakinya dan mengelak. Jotosan yang hebat lewat. Begitu tinjunya mengenai tempat kosong si gadis dengan serentak membalik dan kini tinju kirinya yang melayang ke muka, rendah mengarah lambung Mahesa Kelud. 

Pemuda itu melompat ke samping. Dengan gusar si gadis lancarkan serangan susulan yakni berupa tendangan kaki kanan ke selangkangan Mahesa. Murid Embah Jagatnata tidak mau konyol. Serangan lawannya tidak main-main dan dengan cepat dia melompat ke atas seraya kembangkan kedua kakinya. 

Kalau dia mau, sambil melompat itu dia bisa mengirimkan satu serangan balasan ke kepala si gadis tapi entah mengapa Mahesa tidak mau melakukannya. Demikianlah selama beberapa jurus Mahesa Kelud senantiasa melayani si gadis dengan mengelak terus-terusan, tak mau menyerang.

"Manusia rendah?! Mengapa mengelak saja? Apa kau ingin mampus tanpa perlawanan?!" gertak si gadis baju kuning.

"Dengar sahabat...."

"Cis! Jangan panggil aku sahabat! Aku bukan sahabatmu! Aku ingin jiwamu, tahu? Ini! Mampuslah!" Murid si Cakar Setan mengirimkan serangan lagi, lebih dahsyat dari yang tadi. Kedua tinju menghantam ke muka, ke dada dan ke kepala Mahesa Kelud. Sambil lompatkan diri dia dengan serentak kirimkan pula tendangan kaki kiri ke perut lawan.

Mahesa rundukkan kepala. Jotosan lawan lewat. Serangan yang mengarah dada ditangkisnya dengan bentengan lengan sedang tendangan kaki si gadis ditunggunya dengan lipatan lutut kiri. Murid si Cakar Setan karena Mahesa Kelud terus-terusan bersikap bertahan dengan sendirinya sama sekali tidak mengetahui betapa tingginya tenaga dalam lawannya. Untuk mengadu kakinya dengan lutut lawan memang dia tidak berani tapi hantaman tangan kanannya tetap diteruskan.

"Buuukk!" Lengan si gadis beradu keras dengan lengan Mahesa Kelud. Si gadis terkejutnya bukan main. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang sedang lengannya terasa sangat sakit. Ketika dilihatnya ternyata kulit lengannya menjadi kemerah-merahan. 

Mahesa Kelud berdiri dengan tersenyum. "Gadis baju kuning," katanya, "Dari pada berkelahi tak tentu ujung pangkal sebaiknya mari kita bicara baik-baik. Apa yang kau ingini?"

"Siapa sudi bicara dengan manusia rendah, maling busuk dan pembunuh keji seperti kau! Kau boleh bicara dengan setan kuburan nanti!"

Dari balik pinggangnya gadis itu mengeluarkan sesuatu. Mahesa memperhatikan ingin tahu apa yang diambil lawannya. Ternyata sehelai selendang berwarna kuning.

"Senjata apa pula ini?" pikir Mahesa Kelud dalam hatinya.

"Pemuda edan, bersiaplah untuk mampus!
Agar kau mati tidak penasaran katakanlah dulu siapa namamu!"

"Kalau kau tanya namaku, Mahesa Kelud. Itulah. Sebaliknya namamu siapa gadis baju kuning...?"

"Namaku tanyakanlah nanti pada setan kuburan," jawab si gadis dan melompat ke muka seraya kebutkan selendang kuning yang di tangan kanannya. 

Mahesa Kelud cepat-cepat menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dingin dan tajam keluar dari selendang kuning tersebut. Matanya terasa agak perih. Pemuda ini bertindak hati-hati kini. Selendang di tangan si gadis merupakan senjata ampuh. Bisakah dia terus-terusan mengambil sikap bertahan, pikir Mahesa.

"Gadis baju kuning, dengarlah! Mari kita bicara secara baik-baik dulu. Aku...."

Sssret...! Selendang kuning menyambar ganas ke mukanya. Mahesa melompat mundur. Lawannya mengejar dengan melompat. Dia kebutkan selendangnya sekali lagi dan bersamaan dengan itu jari-jari tangan kirinya yang berkuku panjang diacungkannya ke depan coba mengoyak dada Mahesa Kelud. Melihat serangan ganas ini si pemuda membuang diri ke samping kanan. Tangan kanannya bergerak coba merampas selendang di tangan si gadis. 

Tapi dengan cerdik murid Cakar Setan putar selendang itu dan kini turun membabat ke arah perut Mahesa Kelud. Untuk kesekian kalinya murid Embah Jagatnata hindarkan diri dengan melompat. Serangan tangan kiri lawannya ditangkisnya dengan lengan kanan. Si gadis yang memaklumi ketinggian tenaga dalam lawan tidak berani lagi untuk mengadakan bentrokan. Cepat-cepat dia tarik pulang tangan kirinya dan sebagai ganti dia sorongkan lututnya ke muka seraya melompat ke atas. 

Melihat datangnya lutut lawan, Mahesa berkelit ke samping kiri tapi gerakannya ini disambut oleh si gadis dengan sambaran selendang. Walau selama ini dia senantiasa mengambil sikap bertahan maka serangan yang dahsyat itu sukar juga bagi Mahesa untuk mengelak tanpa mengirimkan serangan. Sekedar mengelak saja dia sanggup tapi masih ada kemungkinan sambaran selendang akan mampir di tubuhnya. 

Meskipun dia tidak sampai hati untuk balas menyerang terhadap lawannya yang cantik jelita itu namun Mahesa Kelud juga tidak mau kena dicelakai. Sambil elakkan serangan lutut dia merunduk dan kirimkan jotosan tangan kiri ke arah sambungan siku tangan yang memegang selendang dari si gadis. Di lain pihak si gadis menyadari bahwa selendangnya akan berhasil mencari sasaran di muka lawan namun untuk itu kemungkinan besar sambungan sikunya akan kena dipreteli. 

Dia tidak mau untung-untungan. Dia maklum kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi di balik jotosan Mahesa Kelud. Karenanya dia cepat-cepat tarik pulang tangan kanannya yang memegang selendang. Jotosan tangan kiri Mahesa jadi mengenai tempat kosong. Si pemuda tidak mau merugi begitu saja. Tangan kirinya di putar dengan cepat sedemikian rupa dan tahu-tahu balik menyambar ke arah selendang. Murid si Cakar Setan yang tahu maksud lawannya yaitu hendak merampas selendang tidak berdiam diri. Kaki kanannya bekerja, menendang ke pinggul Mahesa Kelud. 

Mahesa cepat-cepat membentengi tubuhnya dengan lipatan lutut kiri tapi dengan kecepatan yang luar biasa  si gadis tarik pulang kaki kanannya dan sebaliknya kini kaki kirinyalah yang menendang. Diam-diam Mahesa Kelud mengagumi juga kehebatan silat lawannya. Tangan kirinya yang tadi terulur untuk merampas selendang ditariknya dengan cepat. 

Tubuhnya miring ke kiri untuk hindarkan tendangan kaki lawan yang tak terduga. Celakanya waktu memiringkan tubuh itu salah satu kaki Mahesa Kelud terpeleset. Meskipun dia sanggup mengelakkan tendangan tersebut namun tak urung pakaiannya kena terserempet.

"Brett!"

Pakaian si pemuda robek besar. Mahesa Kelud memaki dalam hatinya. Dia melompat menjauh. "Gadis baju kuning," kata Mahesa. "Aku tanya untuk penghabisan kalinya, kau mau bicara dulu secara baik-baik atau tidak?!"

"Pemuda sedeng! Apa kau tuli dan tidak dengar kata-kataku tadi bahwa aku tidak sudi bicara dengan kau?!"

"Dengar, gadis sombong! Aku tidak mau cari urusan dengan kau...,"

"Sesudah kau curi pedang guruku, sesudah kau curi surat rahasia itu dan sesudah kau bunuh beliau kau bilang tidak mau cari urusan? Terkutuk! Pengecut!"

"Aku tidak melakukan itu semua! Bukan aku! Aku akan terangkan padamu...."

"Persetan dengan keteranganmu! Ringkas kata kau harus mampus di tanganku!" si gadis maju ke muka beberapa langkah.

"Gadis keras kepala!" maki Mahesa. "Orang sudah mengalah masih saja hendak lampiaskan nafsu amarahnya. Baik, majulah! Aku tak segan-segan lagi untuk main-main dengan kau. Silahkan mulai...!" Dan pemuda ini bersiap memasang kuda-kuda baru.


***
EMPAT

SI GADIS baju kuning melangkah maju mendekati pemuda yang menjadi lawannya itu. Diparasnya yang cantik jelita terbayang rasa kebencian yang amat sangat. Ini cukup menyatakan bahwa dia memang bertekad bulat untuk habisi nyawa Mahesa Kelud. Lima langkah dari hadapan lawannya, murid si Cakar Setan lompatkan diri. Tubuhnya melesat. Bersamaan dengan itu dia hantamkan kaki kirinya ke arah dada. 

Mahesa berkelit ke samping sambil mengirimkan jotosan tangan kanan ke muka si gadis. Dengan sangat gesit gadis baju kuning itu memutar tubuhnya di udara. Jotosan si pemuda lewat dengan mengeluarkan suara angin bersiuran. Tanpa menunggu sampai kedua kakinya menjejak tanah si gadis yang tadi tendangannya hanya mengenai tempat kosong ini kembali pergunakan kaki kanan untuk menendang sedang selendang di tangan kanannya berkelebat ke kepala Mahesa Kelud.

Mahesa Kelud merunduk. Tubuhnya dimiringkan ke samping sedikit. Begitu tendangan lawannya lewat dia melompat dengan kedua tangan terulur ke muka coba hendak menangkap pinggang lawannya. Tapi si gadis tidak bodoh. Cepat dia lipatkan lutut kanan dan hantamkan ke kepala Mahesa. Melihat ini Mahesa cepat-cepat tarik pulang tangannya. Seperti satu pohon besar yang tumbang, murid Embah Jagatnata jatuhkan dirinya ke tanah, lalu bergulingan. 

Dan sambil bergulingan ini dia berusaha menangkap kaki kiri si gadis yang menjejak tanah. Tapi lebih cepat, dengan gesit si gadis melompat ke atas dan kebutkan selendangnya. Kebutan selendang hanya mengenai tempat kosong karena Mahesa sudah berlalu dan beberapa saat kemudian pemuda ini sudah berdiri di sebelah sana dengan bertolak pinggang. Diam-diam pemuda ini mengagumi kehebatan lawannya.

"Ilmu silatmu hebat, baju kuning!" memuji Mahesa Kelud. "Cuma sayang, mengapa kau keras kepala, tidak mau mendengar keterangan orang lebih dahulu?!"

"Jangan bermulut besar. Terima ini!" Si gadis memutarkan selendang kuningnya di atas kepala. Terdengar suara angin menderu. Tiba-tiba selendang itu melayang turun dengan deras ke arah pundak kanan Mahesa Kelud. 

Dengan tenang pemuda ini menyingkir ke samping kiri. Tidak terduga sambaran selendang dengan cepat berubah dan kini memapas ke perut Mahesa Kelud. Pemuda ini melompat ke belakang, si gadis memburu. Pada saat inilah Mahesa kelihatan berkelebat cepat dan tahu-tahu dia lenyap dari pandangan si gadis!

Murid si Cakar Setan penasaran. Dia gertakkan gerahamnya karena menyangka si pemuda yang menjadi musuh besarnya itu melenyapkan diri alias kabur ambil langkah seribu. Tapi alangkah terkejutnya ketika di belakangnya dia dengar suara orang yang diiringi suara tertawa mengejek. 

"Jangan kebingungan baju kuning! Aku ada di sini!"

Dengan cepat si gadis balikkan tubuh dan di hadapannya dilihat Mahesa Kelud berdiri bertolak pinggang, mengulum senyum mengejek. Mendidih darah gadis ini. Dengan cepat dia melompat ke muka dan kebutkan selendangnya. Tapi lagi-lagi dia dibikin kecele karena serangannya itu cuma mengenai tempat kosong.

"Aku di sini, di sampingmu! Mengapa menyerang angin?!"

"Pemuda rendah! Tunggulah! Sebentar lagi kupecahkan kepalamu!" bentak si gadis.

"Ah! Dari tadi kau cuma bilang sebentar lagi, sebentar lagi! Tapi buktinya kosong semua. Percuma kau jadi murid si Cakar Setan!"

"Setan alas! Jangan hina guruku!" Dengan amarah meluap si gadis baju kuning kirimkan serangan berantai yang cepat. Tubuhnya berkelebat. Tinju kiri, kebutan selendang dan tendangan kaki datang ganti berganti bahkan tak jarang secara berbarengan, bertubi-tubi seperti hujan!

Namun semua serangan itu, semua ilmu kepandaian yang dipelajarinya selama tahunan pada gurunya, sedikitpun tidak membawa hasil! Mahesa Kelud yang menjadi lawan gerakannya jauh lebih cepat dari dia sendiri sehingga tubuh si pemuda seakan-akan lenyap. Tak terasa lagi keduanya telah bertempur dua puluh jurus lebih!

Si gadis baju kuning menghentikan serangannya dengan tiba-tiba. Dia berdiri sembilan langkah di hadapan Mahesa Kelud. Diaturnya jalan nafas serta aliran darahnya dengan cepat sedang kedua matanya menyorot ganas pada si pemuda. Mahesa tetap berdiri di tempat dengan tenang dan masih saja mengulum senyum. Meskipun dia tahu bahwa murid si Cakar Setan itu bertekad bulat untuk habisi nyawanya. 

Namun untuk membenci dan melakukan serangan balasan yang dapat membuat cidera pada si gadis dia tidak sampai hati. Karena itu sengaja dipermain-mainkannya murid Cakar Setan itu. Mahesa memperhatikan bagaimana si gadis memindahkan selendang kuning yang di tangan kanannya ke tangan kiri. Kemudian tangan kanan itu bergerak ke balik punggung. Dan sebatang pedang berwarna putih berkilauan kena sinar matahari kini tergenggam di tangan tersebut. Diam-diam Mahesa Kelud terkejut juga melihat senjata ini. Tapi dengan tersenyum dia berkata:

"Aha.... Seorang murid pendekar ternama tidaklah malu sampai memakai dua senjata untuk menghadapi seorang lawan yang bertangan kosong?!"

"Terhadap manusia busuk sepertimu tidak usah pakai segala peradatan persilatan! Yang penting kau harus mampus! Habis perkara!" bentak si gadis.

Habis membentak begitu tubuhnya melompat ke muka. Pedang di tangan kanan memapas ke kepala, selendang kuning menyambar ke dada sedang tendangan kaki kanan menghantam ke bawah perut! Benar-benar rangkaian serangan luar biasa dahsyat dan mematikan! Ketiga serangan itu mengeluarkan angin tajam yang bersiuran.

"Trang!"

Terdengar suara beradunya senjata. Si gadis merasakan tangan kanannya yang memegang pedang tergetar keras. Selendangnya menghantam tempat kosong, demikian juga tendangannya. Dan sesaat kemudian di muka sana dilihatnya Mahesa Kelud jungkir balik lantas berdiri dengan cepat, memasang kuda-kuda sedang di tangan kanannya sudah tergenggam sepucuk pedang berwarna kuning. Pedang Naga Kuning! Si gadis sampai tidak dapat melihat sama sekali bagaimana cepatnya si pemuda mengambil pedang tersebut.

Melihat pedang gurunya di tangan lawan semakin memuncaklah amarah si gadis. Tak menunggu lebih lama lagi dia segera menyerang kembali. Dua tubuh berkelebat cepat. Pedang putih dan selendang kuning menggempur pedang kuning. Tapi gempuran itu menemui jalan buntu karena si pemegang pedang kuning pagi-pagi sudah putar senjatanya sedemikian rapat sehingga tidak memberikan kesempatan sama sekali bagi lawannya.

Ketika dia kena didesak hebat, diam-diam si gadis memaklumi bahwa sampai seratus jurus di muka, meskipun dia keluarkan semua ilmu simpanannya namun dia tak akan sanggup menghadapi lawannya. Hatinya meradang karena dia tidak bisa menuntut balas melepaskan sakit hatinya terhadap pemuda ini yang diketahuinya sebagai pembunuh gurunya, yang telah mencuri pedang Naga Kuning dan surat rahasia!

Sudah lama dia kuntit pemuda ini. Ketika bertemu ternyata dia tidak sanggup menghadapinya! Si gadis akan merasa sangat penasaran bila dia tidak sanggup sekurang-kurangnya untuk memberikan sedikit hajaran pada lawannya yang tangguh itu. Lantas saja dia menyerang kembali. Dia keluarkan satu tipuan hebat yang oleh gurunya digelari dengan "undur-undur menyeret mangsa”. 

Pedang dan selendang berputar siam, berdengung suaranya tak ubahnya seperti sepasang undur-undur di dalam lobang yang tengah menjebak seekor semut atau binatang kecil lainnya. Mahesa Kelud kagum juga dengan kehebatan serangan ini. Dia putar pedangnya ke arah dada, antara siuran selendang dan pedang lawan, tapi mendadak sontak serangan si gadis berubah dengan sangat cepat. 

Namun demikian pemuda berkepandaian tinggi ini tidak menjadi gugup. Dia geser kedua kakinya. Tubuhnya miring ke kanan. Ujung pedang dikirimkannya ke tenggorokan lawan tapi tidak terus untuk menusuk melainkan diputarkan seperti gasing. Angin keras yang keluar dari ujung pedang itu menutup lobang hidung si gadis, membuat nafasnya menjadi sengal! Cepat-cepat dia papaskan pedangnya pada senjata lawan.

"Trang!"

Untuk kesekian kalinya senjata masing-masing beradu keras mengeluarkan suara nyaring dan memercikkan bunga api. Dalam saat yang sama untuk menghindarkan lawan mengirimkan serangan susulan, si gadis kebutkan selendangnya ke muka si pemuda tapi tidak diduganya sama sekali tangan kiri Mahesa Kelud bergerak cepat dan berhasil memegang ujung selendangnya! Si gadis terkejut, kini terjadilah hal yang menegangkan.

Pedang masing-masing yang tadi saling beradu kini masih menempel satu sama lain dengan ketat. Dorong mendorong terjadi. Sementara itu tangan-tangan kiri mereka saling tarik-tarikan selendang kuning! Si gadis kerahkan tenaga dalamnya yang ampuh pada kedua tangannya. Namun dengan sangat cepat tenaga dalam lawan yang lebih hebat berhasil mendorong tenaga dalamnya. Keringat dingin bercucuran di wajah si baju kuning itu. 

Sebaliknya di lain pihak Mahesa Kelud cuma senyum-senyum. Dia dapat memastikan bahwa selendang si gadis akan kena dirampasnya. Mengetahui bahwa tenaga dalamnya berada jauh di bawah si pemuda maka cepat-cepat murid Cakar Setan lepaskan selendangnya. 

Dia terpaksa lakukan ini. Kehilangan selendang adalah lebih baik daripada dia harus mendapatkan kerusakan hebat dalam bagian tubuhnya akibat bentrokan dengan tenaga dalam lawan. Dengan satu lompatan cepat gadis itu kemudian mundur ke belakang. Selendangnya kini berada dalam tangan Mahesa Kelud.

"Pemuda terkutuk! Kalau aku terpaksa harus pergi saat ini jangan sangka aku mengaku kalah terhadapmu! Satu hari aku akan datang lagi untuk menyelesaikan perhitungan kita saat ini!"

Mahesa Kelud tertawa. Ketika dilihatnya gadis itu memutar tubuh, dia berseru. "Hai, baju kuning! Mengapa cepat-cepat? Ini selendangmu, ambillah kembali!" 

Tapi si gadis tidak perdulikan seruan itu. Dia lari dengan mempergunakan ilmu lari cepat "kijang dewa". Mahesa Kelud menggeleng-gelengkan kepalanya. Selendang kuning yang di tangan kirinya diputar-putarkan di atas kepala lalu dilepas dengan tiba-tiba. Meskipun cuma sehelai selendang dari kain biasa namun orang yang melemparkannya bertenaga dalam tinggi maka selendang itu melesat laksana anak panah ke arah si gadis. 

Murid si Cakar Setan terkejut bukan main ketika merasakan suatu benda menyambar ke lehernya. Ketika diraba dan dilihatnya ternyata benda itu adalah selendang sendiri yang tadi kena dirampas Mahesa dan kini melingkar di lehernya. Sambil lari terus dia menoleh ke belakang dan dilihatnya Mahesa Kelud melambaikan tangan sambil senyum-senyum. 

Si gadis geramnya bukan main. Dia meludah ke tanah dan lari terus. Mahesa Kelud bimbang seketika sebelum dia ambil keputusan. Dengan cepat pedang Naga Kuning di tangannya dimasukkannya ke balik punggung pakaian lalu dengan mempergunakan ilmu lari "kaki angin" dia segera susul gadis itu. Dia tidak tahu bahwa tindakannya ini akan melibatkannya pada suatu peristiwa besar dikemudian hari.


***
LIMA

GADIS berbaju kuning, murid almarhum si Cakar Setan tidak tahu kalau dirinya diikuti orang. Dia lari terus dengan cepat. Kira-kira beberapa ratus tombak di belakangnya menyusul Mahesa Kelud. Pemuda ini kalau mau bisa susul si gadis tapi dia ingin tahu ke mana si cantik tersebut pergi maka dia mengejar diam-diam. Meski larinya cepat namun tidak sedikitpun mengeluarkan suara. Bahkan kedua kakinya itu seakan-akan tidak pernah menyentuh tanah.

Ketika sampai kesatu puncak bukit hari sudah rembang petang. Jauh di kaki bukit sebelah timur kelihatan sebuah kampung. Gadis yang dibuntutinya lari ke jurusan kampung ini dan Mahesa mengikuti terus. Agaknya telah terjadi sesuatu di kampung ini. Si gadis menghilang di balik kelokan jalan. Waktu Mahesa sampai di kelokan jalan maka di ujung sana, di hadapan sebuah rumah kajang beratap rumbia kelihatanlah beberapa sosok tubuh manusia bergelimpangan. 

Si gadis baju kuning terkejut bukan main. Dia hentikan larinya di hadapan manusia yang bergelimpangan itu. Mukanya menjadi pucat pasi. Semua orang yang menggeletak di tanah sudah tidak bernyawa lagi. Di tubuh mereka kelihatan bekas tusukan-tusukan serta bacokan-bacokan senjata tajam. Pakaian mereka basah oleh darah!

Tanpa menunggu lebih lama si gadis segera memutar tubuhnya dan lari ke dalam rumah. Begitu dia menghilang di balik pintu maka Mahesa Kelud sampai pula di hadapan manusia-manusia yang terbujur di tanah itu. Dan belum lagi beberapa lama dia berdiri di sana maka dari dalam rumah di dengarnya suara jeritan melengking.

"Ibu...!"

Mahesa terkejut. Kedua alis matanya menaik. Dia memandang ke arah rumah. Terdengar lagi suara jeritan perempuan memanggil ibunya. Dengan segera pemuda ini berlari masuk ke dalam rumah tersebut. Di sini pemandangan lebih mengerikan lagi. Gadis baju kuning tadi dilihatnya memangku mayat seorang perempuan separuh baya yang pakaiannya bermandikan darah. Bahu kirinya hampir putus oleh bacokan senjata.  

Si gadis baju kuning seperti orang gila menggoyang-goyang tubuh yang sudah tidak bernafas itu sambil tiada hentinya menangis dan memanggil-manggil ibu... ibu...."Ibu... apa yang telah terjadi? Siapa yang melakukan semua ini? Siapa?! Ibu, katakanlah!" si gadis goyang-goyangkan lagi mayat perempuan itu.

"Ibumu tak akan bisa menjawab.... Kasihan dia, baringkan di atas balai-balai sana dan jangan digoyang-goyang seperti itu...."

Seperti mendengar suara halilintar, demikianlah terkejutnya si gadis ketika mendengar suara tersebut. Dia putarkan kepala dengan cepat dan pandangannya membentur sosok tubuh Mahesa Kelud. Serta merta dibaringkannya kepala ibunya di lantai lalu gadis ini melompat bangkit. Seraya cabut pedangnya dia memaki.

"Pemuda keparat! Berani-beranian kau ikuti aku?! Bangsat! Kau benar-benar minta mampus! Terima ini." Bersamaan dengan itu si gadis segera babatkan pedangnya ke arah kepala Mahesa Kelud. 

Dengan cepat Mahesa Kelud menghindar ke samping. Dia berkata: "Gadis baju kuning, urusan kita bisa ditunda dulu. Sebaliknya mari kita urus mayat ibumu dan usut apa yang telah terjadi serta siapa yang telah melakukan ini semua."

Si gadis begitu serangannya mengenai tempat kosong segera hendak melayang lagi, tapi ketika mendengar kata-kata yang diucapkan Mahesa Kelud tadi yang dirasakannya memang betul, maka dia menjadi bimbang. Pedangnya yang tadi naik ke atas siap untuk dibacokkan perlahan-lahan diturunkan ke sisinya. Kaki tangan serta sekujur tubuhnya menjadi lemas. Pada detik itulah terdengar satu suara yang sangat pelahan, antara terdengar dan tiada yang sama-sama mengejutkan si gadis dan Mahesa Kelud.

"Benar, Wulan.... Apa yang dikatakan pemuda itu memang benar...." 

Mahesa dan si gadis sama memutar kepala dan terdengarlah jerit si gadis: "Paman Menggala! Kau...!" Gadis itu melompat dan menjatuhkan dirinya di sudut rumah di mana terhantar seorang laki-laki tua berambut putih. Keadaannya lebih menderita dari ibu si gadis. Pakaiannya penuh darah dan luka-luka bekas tusukan pedang serta golok. Dikarenakan dia memiliki ilmulah yang menolongnya sampai saat itu masih sanggup bernafas, meskipun dengan sengal-sengal megap tanda umurnya tidak akan lama lagi.

"Paman! Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan semua ini...?!"

Di kala ajal hendak meregang, laki-laki tua itu masih bisa melontarkan sekelumit senyum pada keponakannya. "Syukur, syukur kau datang Wulan. Dengar Wulan... yang melakukan ini adalah Adipati Suto Nyamat beserta kaki-kaki tangannya Lima Brahmana sesat.... Mereka...."

Kulon Menggala cuma bisa bicara sampai di situ. Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang meninggalkan raga. Seperti orang gila si gadis menjerit dan menghunus kembali pedangnya yang tadi sudah disarungkan. Dia lari ke pintu: "Suto Nyamat keparat! Kucincang kau...!"

Mahesa Kelud cepat pegang lengan kiri gadis itu. "Wulan," katanya. "Ingat jangan bertindak ceroboh dan gila seperti ini!"

Sebagai jawaban Wulansari menyerang pemuda itu dengan hebatnya. Mahesa berkelebat cepat. Pedang di tangan gadis menghantam dinding kajang di sampingnya dan bobol besar. Si gadis memburunya dan kirimkan serangan ganas untuk kedua kalinya. Kali ini Mahesa Kelud bertindak cepat. Sekali dia menggerakkan tangan kanannya maka dia sudah berhasil merampas pedang Wulansari.

"Wulan! Ingatlah...!"

Nafas si gadis memburu. Dadanya turun naik. Dia memandang ke pedangnya yang kini berada di tangan Mahesa Kelud, lalu memutar tubuh dan menangis sesenggukan. Mahesa menjadi kebingungan tak tentu apa yang diperbuat. Sejurus kemudian dia keluar dari rumah dan masuk ke rumah tetangga yang terdekat. 

Di dalam rumah ini seorang nenek-nenek ditemuinya tengah memeluk dua orang anak yang masih kecil-kecil, mungkin sekali cucunya. Diparas si nenek yang tua keriputan jelas terbayang rasa ketakutan yang amat sangat. Nenek dan cucu-cucunya sama terkejut dan membelalak ketika melihat ada orang masuk.  Mereka menyangka Mahesa adalah kaki tangan Adipati yang kejam buas.

"Nenek, tak usah takut. Orang-orang jahat itu sudah pergi semua. Di luar sana, di jalanan, banyak mayat-mayat bergelimpangan. Tolonglah bantu aku memberitahukan tetangga-tetangga agar kita semua bisa mengurus jenazah-jenazah tersebut."

Si nenek memandangi Mahesa Kelud sejurus lamanya kemudian mengangguk. Tak lama kemudian setelah dipanggil, penduduk-penduduk kampung yang tadinya mendekam di dalam rumah masing-masing baru datang berbondong-bondong. 

Maka hebohlah isi kampung itu. Ada yang menjerit, ada yang menangis ketika melihat sanak saudara atau anak-anak mereka yang mati bergelimpangan di jalan akibat kekejaman Adipati Suto Nyamat dan kaki-kaki tangannya. Jenazah-jenazah yang tak berdosa itu diangkat dan dibawa ke rumah masing-masing. 

Mahesa dengan bantuan beberapa orang penduduk segera mengurus jenazah ibu dan paman Wulansari. Sementara semua orang sibuk hanya gadis itu sendiri duduk bingung tak tahu apa yang hendak diperbuat. Sekujur tubuhnya lemah lunglai tiada daya namun di dalam hatinya berkobar dendam kesumat yang tiada taranya. Sejak dia diambil murid oleh si Cakar Setan, maka selama beberapa tahun dia tidak pernah bertemu atau menyambangi ibu serta pamannya itu. 

Ketika dia baru punya kesempatan untuk datang menjenguk tahu-tahu yang ditemuinya hanyalah ibu serta pamannya yang tengah meregang nyawa! Ayah dia juga sudah tidak punya karena dibunuh oleh bangsat-bangsat Kadipaten tukang fitnah ketika dia masih kecil. Kini dia menyadari bahwa dia hidup sebatang kara di dunia ini, yatim piatu tidak punya ayah tidak punya ibu. Mengingat ini kembali Wulansari menangis tersedu-sedu.


***
ENAM

SEBELUM kisah dilanjutkan sebaiknya lebih dulu kita buka lembaran riwayat hidup keluarga Wulansari di masa lampau. Ayah gadis ini bernama Jarot Singgih, berasal dari keturunan orang kebanyakan juga. Tapi ketika dia menjabat kedudukan sebagai orang besar yaitu menjadi wakil Bupati Madiun dan ditambahkan gelar kepadanya maka dia kemudian disebutkan orang Raden Mas Jarot Singgih. 

Tak selang berapa lama Bupati Madiun meninggal dunia. Sebagai wakil maka dengan sendirinya Raden Mas Jarot Singgih yang akan memangku jabatan Bupati Madiun. Tapi malang akan tiba, malapetaka akan datang maka muncullah seorang tukang fitnah besar!

Pada masa itu yang memerintah di Pajang adalah Pangeran Adiwijaya. Daerah kekuasan Pajang sangat luas sehingga Adiwijaya tak bisa meneliti dan memperhatikan daerah-daerah yang jauh yang berada di bawah tangannya.  Untuk ini maka diangkatlah beberapa orang Bupati di kota-kota besar seperti Tuban, Gresik, Pati, Demak, Pemalang, Blitar, Banyumas, Kedu, serta Madiun.

Bagaimana sifat dan cara Bupati-bupati itu menjalankan tugas tidak pula diperhatikan oleh Adiwijaya. Segala sesuatunya dipercayakan kepada mereka, diserahkan kepada mereka, termasuk urusan mengenai keamanan dan kesejahteraan rakyat. Justru inilah yang kemudian menimbulkan munculnya golongan-golongan penjilat tukang fitnah, berhati busuk bermulut penghasut. 

Mereka ini adalah segolongan pembesar-pembesar yang dekat dengan Sri Baginda Pangeran Adiwijaya yang tak segan-segan memeras bahkan mengorbankan nyawa rakyat untuk mengeruk keuntungan sendiri. Mereka juga tidak segan-segan melancarkan fitnah terhadap kawan sendiri demi mendapatkan pangkat tinggi dan kedudukan empuk!

Adiwijaya, sebagai seorang raja muda sama sekali tidak menyadari bahwa banyak dari pembesar-pembesar istana yang dekat dengan dia adalah manusia-manusia kintel penjilat dan pemfitnah serta korup!

Salah seorang dari pembesar yang termasuk golongan seperti yang kita sebutkan di atas itu adalah Suto Nyamat. Sebagai seorang yang rapat dengan Sri Baginda maka oleh raja Pajang itu dia pernah dijanjikan untuk diberikan jabatan sebagai seorang Bupati. Setelah ditunggu lama masih juga belum ada pengangkatan dari Baginda. Kemudian terbetiklah kabar bahwa Bupati Madiun meninggal dunia. Ini suatu kesempatan besar bagi Suto Nyamat untuk menjadi pengganti. 

Tapi celakanya Baginda memutuskan bahwa Jarot Singgih, yang dulu menjadi wakil Bupati Madiun yang akan diangkat sebagai pengganti. Bukan main geramnya Suto Nyamat. Lagi pula memang dia sudah lama dengki iri hati terhadap Jarot Singgih karena Jarot Singgih terkenal sebagai seorang pembesar jujur dan baik.

Suto Nyamat mencari akal. Mau tidak mau dia harus menjadi Bupati Madiun dan singkirkan Jarot Singgih. Maka dilancarkannyalah fitnah busuk beracun. Pada masa itu memang terdapat banyak Bupati-bupati yang menentang dan memberontak terhadap Raja Pajang Adiwijaya. 

Suatu hari datanglah Suto Nyamat menghadap Adiwijaya memberikan laporan yang tak lain dari pada fitnah belaka. Diterangkannya bahwa Jarot Singgih diam-diam tengah menyusun balatentara bersiap-siap untuk memberontak kepada Pajang. Adiwijaya tidak menyelidiki kebenaran laporan itu dan celakanya dia percaya saja bahkan memberikan wewenang kepada Suto Nyamat untuk menumpas kaum pemberontak Madiun itu dan menangkap Jarot Singgih.

Dengan sepasukan besar balatentara kerajaan maka berangkatlah Suto Nyamat ke Madiun. Hari itu Madiun banjir darah. Penduduk yang tak berdosa dibunuhi. Adipati Jarot Singgih yang disuruh tangkap hidup-hidup juga dibunuh tanpa  kemanusiaan oleh Suto Nyamat. Adipati ini atau ayah Wulansari mati secara mengerikan. 

Tubuhnya penuh dengan bacokan pedang serta golok dan tusukan tombak. Wajahnya hancur luluh tak bisa dikenali! Masih untung bagi isteri sang Adipati yang sempat lari menyelamatkan diri bersama anaknya dan seorang kakak laki-lakinya yaitu Menggala. Ketiga orang ini bersembunyi dan diam di satu rumah kecil di kampung yang terletak dikaki bukit subur. 

Kaki-kaki tangan Suto Nyamat terus mencari mereka tapi tidak berhasil menemukan. Suto Nyamat berhasil mencapai cita-citanya. Dia diangkat oleh Adiwijaya menjadi Bupati Madiun. Tapi seisi Madiun tahu bahwa kursi kebesaran Kadipaten yang didudukinya berlumur dengan darah Jarot Singgih dan darah rakyat jelata yang dibunuhnya tanpa dosa, karena ingin jabatan dan kuasa semata!

Menggala, paman Wulansari kenal baik dengan pendekar kenamaan yang digelari si Cakar Setan. Ketika Menggala hendak menyerahkan keponakan satu-satunya itu kepada pendekar tersebut, ibu Wulansari melarang keras.

"Wulan seorang perempuan, Mas. Tak perlu segala macam ilmu begituan," kata perempuan itu.

Menggala tertawa mendengar ucapan adiknya. "Justru karena dia seorang perempuanlah maka dia lebih perlu belajar silat. Kau tahu, dunia ini kini penuh dengan manusia-manusia jahat berhati kotor! Kau agaknya tidak ingat,  karena tidak punya kepandaian silatlah sampai suamimu menemui ajalnya di tangan Suto Nyamat keparat itu! Aku ingin melihat keponakanku menjadi seorang yang perkasa meskipun dia cuma seorang perempuan! Lagipula selama Suto keparat itu masih hidup, maka selama itu pula kaki-kaki tangannya akan mencari kita, berarti selama itu pula bahaya tetap mengancam kita...."

"Kalau aku boleh tanya, Mas," memotong ibu Wulansari. "Mengapa kau sendiri sebagai laki-laki tidak belajar ilmu silat?"

"Itu adalah kesalahan orang tua kita sendiri yang tak mau menyerahkan kita pada seorang pandai atau seorang guru," jawab Menggala.

"Jika demikian mengapa tidak kau saja kini yang pergi berguru pada si Cakar Setan itu?"

Laki-laki itu tersenyum. "Jika ingin belajar ilmu silat luar dalam harus sedari kecil. Sudah tua dan ubanan serta sakit-sakitan sepertiku ini mana bisa? Otot-otot sudah pada kaku, tenaga sudah kendor!"

Akhirnya ibu Wulansari mengalah. Maka diantarlah Wulansari ke tempat kediaman si Cakar Setan. Sejak itu, selama bertahun-tahun sampai menjadi seorang gadis muda remaja Wulansari menjadi salah seorang murid pendekar kenamaan si Cakar Setan.


***

Sesudah semua jenazah termasuk jenazah ibu Wulansari dan pamannya dikebumikan, maka dari beberapa orang penduduk, gadis yang malang itu serta Mahesa Kelud mendapat keterangan mengenai peristiwa berdarah yang melanda kampung mereka itu. Menjelang tengah hari, serombongan pasukan berkuda memasuki kampung Banjaran, kampung Wulansari. Rombongan ini tak lain adalah pasukan Kadipaten yang dipimpin langsung oleh Adipati Suto Nyamat. 

Bersama mereka terlihat pula lima orang berjubah putih berkepala botak yang tak lain dari pada Lima Brahmana sesat yang cukup menggetarkan dunia persilatan karena ilmu mereka yang hebat. Maksud mereka datang ke kampung Banjaran itu ialah untuk menangkap Menggala, paman Wulansari atau kakak laki-laki dari ibu si gadis. 

Rupanya Adipati Suto Nyamat berhasil juga mencari tahu di mana bersembunyinya sisa-sisa keluarga mendiang Raden Mas Jarot Singgih. Dan baginya, selama sisa-sisa keluarga Jarot Singgih masih hidup maka ini adalah merupakan bahaya besar. Keluarga itu harus ditumpas dimusnahkan sebelum mereka angkat senjata untuk balas dendam. 

Suto Nyamat kemudian mengajak Lima Brahmana berkepala botak untuk membantu dia membikin beres Menggala. Pasukan Kadipaten Madiun di bawah pimpinan Suto Nyamat membanjir memasuki rumah kecil di mana Menggala dan adik perempuannya tinggal. Menggala melawan mati-matian ketika dia hendak di tangkap. Maka terjadilah pertempuran yang dahsyat. 

Di samping Suto Nyamat sendiri memiliki ilmu yang tinggi maka kelima Brahmana yang mendampinginya adalah lebih berbahaya lagi. Tentu saja mereka semua bukan tandingan Menggala, ditambah pula dengan prajurit-prajurit Kadipaten yang rata-rata juga memiliki kepandaian silat. Meskipun demikian, Menggala berusaha bertahan bahkan coba mengirimkan serangan balasan kepada musuh-musuhnya itu. 

Tapi sia-sia belaka. Di antara kecamuknya suara senjata maka terdengarlah suara jeritan melengking yang menyayat hati. Jeritan seorang perempuan! Menggala meloncat mundur dan palingkan kepala. Bukan main terkejutnya pendekar tua itu ketika melihat adik kandungnya menggeletak di lantai rumah dalam keadaan mandi darah. Bahu kirinya hampir putus akibat babatan pedang seorang prajurit Kadipaten. Melihat ini maka mengamuklah Menggala. Golok besar yang menjadi senjatanya membacok kepala prajurit yang membunuh adiknya sampai terbelah dua!

"Kurung rapat!" teriak Suto Nyamat ketika melihat Menggala mengamuk seperti banteng terluka dan keluarkan ilmu simpanannya. 

Tak sampai beberapa jurus di muka maka akhirnya robohlah Menggala. Orang-orang kampung Banjaran yang melihat peristiwa itu yang menyangka bahwa manusia-manusia jahat yang datang itu adalah gerombolan rampok segera lari ke rumah Menggala untuk memberikan bantuan. Akan tetapi maksud suci mereka ini harus mereka bayar dengan korbankan nyawa. 

Pasukan-pasukan Kadipaten Madiun bukan lawan mereka, apalagi Suto Nyamat serta kelima Brahmana. Meskipun manusia-manusia penimbul malapetaka itu sudah lama pergi tapi orang-orang kampung masih saja bersembunyi di rumah masing-masing karena ketakutan, terutama kaum perempuan serta anak-anak.


***
TUJUH

SIANG berganti dengan malam. Terang berubah menjadi gelap. Di dalam rumah Wulansari suasana berkabung kelihatan dengan nyata. Sampai saat itu Mahesa Kelud masih berada di sana diantara para tetangga yang datang menjenguk. Meskipun dia berada lama di rumah tersebut tapi boleh dikatakan Mahesa tidak bicara barang sepatahpun dengan Wulansari. 

Diam-diam pemuda itu perhatikan si gadis. Meskipun parasnya kini kuyu dan kedua matanya sembab karena menangis namun kecantikan asli yang dimiliki Wulansari tetap terlihat dengan nyata. Tak jarang ketika tengah memperhatikan Wulansari, si gadis memandang pula kepadanya sehingga sepasang mata mereka saling beradu. Dan kalau sudah begitu Wulansari cepat-cepat membuang muka.

"Apakah dia masih membenciku...?" tanya Mahesa Kelud dalam hati.

Di malam di mana suasana berkabung itu, tiada terduga datanglah seorang tamu perkasa. Begitu sosok tubuh si tamu muncul di ambang pintu maka berteriaklah Wulansari.

"Kakek...!" Gadis ini bangkit dari duduknya dan lari menubruk tamu yang baru datang lalu memeluknya dan menangis tersedu-sedu. "Kakek Sentot... malapetaka menimpa kita." kata si gadis dengan terputus-putus antara sedu sedannya. "Ibu serta paman mati di bunuh bangsat Suto Nyamat!"

Si kakek usap-usap rambut gadis itu lalu membimbingnya kembali ke tempat duduk. "Aku tahu... aku tahu cucuku," kata si kakek sambil memandang berkeliling. 

Mahesa memperhatikan orang ini. Perawakannya sedang, meskipun sudah tua tapi masih kekar. Kedua matanya kecil namun tajam sedang rambutnya yang seharusnya sudah putih tapi kelihatan masih hitam. Kemudian terdengar suara si kakek kembali, 

"Sudahlah Wulan, apa yang sudah berlalu biar berlalu. Yang harus kita pikirkan adalah persoalan mendatang. Walau bagaimanapun kita harus bikin perhitungan dengan Suto Nyamat serta kaki-kaki tangannya. Tapi kita harus sadari pula bahwa Suto Nyamat dan kawan-kawannya bukan orang sembarangan. Karena itu Wulan, kau harus ikut ke tempat kediamanku di hutan Bangil untuk kuberikan tambahan ilmu silat. Pelajaran yang kau terima dari si Cakar Setan masih belum berarti untuk dipakai menghadapi Suto Nyamat serta kawan-kawannya. Suto Nyamat sendiri mungkin masih mampu kita hadapi, tapi kawan-kawannya. Mereka rata-rata orang-orang pandai tingkat tinggi!"

"Tapi kakek... tanah kubur ibu dan paman masih merah. Tidak tega bagi saya untuk meninggalkannya." ujar Wulansari sambil menyeka air matanya.

"Aku dapat mengerti kau punya perasaan cucuku dan aku bangga punya cucu seperti kau. Tapi untuk diam lebih lama di sini bisa berbahaya. Jika Suto Nyamat dan kawan-kawannya mengetahui bahwa ada turunan Jarot Singgih yang masih hidup, mereka pasti akan bunuh kau...."

"Ucapan kakekmu itu memang benar, Wulan. Kau harus menyingkir dari sini sampai tiba saatnya untuk balas dendam...." kata satu suara pula.

Si gadis palingkan kepala ketika mendengar suara itu dan parasnya yang jelita berubah dengan seketika menjadi bengis ketika dia melihat siapa adanya orang yang bicara.

"Pemuda tidak tahu diri!" bentaknya seraya melompat dan cabut pedangnya dari balik punggung. 

Orang banyak yaitu para tetangga yang berada di ruangan menjadi terkejut dan singkirkan diri. "Apa urusanmu maka kau masih mendekam di sini?! Jangan ambil tampang dan jual muka di hadapan orang banyak!" 

Wulansari papaskan pedangnya ke muka Mahesa Kelud. Orang-orang perempuan berpekikan sedang si pemuda cepat-cepat hindarkan diri ke samping. Si kakek juga tidak kurang terkejut ketika melihat cucunya mencabut pedang dan menyerang seorang pemuda bertampang keren yang ada di ruangan tersebut.

"Wulan! Tahan! Apa-apaan kau ini...!" seru si kakek. Dan dengan satu lompatan yang cepat serta enteng tahu-tahu dia sudah berada di hadapan si gadis.

"Kakek, minggirlah!" teriak Wulansari. "Kau tidak tahu siapa adanya pemuda laknat itu!"

"Siapa dia?!" tanya Sentot Bangil.

"Dialah yang telah membunuh si Cakar Setan, guruku! Dia juga merupakan maling besar pencuri pedang Naga Kuning serta surat rahasia milik guru!"

Mendengar ini Sentot Bangil terkejutnya bukan main. Dia segera mencabut senjatanya yakni sebatang golok panjang berhulu perak. Kakek dan cucu kemudian melangkah ke hadapan Mahesa Kelud.

"Orang tua, biarkan aku bicara dulu!" kata Mahesa cepat.

"Tutup mulut busukmu, keparat! Sebentar lagi kepalamu akan pisah dengan badan!" semprot Wulansari dan untuk kedua kalinya dia kirimkan serangan pedang putihnya yang kini menusuk ke dada kiri Mahesa.

Untuk kedua kalinya pula si pemuda mengelak cepat menghindarkan serangan itu. Si gadis yang sudah naik pitam dengan ganas melancarkan serangan susulan. Karena ruangan itu sempit dengan jungkir balik Mahesa Kelud masih sanggup menyelamatkan diri dari serangan yang mematikan itu.

"Kakek!" seru Mahesa sekali lagi. "Tahan cucumu yang kalap itu! Biarkan aku bicara dulu!"


***

Melihat bagaimana Mahesa Kelud dengan cekatan berhasil menyelamatkan diri dari serangan cucunya yang berbahaya tadi maka diam-diam si kakek menjadi kagum. Pemuda ini tentunya murid seorang sakti berilmu tinggi, pikirnya. Rupanya antara si pemuda dan Wulansari ada sesuatu yang tidak beres. Dia pegang bahu cucunya dan berkata, "Wulan, tahan dulu seranganmu, biarkan dia bicara!"

"Kakek Sentot! Perlu apa mendengarkan manusia pembunuh dan maling bejat ini?!" tukas Wulansari.

"Cucumu salah sangka kakek!" kata Mahesa pula. "Karena itu biar aku terangkan segala-galanya!"

"Jangan perdulikan dia! Dia pendusta besar!" teriak si gadis.

Si kakek tarik tubuh cucunya ke belakang lalu berkata pada Mahesa: "Bicaralah apa yang kau mau bicarakan. Tapi bila omonganmu hanya dusta dan palsu belaka, kau harus mampus di ujung golokku, mengerti?!"

"Sebelum aku beri keterangan, bolehkan aku tahu dengan siapa aku berhadapan?" tanya Mahesa.

Si kakek menyeringai. Hatinya mulai tertarik dengan pemuda yang tahu peradatan ini. "Anak muda," katanya, "Orang-orang memanggil aku Pendekar Budiman. Kau boleh panggil aku dengan sebutan itu...."

Mau tak mau Mahesa Kelud menjadi terkejut ketika mendengar gelar yang dikatakan si kakek itu. Ketika masih digembleng oleh Embah Jagatnata sang guru pernah menerangkan kepadanya bahwa di hutan Bangil diam seorang kakek sakti yang pada masa mudanya pernah mengelana di delapan penjuru angin untuk memberikan pertolongan pada rakyat jelata yang kesusahan dan tertindas, untuk membasmi manusia-manusia jahat yang bertebaran di sana sini. Karena itu dia kemudian mendapat gelaran "Pendekar Budiman". Dan tak disangka sama sekali kalau kini Mahesa berhadapan dengan jago tua yang namanya pernah menghiasi halaman emas dari kalangan dunia persilatan itu.

Cepat-cepat si pemuda menjura beri hormat seraya berkata: "Harap dimaafkan kalau aku telah bertindak gegabah. Tak tahunya tengah berhadapan dengan seorang gagah!"

Sentot Bangil alias Pendekar Budiman menjadi lebih tertarik. Dia balas bertanya: "Kau sendiri siapa, anak muda? Kau datang dari mana dan siapa gurumu?"

Mahesa Kelud tersenyum: "Namaku Mahesa Kelud, aku datang dari gunung Kelud dan hanya seorang pemuda gunung yang bodoh...."

Sementara itu Wulansari yang menjadi gemas karena kakeknya bicara ramah tamah dengan musuh besarnya segera putar tubuh dan pergi duduk ke tempatnya semula. Sentot Bangil yang tahu kalau pemuda itu merendahkan diri tak mau bertanya lebih lanjut. Dia berkata: "Aku menunggu keteranganmu Mahesa."

Si pemuda memandang berkeliling, melirik sekilas pada Wulansari baru membuka mulut. "Pendekar Budiman, aku tidak menyalahkan kalau cucumu salah sangka terhadapku. Jika seandainya aku menjadi murid si Cakar Setan dan menemui seseorang lain yang berada dalam keadaanku, maka aku pasti akan tuduh orang lain itu sebagai pembunuh dan maling busuk! Tapi dengan adanya kesempatan bagiku untuk memberikan keterangan kuharap segala sesuatunya nanti akan menjadi jernih...."

Mahesa Kelud kemudian memberikan keterangan mulai dia melihat nyala pelita yang keluar dari sebuah pondok... menemui si Cakar Setan yang tengah meregang nyawa... sampai kepada pertempuran dengan Warok Kate.

"Satu soal kini menjadi jelas bagi Pendekar dan cucumu bahwa bukan aku tapi Warok Kate-lah yang telah membunuh si Cakar Setan," ujar Mahesa.

"Kau bisa saja jual omongan kosong di hadapan kami!" tukas Wulansari tiba-tiba. "Siapa tahu bahwa kaulah yang membunuh guru dan Warok Kate datang untuk membantu dia tapi tak sanggup hadapi kau!"

Merahlah air muka Mahesa Kelud mendengar kata-kata itu. Tapi dia berusaha untuk menenangkan diri. Dia berkata: "Demi kehormatanku aku bersumpah bahwa aku tidak memberikan keterangan palsu kepada kalian!"

Pendekar Budiman yang sementara itu berdiam diri saja kini angkat bicara, mengajukan pertanyaan, "Lantas, kalau bukan kau yang membunuh si Cakar Setan, apa perlunya kau curi pedang Naga Kuning milik laki-laki itu. Dan mengapa kau ambil pula surat rahasia yang ada di dalam pedang?!"

"Sudahlah, kakek Sentot!" memotong Wulansari sambil berdiri dari duduknya. "Mengapa kita harus bicara panjang lebar dengan cecunguk ini! Kita bereskan saja dia saat ini juga!"

Bukan main jengkelnya Mahesa Kelud dikatakan "cecunguk" seperti itu. Untung saja dia masih sanggup tahan hati. Kalau saja yang mengatainya itu bukan Wulansari seorang gadis jelita, tapi seorang laki-laki, tak perduli siapapun adanya, pasti dia sudah melompat ke muka dan tampar mulutnya.


***
DELAPAN

TANPA menoleh pada cucunya, Pendekar Budiman dari hutan Bangil berkata: "Duduklah kembali ke tempatmu, Wulan. Kita dengar dulu keterangan dan jawabannya. Jika memang dia bukan manusia yang bisa dipercaya dia tak akan bisa lari dari ujung golokku!" Si kakek melintangkan senjatanya di muka dada dan berkata pada Mahesa: "Jawab pertanyaanku tadi, anak muda."

"Dua pertanyaanmu itu, yang jelas mengandung tuduhan juga merupakan persoalan-persoalan yang harus kujernihkan." sahut Mahesa Kelud. "Kuambil pedang Naga Kuning milik si Cakar Setan bukanlah dengan maksud mencuri, tapi untuk maksud lain yaitu menghindarkan agar jangan senjata sakti itu jatuh ke tangan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Bukan tak mungkin Warok Kate kembali ke pondok si Cakar Setan dan mengambil senjata tersebut. Jika sampai demikian tentu nama si Cakar Setan dan murid-muridnya akan menjadi ternoda dalam kalangan persilatan. Lalu kuambil pedang itu. Aku yakin suatu ketika aku akan bertemu dengan salah seorang murid si Cakar Setan, mungkin juga Jaliteng. Dan kalau itu kejadian nanti, aku akan kembalikan pedang tersebut kepadanya...."

"Aku adalah seorang murid si Cakar Setan!" berkata Wulansari dengan suara keras. "Mengapa ketika aku minta senjata tersebut kau tidak mau berikan?!"

"Sebelum aku jawab pertanyaanmu," sahut Mahesa pula. "Aku akan ajukan satu pertanyaan lebih dahulu. Kalau kau seorang pendekar yang mengerti peradatan tata tertib sesama orang persilatan, apakah ketika kau meminta senjata tersebut kau telah memakai peradatan? Bahkan kau telah menyerang aku tanpa memberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan!"

"Oh, jadi aku harus berlutut dan menyembah atau meratap minta dikasihani padamu lalu baru kau mau berikan itu pedang? Cis! Sampai pisah kepala dengan badan aku tidak akan sudi!" kata Wulansari.

"Siapa yang suruh kau harus berlutut dan menyembah atau meratap?!" balik bertanya Mahesa Kelud. Pertanyaan ini membuat Wulansari menjadi merah kulit mukanya sampai ke telinga. "Yang aku inginkan ialah agar kau mengenal sedikit tata tertib sesama orang persilatan, tahu peradatan dan tahu menghormati, apalagi kau seorang gadis...."

"Sudah! Tutup mulutmu!" bentak Wulansari dengan gemasnya. Dengan mempersabar hatinya Mahesa memalingkan kepalanya kepada si kakek tua Pendekar Budiman. 

"Mengenai surat rahasia itu, memang aku juga yang mengambilnya, kutemui dalam gagang pedang Naga Kuning...." Mahesa kemudian memberikan keterangan lagi yaitu melanjutkan keterangannya yang pertama tadi. Diceritakannya bagaimana dia sampai ke Gua Iblis, lalu menjadi tawanan si Nenek Iblis, ditolong oleh Karang Sewu sampai akhirnya dia bisa menyelamatkan diri dari gua maut tersebut sesudah membereskan si Nenek Iblis.

Si orang tua yang mendengarkan keterangan Mahesa Kelud manggut-manggut sedang Wulansari tetap bermuka asam dan tak acuh. Berkata Pendekar Budiman: "Kalau kisahmu tidak satu kedustaan belaka, maka itu adalah satu kisah yang hebat sekali! Kalau aku boleh tanya, Mahesa, apa perlumu kemudian mengikuti cucuku sampai ke sini...?"

Mahesa menjadi gugup. Dia terdiam tak bisa berikan jawaban sedang air mukanya kelihatan berubah menjadi semu merah. Untung saja dia lekas mendapat akal dan memberikan jawaban untuk menutup rasa malunya. "Aku ingin meyakinkan bahwa dia adalah benar-benar murid si Cakar Setan sehingga jika seandainya aku memberikan pedang Naga Kuning itu nanti kepadanya, aku tidak akan kesalahan tangan."

Si kakek tua yang sudah punya pengalaman hidup puluhan tahun tersenyum mendengar jawaban pemuda itu. "Sekarang kau sudah yakin bahwa cucuku adalah benar-benar muridnya si Cakar Setan?"

Mahesa anggukkan kepala.

"Kalau begitu kembalikanlah pedang itu," kata Pendekar Budiman pula. 

Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud mengambil pedang Naga Kuning yang tersisip di belakang punggungnya dan memberikan senjata itu kepada si kakek. Pendekar Budiman menggelengkan kepalanya dan berkata,

"Berikanlah langsung pedang ini kepada orang yang berhak menerimanya."

Mahesa Kelud jadi terkesiap mendengar kata-kata itu. Dia goyangkan pedang yang di tangannya maksudnya untuk memaksa si kakek agar dia saja yang berikan pedang tersebut kepada cucunya tapi lagi-lagi Pendekar Budiman gelengkan kepalanya seraya mengulum sekelumit senyum. Dengan muka tebal kemudian Mahesa melangkah ke hadapan Wulansari.

"Wulan," kata ini pemuda dengan suara agak kikuk. Untuk pertama kalinya dia berdiri sedekat itu dengan si gadis sehingga dia lebih jelas dapat melihat bagaimana kehalusan kulit serta kecantikan wajahnya. "Wulan terimalah pedang Naga Kuning ini kembali!"

Si gadis bangkit dari duduknya secara tiba-tiba. Dirampasnya dengan kasar pedang Naga Kuning dari tangan si pemuda. Secepat kilat senjata itu kemudian dicabutnya dan dipakai untuk menyerang Mahesa Kelud. Meskipun si pemuda mempunyai ilmu tinggi serta gesit setiap gerakannya, namun diserang tak terduga serta jarak mereka sangat dekat sekali maka dia tak punya kesempatan untuk mengelak. Mahesa Kelud masih coba membuang  diri namun tak urung bahu kirinya kena dimakan oleh ujung pedang. Pakaiannya robek sedang kulitnya luka dan berdarah.

"Wulan!" seru Sentot Bangil seraya melompat ke hadapan cucunya ketika si gadis hendak menyerang untuk kedua kalinya. Dicekalnya tangan Wulansari dan dirampasnya pedang Naga Kuning dari tangan gadis itu. "Mengapa kau serang dia, Wulan? Dia pemuda baik!"

"Dia pendusta besar! Aku tidak percaya padanya! Dia pembunuh guruku!" kata Wulansari pula dengan suara keras tetapi parau. Dari kedua matanya yang bening keluar butiran-butiran air mata. Gadis ini memutar tubuhnya dan lari keluar rumah.

Sementara itu Mahesa Kelud berdiri tersandar ke dinding di belakangnya. Tangan kanannya memegangi bahunya yang terluka. Meskipun lukanya tidak besar dan tidak banyak mengeluarkan darah namun karena pedang yang dipakai melukainya adalah sebuah pedang yang ampuh tak urung pemuda itu kerenyitkan kening menahan keperihan. Dia kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang terluka itu. Si kakek Pendekar Budiman datang menghampirinya dengan cepat lalu memapahnya ke sebuah balai-balai kayu.


***

Malam telah larut dan udara tambah dingin. Namun sampai saat itu Wulansari masih saja duduk di bawah pohon di luar rumahnya. Dia masih seseduan dan matanya kembali menjadi balut karena menangis. Bila dia teringat pada ayahnya, ibu serta paman dan gurunya yang ke semua orang-orang yang dikasihinya itu telah tiada maka kembali berderailah air matanya.

Dalam keadaan pikiran yang kacau balau itu maka teringatlah dia pada Mahesa Kelud, pemuda yang sejak ditemuinya pertama kali dibencinya setengah mati. Namun sesudah kejadian tadi, sesudah dia menyerang pemuda itu sampai terluka pada bahunya, diam-diam jauh di lubuk hatinya dia merasakan satu penyesalan. Seperti seseorang yang bicara, maka Wulansari mendengarkan suara hatinya berkata,

"Wulan... bukan pemuda itu yang tak tahu diri, tapi kau. Bukan pemuda itu yang jahat, tapi kau. Mengapa kau serang dia? Mengapa kau lukai dia? Mengapa kau lukai hatinya padahal dia berlaku jujur dan baik terhadapmu? Dia telah terangkan bahwa bukan dia yang membunuh gurumu... dia telah terangkan tentang surat rahasia itu, surat rahasia yang pasti membawa bencana terhadapmu... jika seandainya surat itu jatuh ke tanganmu, maka kaulah yang akan ditimpa malapetaka. Secara tidak langsung dia telah selamatkan jiwamu dari renggutan maut di Gua Iblis dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Wulan... kau berdosa besar telah menyakiti hati pemuda itu. Kau berdosa besar karena telah menyerang dan melukainya ketika dia kembalikan pedang itu padamu dengan hati yang jujur. Mengapa kau berbuat demikian? Apakah kau tidak pernah mendapat ajaran agar berbudi kepada setiap orang yang baik? 

Apakah kau bukannya murid pendekar Cakar Setan... apakah kau bukannya anak Jarot Singgih... apakah kau lupa bahwa kau adalah cucu Pendekar Budiman... apakah kau akan lunturkan nama baik keluargamu dengan perbuatanmu yang tak tahu membalas budi itu? Kau salah Wulan... salah. Kau jahat... ya, kau jahat! Kau harus minta maaf pada pemuda itu... kau harus minta maaf kepadanya!"

Mendengar suara hatinya yang sangat nyaring terdengar pada kedua telinganya maka semakin berderaian air mata Wulansari dan semakin besar rasa penyesalan yang melekat di kalbunya. Tapi bukan mustahil kalau semua keterangannya adalah dusta belaka untuk menyembunyikan maksud jahatnya...." kata si gadis dalam hati.

Maka menjawablah hati kecil Wulansari. "Jangan bodoh, Wulan. Kalau dia seorang jahat dia tidak akan membantu menyelesaikan jenazah ibu serta pamanmu. Kalau dia orang jahat niscaya sesudah kau bikin cedera padanya dia akan balas dendam kepadamu saat itu juga. Kau harus sadar Wulan, harus insyaf...!"

Angin dingin bertiup lirih. Perlahan-lahan si gadis berdiri dan melangkah menuju ke rumah.  Di atas balai-balai ruang tengah dilihatnya kakeknya tertidur pulas dan nyenyak. Setelah memperhatikan orang tua itu sejurus Wulansari kemudian melangkah menuju ke pintu yang tertutup dari sebuah kamar di dalam mana, di atas sebuah balai-balai bambu yang dialasi tikar pandan putih terbaring tubuh Mahesa Kelud. 

Pemuda ini segera terbangun dari tidurnya dan bukakan sedikit kedua matanya ketika dia mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam rumah. Lain orang mungkin tidak akan dengar suara tersebut tapi Mahesa yang sudah berilmu tinggi tidak demikian adanya. Pemuda itu terkejut ketika didengarnya langkah-langkah kaki tersebut berhenti di depan pintu kamarnya. Dalam keadaan tubuh tetap terbaring dia segera bersiap-siap. 

Kemudian dilihatnya pintu kamar itu terbuka dan seseorang masuk ke dalam. Melihat siapa adanya orang yang masuk ini, Mahesa Kelud menjadi lebih terkejut. Kedua matanya ditutupkan kembali, berbuat pura-pura tidur tapi kewaspadaannya dipertinggi. Hatinya bertanya-tanya apa maksud orang ini datang kepadanya.

"Saudara," terdengar suara orang itu. Halus dan bergetar. "Tak usah berpura-pura tidur."

"Apa perlumu datang ke kamar ini? Ingin menghabisi nyawaku? Kalau demikian lakukanlah segera!" kata Mahesa Kelud tanpa membukakan kedua matanya.

"Tidak saudara. Aku datang untuk meminta maaf...." 

Mahesa kaget dan membuka kedua matanya lebar-lebar. "Minta maaf...?" tanyanya seperti orang yang tak percaya atas pendengarannya.

Wulansari menganggukkan kepalanya dan menunduk. Pemuda itu tersenyum sinis. "Beberapa saat yang lalu kau begitu membenciku, beberapa saat yang lalu kau bertekad bulat untuk habisi nyawaku, dan adalah aneh kalau tahu-tahu kini kau datang meminta maaf. Apakah yang telah terjadi agaknya eh...?!"

"Aku menyadari bahwa aku salah dan telah menyakiti hatimu bahkan menyerang dan melukaimu. Karena itu aku minta maaf. Itupun kalau kau sudi. Kalau tidak, tak apa-apa..." Wulansari memutar tubuhnya hendak berlalu.

"Tunggu dulu," kata Mahesa cepat. Pemuda ini bangun dan duduk di tepi balai-balai bambu. Dipandangnya gadis yang berdiri di hadapannya itu beberapa lamanya lalu berkata, "Lupakanlah segala kejadian yang lewat. Itu merupakan pelajaran bagimu untuk masa mendatang. Kau habis dari mana tadi?"

"Di luar, duduk sendirian di bawah pohon...." jawab gadis itu dengan tundukkan kepala.

"Mengapa duduk di sana dan tidak pergi tidur?"

"Tidak apa-apa...."

Mahesa Kelud kemudian baru ingat bahwa di dalam rumah itu cuma ada satu kamar tidur dan dua balai-balai. Balai-balai yang pertama di pakai oleh Sentot Bangil sedang yang satu lagi ialah yang berada dalam kamar itu yang tadi ditidurinya. Mahesa menatap lagi si gadis. "Kau tentu letih dan mengantuk..." katanya seraya berdiri. "Tidurlah di sini, aku bisa cari tempat lain...." 

Si gadis angkat kepala. "Tapi saudara...."

"Ah tak usah panggil saudara segala. Sebut saja namaku, Mahesa." potong pemuda itu.

"Tapi kau... tapi kau masih sakit, Ma... Mahesa. Jangan pikirkan aku, kau perlu tidur dan istirahat."

"Siapa bilang aku masih sakit?" ujar Mahesa Kelud. "Aku sudah sembuh!"

"Luka dibahumu?"

"Ah, cuma luka kecil saja. Tak apa-apa."

"Mahesa...."

"Ya?"

"Kau masih belum memaafkan aku...."

Si pemuda menatap paras gadis itu. Karena Wulansari tidak lagi menundukkan kepalanya maka pandangan mereka jadi saling bertemu. Wulan cepat-cepat kembali menundukkan kepalanya sedang Mahesa berkata,

"Kalau aku sudah bersedia melupakan hal yang telah lewat, berarti aku sudah memberi maaf kepadamu, Wulan...."

"Terima kasih Mahesa..." kata Wulansari. 

Untuk pertama kalinya Mahesa Kelud kemudian melihat gadis itu tersenyum kepadanya, satu senyum yang manis sekali. "Nah, kau tidurlah dengan nyenyak. Besok pagi-pagi sekali aku akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan."

Meskipun si gadis berusaha untuk menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu, tapi si pemuda masih dapat mengetahuinya. Diam-diam dia jadi heran.

"Mahesa, apakah kau membenci padaku?" tanya Wulansari pula.

"Tidak. Mengapa...."

"Marah mungkin?"

"Juga tidak."

"Mengapa kau terburu-buru pergi? Sebenarnya kemanakah tujuanmu?"

"Ada beberapa urusan atau tepatnya beberapa tugas yang aku harus laksanakan."

"Tugas apakah?" tanya Wulansari ingin tahu.

"Tugas dari guruku, ah tak usah kau tahu. Malam telah larut kau sudah ngantuk dan harus tidur."

"Aku tak ngantuk, Mahesa. Aku ingin dengar keteranganmu," memohon si gadis.

Mahesa tatap paras jelita itu sejurus. "Lain kali sajalah Wulan...."

"Lain kali kapan. Bukankah besok kau akan pergi... Mahesa?"

Pemuda itu berdiri dengan bimbang. Dia buang jauh-jauh perasaannya yang bukan-bukan terhadap gadis itu dan berkata, "Lain kali masih ada kesempatan, Wulan. Aku harus pergi sekarang. Kau tidurlah...." 

Dengan kecewa Wulansari merebahkan dirinya di atas balai-balai bambu dimana sebelumnya Mahesa Kelud berbaring. Di luar sana si pemuda tak habis pikir apa yang telah menyebabkan gadis itu menjadi berubah ramah terhadapnya. Apa hanya karena kesadaran belaka bahwa dia memang bukan orang yang membunuh gurunya...? Atau mungkin...? Pemuda itu menggelengkan kepalanya.


***
SEMBILAN

KEESOKAN paginya.... Mahesa Kelud sudah berkemas-kemas untuk berangkat. Ditemuinya Sentot Bangil alias Pendekar Budiman yang saat itu tengah bicara dengan Wulansari di dalam rumah.

"Pendekar Budiman," kata Mahesa memanggil si kakek dengan gelarnya. "Aku minta diri karena harus pergi sekarang...."

"Pergi? Mengapa cepat-cepat? Kau mau pergi ke mana, Mahesa?" tanya si kakek.

"Aku sendiri sebenarnya tidak tahu harus pergi ke mana. Tapi aku mempunyai beberapa tugas untuk dilaksanakan."

"Tugas apa agaknya?"

Mahesa tak segera menjawab. Dia melirik pada Wulansari yang berada di sampingnya. Melihat ini si kakek tua segera berkata pula,

"Tak apa kalau kau tak mau menerangkan tugas-tugasmu itu, Mahesa...."

"Biarlah aku terangkan agar puas hatimu. Lagi pula Wulansari memang pernah menanyakannya," kata pemuda itu. Lalu dia terangkan empat buah tugas yang dipikulkan di atas pundaknya yaitu mencari pedang Samber Nyawa dan manusia bernama Simo Gembong. Tugas-tugas ini adalah dari gurunya Embah Jagatnata. Kemudian dua tugas yang lain yakni menghambakan diri di kesultanan Banten dan mencari Dewi Maut yang berdiam di Lembah Maut.

Si kakek geleng-gelengkan kepalanya. "Dari ke empat tugas yang harus kau laksanakan itu cuma tugas menghambakan diri di Banten yang sedikit ringan. Yang tiga lainnya terus terang saja aku mungkin belum mampu melaksanakannya. Tapi untung kau sudah diambil murid oleh si Karang Sewu. Dengan ilmu pukulan yang ampuh itu kau punya harapan besar untuk bisa melaksanakan tugasmu dengan baik. Kalau kau tanyakan tentang Simo Gembong, itu adalah satu hal yang aku tidak tahu banyak. Aku memang sering dengar nama pendekar sakti itu, tapi tak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Entah masih hidup, entah sudah mati. Dia hilang lenyap begitu saja. Tentang Lembah Maut, kalau aku tidak salah terletak di ujung timur tanah Jawa ini, yaitu di bekas kerajaan Blambangan. Kemudian pedang Samber Nyawa.... Dulu dari seorang pengemis aneh aku mendapat keterangan bahwa pedang yang menjadi pembicaraan menarik bagi orang-orang di kalangan persilatan itu tersembunyi di sebuah pulau. Aku sendiri tidak dapat mempercayai apakah senjata sakti luar biasa tersebut memang benar-benar ada. Karenanya keterangan pengemis tadi tidak aku perdulikan, tiada aku lakukan penyelidikan...."

"Terima kasih... terima kasih atas keteranganmu, Pendekar Budiman...."

"Mahesa, kau selalu saja panggil aku dengan gelar itu. Tak usah pakai peradatan terhadapku. Panggil saja dengan kakek Sentot sebagaimana yang dilakukan oleh Wulansari!" kata Sentot Bangil dengan tersenyum. "Tentang maksudmu untuk pergi, memang kami tidak bisa menahan ataupun melarang kau. Namun mengingat bahwa kau sudah memberikan pertolongan pada cucuku, aku mohon janganlah tanggung-tanggung. Untuk menghadapi bangsat-bangsat Kadipaten Madiun seperti Suto Nyamat, Lima Brahmana dan lain sebagainya, memang tenaga kami berdua masih belum bisa diandalkan. Apalagi jika sekiranya nanti Suto Nyamat berhasil membeli hulubalang-hulubalang raja untuk melindunginya."

"Kakek Sentot, kalau kau mengharapkan bantuanku, aku bersedia dengan hati ikhlas. Tapi terus terang saja, aku sendiri tidak punya ilmu apa-apa..." ujar Mahesa Kelud.

"Kau selalu saja rendahkan diri, Mahesa. Aku senang padamu. Ketahuilah bahwa tidak sembarang orang sanggup memiliki ilmu pukulan Karang Sewu yang dahsyat itu. Terus terang saja kurasa ilmuku belum tentu berada di atas ilmumu. Namun meskipun demikian kutawarkan padamu untuk ikut bersama-sama Wulan ke tempatku di hutan Bangil. Kita harus mengadakan persiapan sebelum melakukan balas dendam terhadap Suto Nyamat dan kaki tangannya. Itupun kalau kau sudi, mengingat belum satu pun tugas yang dipikulkan di pundakmu yang kau laksanakan...."

Mahesa Kelud termenung sejurus. Dipikirkannya tawaran si kakek itu baik-baik. Agaknya hitung-hitung untuk menambah pengalaman tidak ada salahnya kalau ia terima tawaran si kakek ini. Kalau perlu dia juga bersedia menjadi murid dari si Pendekar Budiman. Pemuda itu menjura. "Terima kasih kakek Sentot. Kalau memang itu yang kakek tawarkan, saya tidak berkeberatan."

Sentot Bangil tertawa. Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu. Mahesa merasakan pundaknya seperti ditekan oleh ribuan kilo barang berat. Dia maklum bahwa si kakek tengah menguji tenaganya. Diam-diam dia alirkan tenaga dalam kebahunya yang ditepuk-tepuk. Sentot Bangil menjadi terkejut ketika merasakan bagaimana tangannya yang dipakai menepuk menjadi seperti kesemutan. Cepat-cepat dia tarik tangannya kembali.

"Bagus... bagus Mahesa. Mari Wulan, kita berangkat sekarang juga..." kata Sentot Bangil pula. 

Setelah pamitan dengan seisi kampung Banjaran maka Wulansari, Sentot Bangil dan Mahesa Kelud dengan mempergunakan ilmu lari masing-masing segera berangkat menuju hutan Bangil. Sebagai seorang pendekar yang sudah mendapat nama tenar di dunia persilatan ternyata ilmu silat Sentot Bangil memang mengagumkan. Jurus-jurus tipu yang belum diketahui Mahesa dan Wulansari, segera dipelajari oleh kedua muda mudi ini dengan bersungguh-sungguh. 

Tidak terasa lagi maka enam bulan lebih berlalu. Antara Mahesa dan Wulansari, sementara mereka belajar pada Sentot Bangil, terjalin satu persahabatan yang erat. Persahabatan itu mungkin bukan persahabatan lagi namanya karena masing-masing pihak sama-sama merasakan sesuatu
yang baik Mahesa Kelud apalagi Wulansari belum berani mengutarakannya secara berterus terang.

Cuma dari sikap dan pandangan mata masing-masing dapatlah dilihat bahwa kedua pendekar muda ini saling memendam rasa. Sentot Bangil yang mengetahui hal ini diam-diam merasa gembira. Dia sayang pada cucunya Wulansari dan suka kepada Mahesa Kelud, seorang pemuda gagah, berhati rendah, tinggi budi dan berilmu yang tak bisa dianggap enteng, cukup dapat diandalkan. 

Karena kedua muda remaja ini sama-sama sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, ditambah pula dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Sentot Bangil, maka sesudah enam bulan kepandaian yang mereka miliki kini telah dapat dipastikan akan sanggup untuk menghadapi Suto Nyamat dan anjing-anjing kaki tangan Kadipaten lainnya.

Sore itu, di dalam hutan Bangil yang jarang kaki manusia luar menginjaknya, sehabis berlatih Mahesa Kelud dan Wulansari dipanggil oleh Sentot Bangil. Kedua orang itu menjura di hadapan si kakek lalu duduk bersila dengan khidmat. 

"Murid-muridku," berkata Sentot Bangil. "Kini telah tiba bagi kalian untuk meninggalkan hutan Bangil dan ini guna mencari musuh besar kita!"

Mendengar ini bukan main senangnya hati Wulansari. "Kakek, saat untuk membalaskan dendam kesumat ini memang sudah lama aku tunggu-tunggu. Kapan kami berdua boleh berangkat?" tanya gadis yang bernyali besar itu.

"Bukan kami, Wulan tapi kita," kata si kakek sakti pula dengan tersenyum. "Aku sebagai kakek dan gurumu tidak akan lepas tangan begitu saja. Aku akan pergi bersama kalian untuk mencari bangsat Suto Nyamat dan Lima Brahmana itu." 

Mahesa Kelud dan Wulansari menjadi gembira mendengar ini. Kemudian terdengar suara Sentot Bangil berkata, "Siapkanlah segala sesuatunya malam ini karena kita akan berangkat besok pagi-pagi sekali."

Malam itu Wulansari boleh dikatakan hampir tak bisa tidur karena mengingat bahwa besok pagi dia bersama Mahesa dan kakeknya Sentot Bangil akan mencari musuh besarnya yaitu Adipati Suto Nyamat serta kaki-kaki tangannya. Menjelang dinihari baru gadis ini bisa pejamkan mata. Tapi itu pun tidak lama karena sebelum fajar menyingsing dia sudah bangun dan bersama Sentot Bangil serta Mahesa Kelud ketiganya segera meninggalkan hutan Bangil. 

Pada punggung ketiga orang itu kelihatan menonjol gagang-gagang senjata. Sentot Bangil membawa golok panjangnya. Wulansari pedang putih pemberian gurunya sedang Mahesa Kelud yang memang sejak turun gunung tidak mendapatkan senjata apa-apa dari Embah Jagatnata oleh Wulansari diberi pinjam pedang Naga Kuning milik mendiang gurunya. Boleh dikatakan selama dalam perjalanan ketiga orang itu berhenti hanya untuk makan minum saja. Mereka sengaja mencari jalan yang jarang ditempuh manusia, lewat lembah-lembah, menerobos hutan belantara dan mendaki serta menuruni bukit-bukit.

Beberapa hari kemudian akhirnya sampailah ketiga orang yang hendak menuntut balas itu ke Madiun. Di kadipaten Madiun saat itu Adipati Suto Nyamat tengah mengadakan pesta mengundang beberapa orang kawan-kawan karibnya yaitu jago-jago silat yang lihay dan berilmu tinggi. Dan kebetulan sekali, di antara para tamu yang hadir terdapat pula Lima Brahmana sesat. Jadi Wulansari dan kawan-kawannya tidak perlu lagi susah-susah mencari musuh-musuh besar mereka tersebut. Saat itu malam hari.

"Kita harus berhati-hati," kata Sentot Bangil pada kedua muridnya. "Pengawal-pengawal Kadipaten rata-rata memiliki ilmu yang cukup dapat diandalkan. Disamping itu jika Suto Nyamat mengadakan pesta, tentu tamu-tamunya bukan dari kalangan biasa. Karena itu kita tidak bisa lewat jalan biasa. Kita ambil jalan memutar dan lompati tembok...."

Demikianlah ketiga orang tersebut dalam kegelapan malam bergerak mengendap-endap dengan cepat menuju tembok belakang dan dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh mereka dengan mudah sekali melompati tembok Kadipaten. Sebelum masuk ke dalam pekarangan Sentot Bangil menyelidik lebih dahulu. 

Ketika dilihatnya tidak ada satu orang pun maka dia segera memberi isyarat pada murid-muridnya. Ketiga orang tersebut seperti burung saja layaknya, tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun melayang turun. Tapi tak terduga dari sudut rumah besar bagian belakang terdengar suara bentakan,

"Siapa di sana?!"

Tanpa menunggu lebih lama Wulansari berkelebat ke arah datangnya suara. Pedang putihnya sudah tergenggam di tangan. Di hadapannya berdiri seorang pengawal Kadipaten. Wulansari segera tusukkan pedangnya. Pengawal itu serta merta roboh. Bersama Sentot Bangil dan Mahesa Kelud, Wulansari kemudian bergerak mendekati pintu belakang lalu mengintip. Ternyata pintu belakang tersebut berhubungan dengan dapur. Pelayan-pelayan tengah sibuk dan bau makanan yang harum merembas menusuk hidung.

Ketiganya pindah ke samping rumah besar dan sampai di sebuah jendela yang terbuka. Di luar suasana gelap sedang di dalam terang benderang sehingga kalau pun ada orang di bagian dalam akan sukar untuk mengetahui mereka yang berada di tempat gelap lewat jendela itu. Di hadapan sebuah meja panjang dan besar duduklah berkeliling beberapa orang laki-laki. 

Sentot Bangil meneliti siapa-siapa saja mereka ini adanya. Di kepala meja, sebagai tuan rumah duduklah Adipati Suto Nyamat mengenakan pakaian kebesarannya yaitu pakaian Bupati. Matanya besar garang, keningnya lebar, berkumis tebal melintang serta meliuk pada kedua ujungnya. Dari tampangnya ini jelas terbayang kebengisannya. Pada pinggang kiri dan kanan Suto Nyamat tersisip masing-masing sebuah golok panjang. Inilah senjata yang sangat diandalkan oleh sang Bupati.  Memang ilmu sepasang goloknya itu sudah mencapai tingkat kepandaian yang tinggi. 

Kemudian di sekeliling meja besar itu duduk pula lima orang berkepala botak dan memakai jubah putih. Mereka ini tak lain adalah Lima Brahmana yang tersilau oleh harta benda serta uang yang dijejalkan Suto Nyamat kepada mereka sehingga meskipun tadinya mereka adalah orang-orang suci tapi sesat kena dibujuk dan diambil oleh sang Adipati menjadi tangan kanannya. 

Namun dari sekian banyaknya tamu-tamu yang hadir, yang paling menarik perhatian Sentot Bangil ialah seorang laki-laki bertubuh tinggi, mengenakan jubah hitam gelap. Rambutnya yang berwarna kelabu diikat ke atas membentuk kuncir. Tadinya dia adalah seorang resi dari kerajaan Blambangan. 

Namun karena kehidupannya tidak sesuai dengan sifat dan kelakuan seorang suci maka dia diusir meninggalkan Blambangan, baju resinya yang tadi berwarna putih ditukarnya dengan warna hitam gelap. Melihat orang ini diam-diam Sentot Bangil jadi terkejut. Dia maklum, melihat kepada pakaian serta sikap dan pandangan matanya saja, orang ini pasti memiliki ilmu tinggi sekali.


***
SEPULUH

TANPA memalingkan kepalanya kepada Mahesa Kelud dan Wulansari, Sentot Bangil berkata, "Dengar kalian berdua dan perhatikan kesana. Yang pakai baju bagus itu dan duduk di kepala meja adalah Suto Nyamat. Dia sangat ahli dengan senjatanya berupa sepasang golok. Kemudian lima orang yang berkepala botak dan berjubah putih. Mereka inilah Lima Brahmana sesat. Mereka juga bersenjatakan golok. Di samping itu mereka memiliki senjata rahasia berupa pisau-pisau bengkok yang berbahaya sekali. Dengan pedang di tangan, bilamana mereka maju satu-satu tak akan berarti apa-apa, tapi jika mereka maju berbarengan dan menyerang dengan serentak hebatnya bukan main. Kita harus hati-hati. Kemudian manusia berkuncir dan pakai jubah hitam itu! Inilah yang paling...."

Tapi sampai di situ, Wulansari tidak dapat lagi menahan hatinya. Dengan tidak sabar dia melompat ke muka. Tubuhnya melesat lewat jendela dan sesaat kemudian dia sudah berada diruangan di mana Suto Nyamat dan para tamu tersebut berada.

"Bangsat-bangsat rendah! Pembunuh-pembunuh terkutuk! Saat kematian kalian sudah tiba! Aku datang untuk menuntut balas!"

Tidak ada satu orang pun di ruangan tengah Kadipaten itu yang tidak terkejut ketika mendengar suara Wulansari yang menggeledek itu. Dan jadi lebih terkejut lagi ketika mereka lihat bahwa yang datang adalah seorang dara jelita. Suto Nyamat kemudian berdiri. Sambil menyeringai dan puntir-puntir ujung kumisnya dengan tangan kiri dia berkata,

"Eh... eh... eh. Gadis cantik dari mana yang datang kesasar ke sini? Kalau ingin turut pesta silahkan duduk!"

"Adipati keparat!" maki Wulansari. "Tak tahu ajal sudah di depan hidung masih bicara ceriwis! Kau lihat pedang di tangan kananku ini?!"

"Eh, galak juga rupanya. Tapi tunggulah, aku akan cubit pipimu yang montok itu!" Adipati Suto Nyamat tanpa ragu-ragu maju ke hadapan gadis itu untuk laksanakan niatnya. Tapi dia jadi terkejut ketika dengan secepat kilat pedang putih di tangan kanan Wulansari berkelebat ke arah lengannya yang terulur. Cepat-cepat Bupati Madiun ini tarik pulang tangannya dan melompat mundur beberapa langkah dengan muka berang.

"Gadis gila! Kau siapakah...?!" tanya Suto Nyamat membentak.

"Aku adalah anak Jarot Singgih yang kau fitnah dan kau bunuh secara kejam. Aku adalah kemenakan dari Menggala! Kau dengar?!"

Suto Nyamat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar keterangan si gadis itu. Tak pernah disangkanya kalau saat itu masih hidup seorang turunan Jarot Singgih. Dia menduga bahwa keluarga manusia yang dibencinya itu sudah musnah masuk liang tanah. 

"Gadis bernyali besar," kata Suto Nyamat. "Dengarlah, kau memang cantik. Tapi jangan jual tampang di sini. Aku tidak segan-segan mengirim kau ke neraka guna menghadap ayah serta pamanmu!"

"Keparat! Mampuslah!" teriak Wulansari dan serentak dengan itu dia melompat ke hadapan musuh besarnya mengirimkan serangan. 

Merasakan derasnya angin sambaran pedang, Suto Nyamat segera cabut kedua golok panjangnya dan tangkis senjata lawan dengan gerak berputar sedemikian rupa sehingga dalam satu kali bentrokan saja dia bermaksud akan berhasil menjepit senjata lawan serta merampasnya! Tapi bukan main terkejutnya Bupati Madiun ini karena tak terduga, begitu pedangnya terjepit di antara dua golok lawan maka dengan kecepatan yang luar biasa Wulansari meluncurkan senjatanya kebawah dengan deras dan kirimkan satu tusukan dahsyat ke dada Suto Nyamat. Adipati ini segera melompat ke belakang untuk selamatkan dadanya.

Meskipun dia tahu bahwa dengan seorang diri gadis ini sanggup dihadapinya, tapi untuk membakar hati para tamunya maka berkatalah Suto Nyamat pada mereka, "Saudara-saudara, mungkin di antara kalian ada yang lupa siapa adanya Jarot Singgih dan Menggala. Mereka adalah gembong manusia dajal yang tempo hari hendak memberontak pada Kerajaan. Dan ini adalah anak serta keponakan pemberontak itu! Suatu jasa besar terhadap Kerajaan bilamana kita berhasil menangkapnya hidup-hidup!"

Dengan darah mendidih Wulansari mengirimkan serangan ganas. Suto Nyamat berkelit. Si gadis susul dengan serangan yang lebih dahsyat dan satu jurus di muka maka kelihatanlah betapa Adipati Madiun itu terdesak hebat. Melihat ini Lima Brahmana yang menjadi kaki tangan Suto Nyamat segera cabut golok masing-masing dan menghadang si gadis. Wulansari kertak gigi. Pada saat itu melesat sesosok tubuh ke dalam dengan senjata di tangan.

"Anjing-anjing Kadipaten! Di mana muka kalian, tidak malu mengeroyok seorang gadis?!"

Yang berkata dengan membentak dan mengejek ini tak lain adalah Mahesa Kelud yang kemudian dengan pedang Naga Kuning di tangan dia segera menerjang ke arah Lima Brahmana. Mengetahui bahwa Mahesa Kelud sudah berada di sampingnya, bersemangatlah Wulansari. Gadis ini putar pedangnya dengan deras sampai mengeluarkan suara menderu. Meskipun Suto Nyamat dan kelima manusia berkepala botak itu bukan orang-orang sembarangan, tapi menghadapi dua pendekar muda murid-murid pendekar-pendekar sakti maka mereka segera kena didesak.

Para tamu terkejut sangat melihat bagaimana tuan rumah dan kelima Brahmana sampai terdesak sedemikian rupa oleh dua anak muda yang belum pernah dikenal kepandaiannya dalam kalangan persilatan! Tanpa menunggu lebih lama mereka segera cabut senjata dan membantu kawan-kawan mereka. 

Yang masih tetap duduk di tempatnya dengan tenang adalah resi yang berjubah hitam dan berkuncir. Sambil memperhatikan pertempuran yang terjadi di depan matanya dia meneguk tuak yang terhidang di meja. Dikeroyok oleh lebih sepuluh orang yang semuanya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lama-lama Mahesa Kelud dan Wulansari menjadi sibuk dan terdesak. 

Bukan main girangnya Suto Nyamat. Dalam sejurus dua jurus di muka dia dan kawan-kawan tentu akan dapat membekuk batang  leher kedua pemuda itu. "Ha... ha! Anak-anak kecil yang masih belum pandai cebok sendiri hendak coba-coba bikin urusan! Rasakan kalau kalian sudah kena dibekuk sesaat lagi...!"

Di tengah-tengah pertempuran yang hebat itu di saat mana kedua pendekar muda tadi terdesak hebat ke pojok ruangan besar maka tahu-tahu dari jendela melayanglah dengan gerakan enteng seorang laki-laki tua yang tak lain daripada Sentot Bangil alias Pendekar Budiman adanya.

"Suto Nyamat durjana! Kau dan kawan kawan jangan lekas merasa menang dan pentang bacot besar! Layani aku!"

Sentot Bangil memutar golok panjangnya. Dia bergerak di antara Mahesa Kelud dan Wulansari. Belum sampai satu jurus, salah seorang pengeroyok sudah dapat dibikin roboh mandi darah! Bukan main terkejutnya Suto Nyamat melihat kehebatan jago tua yang baru datang ini. Dia segera mundur. 

Di lain pihak Wulansari dan Mahesa Kelud kembali dapat mendesak lawan-lawan mereka dan dalam tempo yang singkat segera merobohkan masing-masing satu lawan. Sentot Bangil yang ilmunya lihay dengan gerakan cepat meyakinkan untuk kedua kalinya goloknya meminta korban lagi. Pada saat inilah, tanpa menunggu lebih lama resi berjubah hitam segera berdiri dari kursinya dan dengan sekali membuat gerakan tahu-tahu tubuhnya sudah berdiri di hadapan Sentot Bangil!


***
SEBELAS

SENTOT BANGIL kertak gigi melihat siapa yang menghadang di hadapannya.

"Ho... ho! Rupanya si Pendekar Budiman yang menjadi biang runyam membawa anak-anak itu kemari!" kata resi berjubah hitam. Dia tertawa dengan nada mengejek. Meskipun dia tahu bahwa musuh yang di hadapannya ini bukan seorang baik-baik, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri dan tidak cuma mendapat gelar Pendekar Budiman maka Sentot Bangil menjura memberi hormat.

"Kalau tak salah aku tengah berhadapan dengan Waranganaya Toteng yang dulu menjadi resi di Blambangan, benar?!"

Si jubah hitam tertawa dan busungkan dada. "Bagus, bagus!" katanya. "Rupanya kau yang sudah tua masih bisa kenali orang. Mari kita main-main sedikit Pendekar Budiman!"

"Soal main-main soal mudah, Waranganaya," sahut Bangil. "Sebelumnya aku ingin tanya dulu, apakah kau punya mulut sudah kena tersumpal harta dan uang Adipati keparat itu sehingga kau terbujuk dan menjadi kaki tangannya?!"

"Kalau kau tanya soal itu, itu bukan urusanmu! Aku mau malang, aku mau melintang siapa yang mau perduli?!" 

Sentot Bangil tersenyum sinis. "Pantas saja kau diusir dari Blambangan Waranganaya...."

"Manusia monyet!" maki Waranganaya sambil kebutkan ujung berumbai-rumbai dari ikat pinggang jubah hitamnya. Dengan cepat Sentot Bangil menghindar ke samping karena dari kedua ujung rumbai-rumbai itu keluar angin panas yang menyerang ke arahnya dengan deras. Melihat ini maka Waranganaya tertawa bergelak. 

"Baru begitu saja kau sudah meliuk seperti cacing kepanasan, Pendekar!" Sang resi enjot tubuh dan lancarkan serangan ganas. 

Meskipun Sentot Bangil orang yang sudah berpengalaman dan dapat nama harum di delapan penjuru angin namun menghadapi Waranganaya boleh dikatakan dia tidak dapat berkutik. Hampir setiap saat resi itu mengebutkan rumbai-rumbai ikat pinggang jubahnya. Sambil menyerang dia tidak hentinya tertawa bekakakan. Tertawanya ini bukan pula tertawa biasa tapi mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali dan maksudnya adalah untuk mengacaukan setiap gerakan lawan.

Meskipun Sentot Bangil sudah kerahkan semua ilmu simpanannya namun dia tetap dibikin tak berdaya. Di lain pihak kedua orang muridnya Mahesa dan Wulansari sudah terkurung pula. Mahesa Kelud berkali-kali pergunakan pukulan tangan kirinya yang mengandung Aji Karang Sewu yang ampuh itu namun sia-sia belaka karena setiap dia mengirimkan satu serangan dia dipaksa mundur untuk tangkis tiga atau empat serangan lawan.

Sentot Bangil tahu bahwa jika mereka bertahan sampai beberapa jurus di muka maka mereka pasti akan kena dicelakai oleh bangsat-bangsat Kadipaten itu. Dengan cepat maka berserulah jago tua ini: "Murid-muridku! Kalian larilah! Biar aku sendiri yang hadapi mereka!"

Mendengar perintah sang guru itu, meskipun dengan hati berat namun Mahesa Kelud dan Wulansari segera mematuhinya. Mereka putar pedang masing-masing dengan sebat dan begitu para pengeroyok mundur, keduanya segera melompat ke jendela. Sebelum melarikan diri Wulan berpaling menengok guru atau kakeknya. Gadis itu menjerit keras karena pada saat itu dilihatnya si kakek rebah ke lantai terkena sambaran rumbai-rumbai ikat pinggang Waranganaya Toteng. 

Dalam keadaan yang kritis itu, Sentot Bangil sambil tergelimpang ke lantai masih berusaha memapaskan golok panjangnya ke arah kaki Waranganaya. Dengan cepat resi ini melompat ke atas dan sambil melompat kaki kirinya bergerak menendang kepala Sentot Bangil. Kembali terdengar suara menjerit Wulansari. Tubuh Sentot Bangil terlempar beberapa tombak dengan kepala remuk!

Di luar sana Wulansari memutar tubuh dan melompat kembali ke jendela seraya berteriak: "Resi jahanam! Aku mengadu jiwa dengan kau!"

"Wulan!" seru Mahesa Kelud seraya tarik lengan si gadis dengan cepat. "Jangan bertindak bodoh! Mereka bukan lawan kita. Kita bisa saja nekad tapi pasti lebih banyak ruginya. Lain kali kita mencari mereka untuk membuat perhitungan!"

Si gadis kibaskan tangan Mahesa yang memegang lengannya dan berusaha menariknya dari kalangan perkelahian. "Mahesa!" bentak Wulansari. "Kau ini seorang jantan atau banci pengecut! Kau biarkan guru menemui ajal begitu rupa?! Kalau kau mau kabur silahkan! Aku tidak gentar menghadapi setan-setan itu sendirian!"

"Jangan gegabah Wulan!" balas Mahesa dengan suara tak kalah kerasnya. "Pergunakan otak sehatmu! Jangan biarkan amarah mendidih dan hati panas mencelakaimu! Kalau kita mati berarti untuk selamanya kita tidak bakal sanggup membalas dendam terhadap bangsat-bangsat Kadipaten itu! Lagi pula apa kau tak ingat akan musuh besarmu si Warok Kate? Mari!"

Dalam keadaan genting seperti itu akhirnya Wulansari bisa disadarkan. Sepasang muda mudi itu segera putar tubuh, melarikan diri dalam kegelapan malam, kembali ke hutan Bangil. Sesampainya di hutan Bangil beberapa hari kemudian, dalam keadaan letih Wulansari jatuhkan diri di depan pondok. Di sini si gadis menangis sejadi-jadinya. Mahesa coba membujuk dan menghibur gadis itu tiada putus-putusnya.

"Kau tak merasakan bagaimana beratnya kehilangan orang tua itu..." kata Wulansari di antara isak tangisnya.

"Apa yang ada dalam hatimu sama dengan yang aku rasakan Wulan. Ini namanya hidup yang penuh cobaan dan tantangan. Cobaan dan tantangan tidak seharusnya membuat kita jadi lemah serta lupa diri. Justru cobaan dan tantangan dijadikan cambuk untuk menggembleng diri sendiri menjadi lebih tabah dan kukuh hati. Jalan hidup kita sebagai orang-orang persilatan memang berputar di situ...."

Wulansari terdiam. Lama gadis ini termenung. Perlahan-lahan entah dia sadar atau tidak Wulansari sandarkan kepalanya ke dada Mahesa Kelud. Si pemuda belai rambut gadis ini penuh kasih sayang. Belaiannya turun ke pipi si gadis. Lalu perlahan-lahan hidungnya didekatkan mencium kepala Wulansari. 

Ketika gadis itu menengadah Mahesa mencium sepasang matanya yang bagus dan masih basah. Wulansari merangkulkan kedua tangannya ke leher Mahesa Kelud lalu berbisik lirih. "Mahesa, jangan tinggalkan diriku. Kau satu-satunya kini tempat aku bergantung...."

"Kita berdua ditakdirkan senasib sepenanggungan. Jadi kita tak akan berpisah apa pun yang terjadi..." balas Mahesa Kelud. 

Wulansari merasa bahagia sekali mendengar ucapan pemuda itu. Ditariknya kepala Mahesa hingga wajah mereka saling bersentuhan. Ketika Mahesa mengecup bibirnya Wulansari membalas penuh kehangatan. Suasana mesra itu dapat menghibur Wulansari serta membuatnya sesaat melupakan apa yang mereka alami.


Fitnah Berdarah

Cerita Silat Indonesia Serial Mahesa Kelud Karya Bastian Tito

Fitnah Berdarah


SATU

MAHESA Kelud letakkan sebuah batu besar di kepala makam di mana jenazah kakek sakti bernama Karang Sewu dikebumikannya. Dia menarik nafas dalam, duduk bersila di depan makam. Sambil pandangi makam bertanah merah itu murid Embah Jagatnata dari gunung Kelud ini berucap dalam hati.

"Karang Sewu, walau pertemuan kita begitu singkat namun aku sudah menganggap dirimu sebagai guru dan kakek sendiri. Jenazahmu memang sudah aku urus dan aku kebumikan. Manusia iblis yang telah membunuhmu telah pula aku habisi riwayatnya. Tapi budi dan hutang nyawa yang aku tanam atas dirimu rasanya tidak akan lunas sampai kapanpun. Aku berdoa dengan segala derita yang telah kau alami selama bertahun-tahun kiranya Gusti Allah akan memberikan tempat yang sebaik-baiknya bagimu di akhirat."

Mahesa Kelud angkat kedua tangannya keatas berdoa dan memohon khidmat kepada Yang Maha Kuasa untuk Karang Sewu yang bukan saja telah menyelamatkan dirinya dari Gua Iblis tapi juga telah memberikan satu ilmu kesaktian yang luar biasa. Sebelum masuk ke dalam gua Mahesa terlebih dulu membuat sebuah obor. 

Lorong demi lorong dilaluinya. Di satu lorong ditemuinya tiga pintu batu karang. Dengan mempergunakan Pukulan Sakti "Karang Sewu" Mahesa Kelud menghantam bobol ketiga pintu itu. Ruangan di dalamnya pengap dan sempit. Tiga ruangan berupa penjara batu itu ternyata kosong.

Mahesa menelusuri sebuah lorong lagi. Udara di sini terasa panas. Di ujung lorong yang buntu terdapat satu ruangan berbentuk segi tiga. Di sini terdapat tiga pintu terbuat dari batu. Mahesa memilih pintu sebelah tengah. Sekali hantam saja pintu batu itu berderak lalu runtuh kelantai gua. Bau busuk serta merta menusuk hidung Mahesa Kelud. Dia maju tiga langkah sambil angkat obor di tangan kirinya tinggi-tinggi. Bulu kuduknya langsung merinding. Sesosok tubuh yang hanya merupakan jerangkong tetapi masih ditempeli gumpalan-gumpalan daging yang telah membusuk serta digeragoti belatung terkapar di salah satu sudut ruangan.

"Manusia malang ini pasti salah satu dari lima pendekar yang telah menerima Surat Kematian seperti yang telah diceritakan Karang Sewu," membatin Mahesa Kelud. Sambil geleng-geleng kepala dia tinggalkan tempat itu. 

Ketika dua pintu batu lagi dibobolnya dia menemui dua sosok jerangkong yang telah mengering. Agaknya dua korban keganasan si Nenek Iblis ini menemui ajal bertahun-tahun lebih lama dibanding dengan yang pertama tadi. Mahesa mula-mula tak mengerti mengapa Karang Sewu bisa mempertahankan diri sampai sepuluh tahun sedang ketiga manusia yang sudah tinggal tulang belulang itu tidak? 

Disuluhinya kamar sempit tersebut dengan teliti. Akhirnya jawaban didapatnya. Tiga kamar di mana ketiga manusia itu terpenjara terletak jauh dari sungai sehingga udara yang panas sama sekali tidak membuat adanya lumut yang dapat dimakan pada dinding-dinding kamar batu karang!

"Untung saja si Karang Sewu dan aku dipenjarakan di lorong dekat sungai. Kalau tidak...," tegak bulu kuduk pendekar muda itu. "Tapi dimana gerangan dua orang lainnya?" dia bertanya-tanya dalam hati. 

Masih ada empat lorong gelap yang belum diselidiki Mahesa Kelud. Satu demi satu lorong itu dijelajahinya. Di lorong yang kedua ditemuinya satu kerangka manusia. Kamar-kamar sempit di lorong ketiga tidak berpenghuni. Lorong yang keempat kini. Udara agak sejuk, ini tanda bahwa lorong itu juga berada dekat sungai. 

Kalau saja ada manusia yang dipenjarakan di sini, mungkin masih hidup, pikir Mahesa. Pintu Karang yang pertama didobraknya. Kosong. Pintu kedua dipukulnya bobol. Dia menyeruak masuk ke dalam dan undurkan langkah ketika melihat sesuatu yang bergerak di sudut ruangan.

Mahesa terkejut apakah yang dilihatnya ini manusia atau setan. Kulitnya putih bulai dan sangat pucat. Rambutnya juga putih seperti kapas. Kedua matanya yang cekung berputar liar. Dia lindungi kedua matanya ini dengan belakang tangan dari silaunya api obor. Perlahan-lahan makhluk ini berdiri sambil berpegangan ke dinding. Ternyata dia seorang manusia juga adanya. Tawanan si Nenek Iblis! Keadaan tubuhnya menyedihkan dan nyaris tanpa pakaian.

"Kawan atau lawankah yang datang ini?" tanya orang yang tubuhnya kurus kering dan berkulit putih bulai serta pucat,  tinggal kulit pembalut tulang saja. Mahesa menjauhkan obornya dari mata orang tua yang kesilauan itu. "Jangan khawatir," katanya. "Aku sahabat baik yang datang untuk menolongmu. Kau siapa?"

Tawanan tua itu nampak bimbang. "Kalau kau kaki tangannya si Nenek Iblis, lebih baik bunuh aku cepat!" katanya. Mahesa gelengkan kepala. "Tadinya aku juga seorang tawanan...."

"Seseorang yang pernah menjadi tawanan si Nenek Iblis keadaan tubuhnya tidak akan sepertimu! Lagi pula tak ada satu manusia pun sanggup bebaskan diri dari dinding-dinding karang tebal yang mengurungnya!"

"Sebaiknya mari kita keluar dari sini. Aku akan terangkan segala-galanya padamu nanti," ujar Mahesa seraya putar tubuhnya.

"Tunggu," terdengar suara tawanan itu ketika dilihatnya Mahesa hendak berlalu. Si pemuda palingkan kepala. "Kau tahu, aku lima belas tahun lebih dikurung di sini oleh si Nenek keparat. Kekuatanku seakan-akan punah. Aku tidak bisa jalan."

Mahesa memperhatikan tubuh laki-laki yang sangat kurus dan telanjang di hadapannya itu. Kedua kakinya kecil sekali, hampir sebesar tongkat! Mahesa dekati orang itu lalu memapahnya. Beberapa lama kemudian mereka sampai diluar. Orang yang dipapah Mahesa Kelud memejamkan matanya kesilauan oleh sinar matahari. Mahesa membawanya ke bawah sebatang pohon. Lama sekali baru orang ini sanggup membuka kedua matanya. Itupun masih dengan menyipit-nyipit.

"Pemuda, kau siapa? Aku berhutang nyawa padamu."

"Sudah kukatakan tadi aku adalah seorang tawanan si Nenek Iblis juga. Namaku Mahesa Kelud."

"Bagaimana kau bisa lolos?"

"Karang Sewu menolong aku."

"Siapa? Karang Sewu...?! Mana dia sekarang?" tanya orang itu dengan nada sangat terkejut.

"Dia sudah mendahului kita. Sejak sepuluh tahun yang lalu dia kena ditipu dan dipenjarakan oleh si Nenek Iblis di gua itu," menerangkan Mahesa Kelud.

"Tidak mungkin! Mustahil! Tidak ada satu penjarapun yang sanggup mengurung jago silat itu! Kau tahu apa artinya Karang Sewu!"

"Mulanya aku juga berpendapat seperti kau. Tapi kemudian si Karang Sewu menerangkan padaku bahwa ketika dia dipukul secara pengecut yaitu tiba-tiba, maka dalam keadaan pingsan tak sadar diri si Nenek Iblis membacok putus kedua tangan dan kakinya. Jadi meskipun dia mempunyai ilmu Karang Sewu, tapi percuma saja karena tangan ataupun kakinya tak bisa dipergunakan."

"Benar-benar terkutuk perempuan iblis itu!
Aku sudah bertekad bulat, bila saja aku sanggup membebaskan diri atau ada yang menolongku keluar dari gua maut itu aku akan adu nyawa dengan si Nenek Iblis!"

"Kurasa itu sudah tak perlu lagi," kata Mahesa Kelud dengan tersenyum. Dia menunjuk jauh ke muka sana, ke arah pepohonan. Orang itu mengikuti jari telunjuk si pemuda dan sambil berpegangan ke batang pohon dibelakangnya dia berdiri. Sesosok tubuh yang telanjang dan berkulit keriputan, berambut putih jarang menggeletak di tanah tak bergerak-gerak. Tubuh si Nenek Iblis!

"Siapa yang telah membunuhnya?!" tanya orang itu.

"Kebenaran," jawab Mahesa tidak mau tonjolkan diri.

"Kebenaran?"

"Ya. Kebenaran akan selalu membunuh kejahatan. Itu suatu hukum yang tidak tertulis...."

Orang itu tertawa. Untuk pertama kalinya saat itu baru dia menyadari bahwa dirinya tidak berpakaian sama sekali. Dia duduk ke tanah dan melipatkan kedua kaki untuk menutupi bagian tubuhnya. "Harap maafkan keadaanku," katanya.

"Selama lima belas tahun dikurung, pakaianku hancur luluh menjadi bubuk."

"Tak apa-apa. Nanti kita bisa mencari beberapa potong pakaian untukmu. Kau tahu apa yang terjadi dengan tawanan-tawanan lainnya yang berjumlah empat orang?"

"Mereka masih hidup?"

"Mati semua."

"Tapi mereka bisa makan lumut di dinding karang itu...."

"Mereka dipenjarakan dilorong yang jauh dari sungai. Dinding karang yang mengurung mereka tidak menghasilkan lumut. Kita, aku, kau dan si Karang Sewu masih beruntung terpenjara di lorong dekat sungai. Kalau tidak nasib kita sama dengan empat tokoh silat itu. Mati secara mengenaskan, jadi jerangkong lapuk!"

Orang tua di hadapan Mahesa Kelud menghela nafas panjang. Dia berpaling. Saat itulah sepasang matanya membentur gundukan tanah merah. "Kuburan siapa itu? Kelihatannya masih baru sekali," si orang tua bertanya.

"Makam Karang Sewu. Orang yang telah menolong kita..." jawab murid Embah Jagatnata.

Mendengar keterangan Mahesa itu si orang tua kumpulkan seluruh kekuatannya lalu dengan beringsut dia mendekati makam Karang Sewu. Didepan makam dia membungkuk dalam memberi penghormatan.

"Aku tidak bisa membalas budi jasamu. Aku hanya bisa mendoakan agar Tuhan memberi tempat yang terbaik bagimu di akhirat..." kata si orang tua pula dengan suara tersendat. Dia berpaling pada Mahesa. 

Saat itu Mahesa berkata. "Kasihan kakek sakti itu. Rupanya Nenek Iblis mengetahui kalau Karang Sewu telah mengajarkan pukulan sakti Karang Sewu padaku agar aku bisa lolos. Waktu itu aku sedang bersiap-siap untuk keluar dari dalam penjara batu. Tahu-tahu perempuan iblis itu sudah menyelinap masuk kedalam penjara Karang Sewu dan langsung membunuh orang tua yang tidak berdaya itu!" Kini Mahesa yang menarik nafas panjang. "Orang tua," katanya pada orang yang duduk di depan makam Karang Sewu itu. "Kau masih belum terangkan siapa kau adanya."

"Aku orang jauh.... Datang ke sini tak tahunya hanya untuk mencari mati. Aku berasal dari tanah Bugis. Namaku Ulong Jamber. Suatu hari sekitar lima belas tahun yang lalu aku mendengar kabar selentingan tentang adanya delapan helai surat rahasia yang dilayangkan dari Gua Iblis ini. Bukan aku sombong, tapi begitulah. Tanah Bugis penuh dengan jago-jago silat dan orang-orang sakti. Mereka semua menyeberang ke tanah Jawa ini untuk dapatkan surat itu. Tapi aku lebih beruntung. Aku berhasil paling dulu mendapatkan salah satu dari delapan surat itu. Di tengah jalan, dalam perjalanan ke sini aku dihadang beberapa tokoh silat. Mereka memaksa aku menyerahkan surat. Bentrokan tak dapat dihindarkan. Semua menemui ajal di tanganku. Tapi tak tahunya Nenek Iblis penghuni Goa ini menipuku. Aku jauh-jauh datang untuk mendapatkan Cambuk Iblis yang menurut isi surat siapa yang memilikinya pasti akan merajai dunia persilatan delapan penjuru angin. Namun nasib yang kutemui adalah dipenjarakan sampai belasan tahun. Untung saja ada kau, kalau tidak mungkin untuk seumur hidup aku akan disekap di ruang batu karang itu! Aku berhutang nyawa padamu, Mahesa."

"Kau salah. Bukan padaku Ulong Jamber tapi pada Karang Sewu. Dan aku juga berhutang nyawa serta budi padanya...."

"Mahesa Kelud, kau beruntung memiliki ilmu pukulan Karang Sewu itu. Kau punya harapan besar akan merajai dunia persilatan. Tentunya kau sudah dapatkan Cambuk Iblis itu," kata Ulong Jamber.

Si pemuda tersenyum pahit. "Tentang Cambuk Iblis itu..." katanya, "Cerita kosong belaka!"

"Cerita kosong bagaimana?" tanya Ulong Jamber tak mengerti.

"Si Nenek Iblis sengaja menyebarkan delapan helai surat rahasia untuk menarik orang-orang dari kalangan persilatan agar datang ke sini, ke guanya, untuk dibunuh! Sedang maksud utamanya ialah memancing seorang jago tua bernama Simo Gembong yang tak lain adalah bekas kekasihnya sewaktu masih gadis." 

Untuk lebih jelas bagi Ulong Jamber maka Mahesa Kelud kemudian tuturkan kisah riwayat hidup si Nenek Iblis yang didengarnya dari Karang Sewu. Ulong Jamber tak habisnya geleng-gelengkan kepala begitu selesai mendengarkan penuturan Mahesa.

"Simo Gembong bukan seorang manusia yang mudah untuk dipancing," kata Ulong Jamber pula.

"Kau kenal dia dan di mana beradanya sekarang?" tanya Mahesa Kelud.

"Semua orang di dunia persilatan tak ada yang tak pernah dengar nama itu. Simo Gembong pernah menggetarkan dunia persilatan bahkan dianggap sebagai raja rimba persilatan secara tidak resmi. Kalau si Nenek Iblis ingin balaskan sakit hatinya dan kalau sekiranya Simo Gembong berhasil dipancingnya, maka sangat kecil kemungkinan bahwa si Nenek Iblis akan sanggup melayani jago tua itu sampai sepuluh jurus sekalipun! Tapi anehnya sekitar lima tahun belakangan ini Simo Gembong hilang lenyap begitu saja. Meskipun namanya tetap menggetarkan kalangan persilatan namun tidak satu orangpun tahu dimana dia berada...."

"Mungkin sudah mati?" ujar Mahesa Kelud. Ulong Jamber gelengkan kepala.

"Mustahil sesudah tahunan begini kalau dia mati tak ada satu manusiapun yang tahu. Yang menyulitkan ialah sepanjang pengetahuan dia tidak pernah mempunyai seorang muridpun sehingga sukar dicari jalan untuk mengikuti jejaknya. Semasa hidupnya karena kelakuannya yang buruk dia banyak punya musuh. Dia tukang mainkan anak gadis orang bahkan juga isteri orang. Dia perusak rumah tangga orang. Tapi setiap orang yang sakit hati dan mendendam kepadanya tidak berdaya berbuat suatu apa ketika mereka mengetahui siapa adanya orang yang mereka hadapi yaitu Simo Gembong. Seorang raja silat yang tak bisa dilawan meskipun dengan dikeroyok oleh lima pendekar silat kelas utama!"

"Sulit juga kalau begitu...." desis Mahesa Kelud.

"Apa yang sulit, anak muda?" tanya Ulong Jamber.

"Ulong, aku berterus terang padamu. Aku belum lama turun gunung. Ketika dilepas oleh guruku aku dibekali dua tugas berat. Yang pertama mencari pedang bernama Samber Nyawa dan yang kedua mencari serta membunuh Simo Gembong dengan pedang itu...."

Ulong Jamber termenung seraya kedua matanya yang mulai biasa dengan sinar matahari memandang ke kejauhan. "Tentang pedang Samber Nyawa itu tidak bisa dipastikan kebenaran adanya. Seribu satu cerita mengenai kehebatan pedang ini tersebar ke pelbagai penjuru namun di mana adanya itu senjata tak satu manusia pun yang tahu. Kau bilang tadi bahwa kau ditugaskan oleh gurumu untuk mencari Simo Gembong. Kalau aku boleh tahu Mahesa, siapa gurumu adanya?"

"Embah Jagatnata. Beliau diam di puncak gunung Kelud. Kau kenal padanya barangkali?"

Ulong Jamber gelengkan kepala. "Dia tentu seorang yang berilmu sangat tinggi. Tapi sayang aku baru kali ini dengar nama itu. Sebagai muridnya kau tentu punya ilmu tinggi pula, Mahesa. Ditambah lagi dengan pukulan Karang Sewu yang kau dapat dari Karang Sewu. Namun demikian untuk menghadapi Simo Gembong dalam menjalankan tugas gurumu itu nanti hati-hatilah. Selama hidupnya Simo Gembong tidak pernah menjadi seorang pecundang!"

"Aku tahu, mudah-mudahan aku berhasil menemukan pedang Samber Nyawa. Bila tidak, aku tetap akan lakukan tugas guruku sekalipun untuk berhasilnya aku harus bayar dengan nyawa."

"Kau seorang murid yang patuh, Mahesa. Gurumu tentu sangat menyayangimu," kata Ulong Jamber pula. Dia berdiri dan berkata: "Sebelum senja datang sebaiknya kita masuk ke dalam gua kembali untuk mencari secarik pakaian yang dapat menutupi tubuhku. Aku tak bisa kembali ke Bugis dengan telanjang seperti ini...."

Mahesa berdiri. Obor yang tadi dipadamkan kini dihidupkan kembali. Kedua orang itu masuk ke dalam gua. Menjelang senja mereka sudah keluar dan Ulong Jamber tampak memakai sehelai kain hitam. Kain ini milik si Nenek Iblis. Bagi Ulong Jamber adalah jauh lebih baik memakai kain perempuan yang dibencinya itu dari pada harus bertelanjang bulat.

"Malam ini sebaiknya kita bermalam saja disini. Besok pagi kau lanjutkan perjalanan dan aku sendiri akan kembali ke Bugis."

Mahesa Kelud mengangguk menyetujui usul Ulong Jamber itu. Pemuda ini segera mencari kayu dan ranting-ranting kering untuk membuat perapian.


***
DUA

PERLAHAN-LAHAN api perapian mulai padam. Mulut gua di mana kedua orang itu terbaring diliputi kegelapan. Sesosok tubuh bergerak seperti melayang-layang mendekati Mahesa Kelud yang tengah terbaring tidur dengan nyenyaknya. Sebagai orang berilmu tinggi yang punya naluri tajam biasanya jika ada orang yang melangkah di dekatnya, walau bagaimana pun nyenyaknya tidur Mahesa Kelud akan terbangun dengan cepat. 

Tapi kali ini anehnya tidak demikian adanya. Apakah makhluk yang mendekati si pemuda, berilmu lebih tinggi sehingga baik telinga maupun naluri perasaan Mahesa tidak sanggup menangkap suara kaki-kakinya yang melangkah? Sosok tubuh itu berlutut di hadapan Mahesa Kelud, tiba-tiba dia ulurkan kedua tangannya ke arah leher si pemuda. Jari-jarinya yang kurus-kurus panjang mencekik dan meronta. Kedua matanya membuka besar dan membentur satu wajah yang menyeramkan di atasnya. 

"Mampus! Mampuslah kau pemuda terkutuk." Kata makhluk itu. 

Mahesa yang sudah menyengal nafasnya dengan sekuat tenaga menghantamkan lututnya ke tubuh makhluk yang mencekiknya itu. Tapi tumitnya seperti mengenai angin kosong. Dipergunakannya tangan kanannya untuk memukul. Lagi-lagi dia hanya menghantam tempat kosong. Tanpa pikir panjang si pemuda yang untung saja masih belum kehilangan akalnya itu segera gulingkan diri ke samping. Cekikan pada lehernya terlepas. Dengan cepat Mahesa bangkit berdiri!

Betapa terkejutnya pemuda ini ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat itu. Tak lain si Nenek Iblis! Ada keanehan yang mengerikan pada diri makhluk itu. Wajahnya lebih mengerikan sedang tubuhnya seperti meliuk-liuk tak ubahnya laksana api pelita yang dihembus angin. 

Ketika dia melihat kaki itu sama sekali tidak menyentuh tanah maka maklumlah kini Mahesa Kelud dengan siapa dia berhadapan saat itu. Yang dilihatnya memang berwujud si Nenek Iblis yang tadi siang dibunuhnya, tapi sebenarnya hanya merupakan roh halusnya. Roh halus yang jahat atau jelasnya setan jadi-jadian!

Di malam yang sunyi dan dingin itu tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan makhluk dihadapan Mahesa. Tubuhnya bergerak mendekati pemuda itu, melangkah tanpa kaki menginjak bumi, seperti orang yang pandai melayang. Kedua tangannya terulur ke muka dan senantiasa mengarah ke batang leher Mahesa. Si pemuda mundur.

"Jangan lari Mahesa! Kau telah bunuh aku. Sekarang mari ikut sama-sama aku ke lobang neraka! Hi... hi... hi!"

"Pergi!" bentak si pemuda seraya hantamkan tangan kanannya ke muka. Tapi yang dipukulnya hanya udara kosong. Tubuh makhluk yang di hadapannya meliuk-liuk dan semakin dekat. Mahesa memukul lagi. Dia tahu bahwa tinjunya itu pasti sudah sampai di sasarannya tapi yang dipukulnya tetap saja udara kosong karena memang tubuh yang dipukulnya itu bukan tubuh kasar melainkan roh halus yang jahat!

Mahesa cepat melompat ke samping ketika setan si Nenek Iblis hendak mencekik lehernya. Dia meloncat lagi menjauh kira-kira sepuluh langkah. Setan jahat di hadapannya memutar tubuh dan mengejar. Mahesa maklum bahwa makhluk seperti itu tak bisa dihadapi dengan ilmu kasar. 

Cepat-cepat ini pemuda sedekapkan kedua tangannya di muka dada. Kedua matanya dipejamkan dan dalam hatinya dia mulai semedi membaca mantera. Setan perempuan jahat itu sampai di hadapan Mahesa Kelud dan segera mencekik leher si pemuda. Mahesa tak bergerak barang sedikit pun!

"Kau harus ikut aku ke neraka Mahesa! Harus ikut. Hi... hi... hi... hi...!" 

Mendadak suara tertawa cekikikan makhluk halus ini menjadi terhenti dan berganti dengan jeritan yang melolong setinggi langit! Tangannya yang mencekik terlepas dan kelihatan berubah menjadi asap! Makhluk ini menjerit terus dan mundur. Perlahan-lahan Mahesa membuka kedua matanya. 

Pandangannya yang tajam menyorot ke makhluk di hadapannya. Kedua tangan yang bersedekap di muka dada dibuka dan kini mengembang dengan telapak-telapak yang terpentang. Dari telapak tangan itu keluar angin sangat panas, menderu keras ke arah tubuh halus dari si Nenek Iblis. Inilah ilmu api yang berhasil dikuasai oleh Mahesa Kelud dengan sempurna ketika dia digembleng dipuncak gunung Kelud tempo hari oleh Embah Jagatnata.

"Tidak! Jangan.... Ampun!" terdengar jeritan setan Nenek Iblis.

Mahesa membuka mulutnya, "Makhluk halus, kembali ke tempat dari mana kau datang. Jangan gentayangan...."

"Tidak... ya... ya... aku kembali. Ampun!"

"Kembali cepat!"

Makhluk dihadapannya melayang meliuk-liuk ke arah pepohonan di mana di tempat yang kegelapan terbujur mayat si Nenek iblis. Di hadapan mayat ini makhluk tadi berhenti. Tubuhnya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit berubah menjadi kepulan asap tipis yang sesaat demi sesaat hilang lenyap dihembus angin malam yang dingin. 

Perlahan-lahan Mahesa Kelud menurunkan kedua tangannya yang terpentang lebar. Disekanya keningnya yang basah dengan keringat. Diaturnya jalan nafas dan jalan darahnya. Sesudah itu dia melangkah ke tempat di mana dia tadi tidur. Di sebelah sana dilihatnya Ulong Jamber pulas nyenyak. Apa yang telah terjadi tidak diketahuinya. Jeritan-jeritan makhluk halus tadi sama sekali tidak sampai kepada pendengarannya karena memang makhluk itu tidak bermaksud mencelakakannya tapi mencelakakan Mahesa Kelud. 

Sampai hari pagi, sampai ketika langit di sebelah timur mulai terang oleh singsingkan fajar, sesudah peristiwa mengerikan malam itu maka Mahesa Kelud tidak tidur barang sedikitpun. Dia duduk bersandar ke mulut gua. Sesaat kemudian dilihatnya tubuh Ulong Jamber bergerak tanda orang ini sudah bangun dari tidurnya.


***
TIGA

MAHESA KELUD keluar dari dalam sungai berair sejuk serta bening itu. Tubuhnya terasa segar sehabis mandi. Dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia melangkah ke tempat di mana dia meninggalkan pakaiannya. Di bawah pakaian itu diletakkannya pedang milik si Cakar Setan. 

Dia tak perlu khawatir akan dilihat atau dipergoki orang karena bagian sungai di mana dia berada saat itu adalah bagian yang tersunyi, lagi pula hari  masih sangat pagi. Selesai berpakaian maka pedang si Cakar Setan disisipkannya di belakang punggung dan dia segera melangkah hendak berlalu. Namun satu suara membentak serta merta membuat ini pemuda hentikan langkahnya.

"Maling busuk pembunuh keji, jangan pergi dulu!"

Suara itu keras tetapi halus seperti suara perempuan. Mahesa memutar tubuhnya dan memandang berkeliling. Tak ada satu orangpun yang dilihatnya. Dia jadi terheran-heran. Suara siapa tadi itu, pikirnya. Tiba-tiba dari sebatang pohon tak jauh di hadapannya melayang turun sesosok tubuh berbaju kuning. 

Dan di hadapan Mahesa Kelud kini berdirilah seorang gadis berparas jelita. Kulitnya putih. Dia memakai pakaian laki-laki berwarna kuning. Pakaiannya ini menambah kejelitaannya. Rambutnya yang hitam disanggul di atas kepala, dihiasi sekuntum bunga mawar kuning. 

Meskipun pandangannya menyorot dan beringas penuh kebencian pada Mahesa Kelud tapi justru inilah yang membuat parasnya jadi tambah cantik. Mau tak mau pemuda kita dibuat terpesona juga jadinya. Dari bentuk pakaian yang dikenakan oleh gadis itu Mahesa maklum bahwa si baju kuning ini adalah seorang gadis dari dunia persilatan. 

Tadi dia telah pula menyaksikan bagaimana ketika melayang turun tubuh si gadis tak ubahnya seperti seekor burung dan waktu kedua kakinya menyentuh tanah tidak sedikit suara pun yang kedengaran. 

"Gadis berbaju kuning, siapakah orang yang kau maki dengan kata-kata maling busuk dan pembunuh keji tadi...?" tanya Mahesa Kelud.

Si gadis mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya. "Dasar pemuda edan, masih tidak tahu diri! Cis!"

Mahesa Kelud menaikkan kedua alis matanya. "Aku edan katamu? Edan bagaimana...? Aneh! Baru kali ini bertemu muka tahu-tahu aku sudah dicap pemuda edan! Memangnya kenapa?"

"Kalau kau tidak edan tentu kau tak akan berlaku pura-pura tidak mengerti bahwa kaulah yang menjadi maling busuk dan pembunuh keji itu!" tukas si gadis ketus.

"Nah... nah... sekarang makin banyak gelaran atas diriku. Pemuda edan, maling busuk dan pembunuh keji. Kalau ada pemuda edan tentu ada pemuda benar. Kalau ada maling busuk tentu ada maling harum dan kalau ada pembunuh keji tentu ada pembunuh terhormat...," Mahesa tertawa. 

Ini membuat si gadis baju kuning di hadapannya jadi naik darah. "Pemuda criwis...!"

"Oh tambah satu lagi gelaranku?!"

"Diam! Tutup mulutmu!" bentak si gadis penuh gusar.

"Baik. Aku akan tutup mulut!" kata Mahesa Kelud pula sambil katupkan bibirnya rapat-rapat. 

Si gadis semakin gemas. Dia maju satu langkah. "Akui terus terang bahwa kaulah bangsatnya yang telah membunuh Cakar Setan, mencuri surat rahasia dan pedang Naga Kuning! Ayo akui!"

Mahesa Kelud bungkam seribu bahasa. Kedua bibirnya masih terkatup rapat.

"Ayo mengakulah!"

Mahesa masih diam.

"Kurang ajar! Jawab atau kau mau mampus lebih cepat?!"

"Kau ini bagaimana? Mana bisa aku menjawab kalau tadi kau suruh aku menutup mulut rapat-rapat? Kau suruh aku tutup mulut?!"

Saking gemasnya si gadis baju kuning mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu dia sampai hentakkan kaki ke tanah. "Kupecahkan mulutmu! Tidak tahu kau berhadapan dengan siapa? Aku muridnya si Cakar Setan yang akan mencabut nyawamu karena telah membunuh guruku!"

"Oh, jadi aku berhadapan dengan murid seorang pendekar ternama? Ah, mengapa tidak bilang dari tadi?" Mahesa Kelud menjura memberi penghormatan. 

Diperlakukan seperti itu si gadis baju kuning menjadi semakin penasaran. Wajahnya yang cantik jelita menjadi sangat merah. "Kembalikan pedang Naga Kuning itu padaku cepat!"

Mahesa memperhatikan jari-jari tangan si gadis. Jari-jari itu berkuku panjang tapi bagus dan rapi tanda mendapat rawatan yang baik. "Pedang itu tidak ada padaku," kata si pemuda menjawab pertanyaan murid Cakar Setan tadi. 

"Jangan dusta!" bentak si gadis. "Aku lihat sendiri senjata itu kau sisipkan di balik punggungmu sehabis mandi tadi!"

"Hem..." gumam Mahesa Kelud. "Jadi kau telah mengintip aku mandi?" Si pemuda mengulum senyum. "Seumur hidupku baru kali ini kuketahui ada gadis yang suka mengintip pemuda mandi. Biasanya pemudalah yang suka mengintip seorang gadis sedang mandi. Rupanya dunia sudah terbalik kini heh?!"

Air muka murid Cakar Setan menjadi merah untuk kesekian kalinya. "Pemuda rendah! Kau benar-benar menghina! Rasakan ini!" 

Dengan serentak si baju kuning menyerbu ke muka mengirimkan satu jotosan tangan kanan ke dada Mahesa Kelud. Merasakan angin pukulan yang keras, Mahesa Kelud cepat-cepat menggeser kedua kakinya dan mengelak. Jotosan yang hebat lewat. Begitu tinjunya mengenai tempat kosong si gadis dengan serentak membalik dan kini tinju kirinya yang melayang ke muka, rendah mengarah lambung Mahesa Kelud. 

Pemuda itu melompat ke samping. Dengan gusar si gadis lancarkan serangan susulan yakni berupa tendangan kaki kanan ke selangkangan Mahesa. Murid Embah Jagatnata tidak mau konyol. Serangan lawannya tidak main-main dan dengan cepat dia melompat ke atas seraya kembangkan kedua kakinya. 

Kalau dia mau, sambil melompat itu dia bisa mengirimkan satu serangan balasan ke kepala si gadis tapi entah mengapa Mahesa tidak mau melakukannya. Demikianlah selama beberapa jurus Mahesa Kelud senantiasa melayani si gadis dengan mengelak terus-terusan, tak mau menyerang.

"Manusia rendah?! Mengapa mengelak saja? Apa kau ingin mampus tanpa perlawanan?!" gertak si gadis baju kuning.

"Dengar sahabat...."

"Cis! Jangan panggil aku sahabat! Aku bukan sahabatmu! Aku ingin jiwamu, tahu? Ini! Mampuslah!" Murid si Cakar Setan mengirimkan serangan lagi, lebih dahsyat dari yang tadi. Kedua tinju menghantam ke muka, ke dada dan ke kepala Mahesa Kelud. Sambil lompatkan diri dia dengan serentak kirimkan pula tendangan kaki kiri ke perut lawan.

Mahesa rundukkan kepala. Jotosan lawan lewat. Serangan yang mengarah dada ditangkisnya dengan bentengan lengan sedang tendangan kaki si gadis ditunggunya dengan lipatan lutut kiri. Murid si Cakar Setan karena Mahesa Kelud terus-terusan bersikap bertahan dengan sendirinya sama sekali tidak mengetahui betapa tingginya tenaga dalam lawannya. Untuk mengadu kakinya dengan lutut lawan memang dia tidak berani tapi hantaman tangan kanannya tetap diteruskan.

"Buuukk!" Lengan si gadis beradu keras dengan lengan Mahesa Kelud. Si gadis terkejutnya bukan main. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang sedang lengannya terasa sangat sakit. Ketika dilihatnya ternyata kulit lengannya menjadi kemerah-merahan. 

Mahesa Kelud berdiri dengan tersenyum. "Gadis baju kuning," katanya, "Dari pada berkelahi tak tentu ujung pangkal sebaiknya mari kita bicara baik-baik. Apa yang kau ingini?"

"Siapa sudi bicara dengan manusia rendah, maling busuk dan pembunuh keji seperti kau! Kau boleh bicara dengan setan kuburan nanti!"

Dari balik pinggangnya gadis itu mengeluarkan sesuatu. Mahesa memperhatikan ingin tahu apa yang diambil lawannya. Ternyata sehelai selendang berwarna kuning.

"Senjata apa pula ini?" pikir Mahesa Kelud dalam hatinya.

"Pemuda edan, bersiaplah untuk mampus!
Agar kau mati tidak penasaran katakanlah dulu siapa namamu!"

"Kalau kau tanya namaku, Mahesa Kelud. Itulah. Sebaliknya namamu siapa gadis baju kuning...?"

"Namaku tanyakanlah nanti pada setan kuburan," jawab si gadis dan melompat ke muka seraya kebutkan selendang kuning yang di tangan kanannya. 

Mahesa Kelud cepat-cepat menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dingin dan tajam keluar dari selendang kuning tersebut. Matanya terasa agak perih. Pemuda ini bertindak hati-hati kini. Selendang di tangan si gadis merupakan senjata ampuh. Bisakah dia terus-terusan mengambil sikap bertahan, pikir Mahesa.

"Gadis baju kuning, dengarlah! Mari kita bicara secara baik-baik dulu. Aku...."

Sssret...! Selendang kuning menyambar ganas ke mukanya. Mahesa melompat mundur. Lawannya mengejar dengan melompat. Dia kebutkan selendangnya sekali lagi dan bersamaan dengan itu jari-jari tangan kirinya yang berkuku panjang diacungkannya ke depan coba mengoyak dada Mahesa Kelud. Melihat serangan ganas ini si pemuda membuang diri ke samping kanan. Tangan kanannya bergerak coba merampas selendang di tangan si gadis. 

Tapi dengan cerdik murid Cakar Setan putar selendang itu dan kini turun membabat ke arah perut Mahesa Kelud. Untuk kesekian kalinya murid Embah Jagatnata hindarkan diri dengan melompat. Serangan tangan kiri lawannya ditangkisnya dengan lengan kanan. Si gadis yang memaklumi ketinggian tenaga dalam lawan tidak berani lagi untuk mengadakan bentrokan. Cepat-cepat dia tarik pulang tangan kirinya dan sebagai ganti dia sorongkan lututnya ke muka seraya melompat ke atas. 

Melihat datangnya lutut lawan, Mahesa berkelit ke samping kiri tapi gerakannya ini disambut oleh si gadis dengan sambaran selendang. Walau selama ini dia senantiasa mengambil sikap bertahan maka serangan yang dahsyat itu sukar juga bagi Mahesa untuk mengelak tanpa mengirimkan serangan. Sekedar mengelak saja dia sanggup tapi masih ada kemungkinan sambaran selendang akan mampir di tubuhnya. 

Meskipun dia tidak sampai hati untuk balas menyerang terhadap lawannya yang cantik jelita itu namun Mahesa Kelud juga tidak mau kena dicelakai. Sambil elakkan serangan lutut dia merunduk dan kirimkan jotosan tangan kiri ke arah sambungan siku tangan yang memegang selendang dari si gadis. Di lain pihak si gadis menyadari bahwa selendangnya akan berhasil mencari sasaran di muka lawan namun untuk itu kemungkinan besar sambungan sikunya akan kena dipreteli. 

Dia tidak mau untung-untungan. Dia maklum kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi di balik jotosan Mahesa Kelud. Karenanya dia cepat-cepat tarik pulang tangan kanannya yang memegang selendang. Jotosan tangan kiri Mahesa jadi mengenai tempat kosong. Si pemuda tidak mau merugi begitu saja. Tangan kirinya di putar dengan cepat sedemikian rupa dan tahu-tahu balik menyambar ke arah selendang. Murid si Cakar Setan yang tahu maksud lawannya yaitu hendak merampas selendang tidak berdiam diri. Kaki kanannya bekerja, menendang ke pinggul Mahesa Kelud. 

Mahesa cepat-cepat membentengi tubuhnya dengan lipatan lutut kiri tapi dengan kecepatan yang luar biasa  si gadis tarik pulang kaki kanannya dan sebaliknya kini kaki kirinyalah yang menendang. Diam-diam Mahesa Kelud mengagumi juga kehebatan silat lawannya. Tangan kirinya yang tadi terulur untuk merampas selendang ditariknya dengan cepat. 

Tubuhnya miring ke kiri untuk hindarkan tendangan kaki lawan yang tak terduga. Celakanya waktu memiringkan tubuh itu salah satu kaki Mahesa Kelud terpeleset. Meskipun dia sanggup mengelakkan tendangan tersebut namun tak urung pakaiannya kena terserempet.

"Brett!"

Pakaian si pemuda robek besar. Mahesa Kelud memaki dalam hatinya. Dia melompat menjauh. "Gadis baju kuning," kata Mahesa. "Aku tanya untuk penghabisan kalinya, kau mau bicara dulu secara baik-baik atau tidak?!"

"Pemuda sedeng! Apa kau tuli dan tidak dengar kata-kataku tadi bahwa aku tidak sudi bicara dengan kau?!"

"Dengar, gadis sombong! Aku tidak mau cari urusan dengan kau...,"

"Sesudah kau curi pedang guruku, sesudah kau curi surat rahasia itu dan sesudah kau bunuh beliau kau bilang tidak mau cari urusan? Terkutuk! Pengecut!"

"Aku tidak melakukan itu semua! Bukan aku! Aku akan terangkan padamu...."

"Persetan dengan keteranganmu! Ringkas kata kau harus mampus di tanganku!" si gadis maju ke muka beberapa langkah.

"Gadis keras kepala!" maki Mahesa. "Orang sudah mengalah masih saja hendak lampiaskan nafsu amarahnya. Baik, majulah! Aku tak segan-segan lagi untuk main-main dengan kau. Silahkan mulai...!" Dan pemuda ini bersiap memasang kuda-kuda baru.


***
EMPAT

SI GADIS baju kuning melangkah maju mendekati pemuda yang menjadi lawannya itu. Diparasnya yang cantik jelita terbayang rasa kebencian yang amat sangat. Ini cukup menyatakan bahwa dia memang bertekad bulat untuk habisi nyawa Mahesa Kelud. Lima langkah dari hadapan lawannya, murid si Cakar Setan lompatkan diri. Tubuhnya melesat. Bersamaan dengan itu dia hantamkan kaki kirinya ke arah dada. 

Mahesa berkelit ke samping sambil mengirimkan jotosan tangan kanan ke muka si gadis. Dengan sangat gesit gadis baju kuning itu memutar tubuhnya di udara. Jotosan si pemuda lewat dengan mengeluarkan suara angin bersiuran. Tanpa menunggu sampai kedua kakinya menjejak tanah si gadis yang tadi tendangannya hanya mengenai tempat kosong ini kembali pergunakan kaki kanan untuk menendang sedang selendang di tangan kanannya berkelebat ke kepala Mahesa Kelud.

Mahesa Kelud merunduk. Tubuhnya dimiringkan ke samping sedikit. Begitu tendangan lawannya lewat dia melompat dengan kedua tangan terulur ke muka coba hendak menangkap pinggang lawannya. Tapi si gadis tidak bodoh. Cepat dia lipatkan lutut kanan dan hantamkan ke kepala Mahesa. Melihat ini Mahesa cepat-cepat tarik pulang tangannya. Seperti satu pohon besar yang tumbang, murid Embah Jagatnata jatuhkan dirinya ke tanah, lalu bergulingan. 

Dan sambil bergulingan ini dia berusaha menangkap kaki kiri si gadis yang menjejak tanah. Tapi lebih cepat, dengan gesit si gadis melompat ke atas dan kebutkan selendangnya. Kebutan selendang hanya mengenai tempat kosong karena Mahesa sudah berlalu dan beberapa saat kemudian pemuda ini sudah berdiri di sebelah sana dengan bertolak pinggang. Diam-diam pemuda ini mengagumi kehebatan lawannya.

"Ilmu silatmu hebat, baju kuning!" memuji Mahesa Kelud. "Cuma sayang, mengapa kau keras kepala, tidak mau mendengar keterangan orang lebih dahulu?!"

"Jangan bermulut besar. Terima ini!" Si gadis memutarkan selendang kuningnya di atas kepala. Terdengar suara angin menderu. Tiba-tiba selendang itu melayang turun dengan deras ke arah pundak kanan Mahesa Kelud. 

Dengan tenang pemuda ini menyingkir ke samping kiri. Tidak terduga sambaran selendang dengan cepat berubah dan kini memapas ke perut Mahesa Kelud. Pemuda ini melompat ke belakang, si gadis memburu. Pada saat inilah Mahesa kelihatan berkelebat cepat dan tahu-tahu dia lenyap dari pandangan si gadis!

Murid si Cakar Setan penasaran. Dia gertakkan gerahamnya karena menyangka si pemuda yang menjadi musuh besarnya itu melenyapkan diri alias kabur ambil langkah seribu. Tapi alangkah terkejutnya ketika di belakangnya dia dengar suara orang yang diiringi suara tertawa mengejek. 

"Jangan kebingungan baju kuning! Aku ada di sini!"

Dengan cepat si gadis balikkan tubuh dan di hadapannya dilihat Mahesa Kelud berdiri bertolak pinggang, mengulum senyum mengejek. Mendidih darah gadis ini. Dengan cepat dia melompat ke muka dan kebutkan selendangnya. Tapi lagi-lagi dia dibikin kecele karena serangannya itu cuma mengenai tempat kosong.

"Aku di sini, di sampingmu! Mengapa menyerang angin?!"

"Pemuda rendah! Tunggulah! Sebentar lagi kupecahkan kepalamu!" bentak si gadis.

"Ah! Dari tadi kau cuma bilang sebentar lagi, sebentar lagi! Tapi buktinya kosong semua. Percuma kau jadi murid si Cakar Setan!"

"Setan alas! Jangan hina guruku!" Dengan amarah meluap si gadis baju kuning kirimkan serangan berantai yang cepat. Tubuhnya berkelebat. Tinju kiri, kebutan selendang dan tendangan kaki datang ganti berganti bahkan tak jarang secara berbarengan, bertubi-tubi seperti hujan!

Namun semua serangan itu, semua ilmu kepandaian yang dipelajarinya selama tahunan pada gurunya, sedikitpun tidak membawa hasil! Mahesa Kelud yang menjadi lawan gerakannya jauh lebih cepat dari dia sendiri sehingga tubuh si pemuda seakan-akan lenyap. Tak terasa lagi keduanya telah bertempur dua puluh jurus lebih!

Si gadis baju kuning menghentikan serangannya dengan tiba-tiba. Dia berdiri sembilan langkah di hadapan Mahesa Kelud. Diaturnya jalan nafas serta aliran darahnya dengan cepat sedang kedua matanya menyorot ganas pada si pemuda. Mahesa tetap berdiri di tempat dengan tenang dan masih saja mengulum senyum. Meskipun dia tahu bahwa murid si Cakar Setan itu bertekad bulat untuk habisi nyawanya. 

Namun untuk membenci dan melakukan serangan balasan yang dapat membuat cidera pada si gadis dia tidak sampai hati. Karena itu sengaja dipermain-mainkannya murid Cakar Setan itu. Mahesa memperhatikan bagaimana si gadis memindahkan selendang kuning yang di tangan kanannya ke tangan kiri. Kemudian tangan kanan itu bergerak ke balik punggung. Dan sebatang pedang berwarna putih berkilauan kena sinar matahari kini tergenggam di tangan tersebut. Diam-diam Mahesa Kelud terkejut juga melihat senjata ini. Tapi dengan tersenyum dia berkata:

"Aha.... Seorang murid pendekar ternama tidaklah malu sampai memakai dua senjata untuk menghadapi seorang lawan yang bertangan kosong?!"

"Terhadap manusia busuk sepertimu tidak usah pakai segala peradatan persilatan! Yang penting kau harus mampus! Habis perkara!" bentak si gadis.

Habis membentak begitu tubuhnya melompat ke muka. Pedang di tangan kanan memapas ke kepala, selendang kuning menyambar ke dada sedang tendangan kaki kanan menghantam ke bawah perut! Benar-benar rangkaian serangan luar biasa dahsyat dan mematikan! Ketiga serangan itu mengeluarkan angin tajam yang bersiuran.

"Trang!"

Terdengar suara beradunya senjata. Si gadis merasakan tangan kanannya yang memegang pedang tergetar keras. Selendangnya menghantam tempat kosong, demikian juga tendangannya. Dan sesaat kemudian di muka sana dilihatnya Mahesa Kelud jungkir balik lantas berdiri dengan cepat, memasang kuda-kuda sedang di tangan kanannya sudah tergenggam sepucuk pedang berwarna kuning. Pedang Naga Kuning! Si gadis sampai tidak dapat melihat sama sekali bagaimana cepatnya si pemuda mengambil pedang tersebut.

Melihat pedang gurunya di tangan lawan semakin memuncaklah amarah si gadis. Tak menunggu lebih lama lagi dia segera menyerang kembali. Dua tubuh berkelebat cepat. Pedang putih dan selendang kuning menggempur pedang kuning. Tapi gempuran itu menemui jalan buntu karena si pemegang pedang kuning pagi-pagi sudah putar senjatanya sedemikian rapat sehingga tidak memberikan kesempatan sama sekali bagi lawannya.

Ketika dia kena didesak hebat, diam-diam si gadis memaklumi bahwa sampai seratus jurus di muka, meskipun dia keluarkan semua ilmu simpanannya namun dia tak akan sanggup menghadapi lawannya. Hatinya meradang karena dia tidak bisa menuntut balas melepaskan sakit hatinya terhadap pemuda ini yang diketahuinya sebagai pembunuh gurunya, yang telah mencuri pedang Naga Kuning dan surat rahasia!

Sudah lama dia kuntit pemuda ini. Ketika bertemu ternyata dia tidak sanggup menghadapinya! Si gadis akan merasa sangat penasaran bila dia tidak sanggup sekurang-kurangnya untuk memberikan sedikit hajaran pada lawannya yang tangguh itu. Lantas saja dia menyerang kembali. Dia keluarkan satu tipuan hebat yang oleh gurunya digelari dengan "undur-undur menyeret mangsa”. 

Pedang dan selendang berputar siam, berdengung suaranya tak ubahnya seperti sepasang undur-undur di dalam lobang yang tengah menjebak seekor semut atau binatang kecil lainnya. Mahesa Kelud kagum juga dengan kehebatan serangan ini. Dia putar pedangnya ke arah dada, antara siuran selendang dan pedang lawan, tapi mendadak sontak serangan si gadis berubah dengan sangat cepat. 

Namun demikian pemuda berkepandaian tinggi ini tidak menjadi gugup. Dia geser kedua kakinya. Tubuhnya miring ke kanan. Ujung pedang dikirimkannya ke tenggorokan lawan tapi tidak terus untuk menusuk melainkan diputarkan seperti gasing. Angin keras yang keluar dari ujung pedang itu menutup lobang hidung si gadis, membuat nafasnya menjadi sengal! Cepat-cepat dia papaskan pedangnya pada senjata lawan.

"Trang!"

Untuk kesekian kalinya senjata masing-masing beradu keras mengeluarkan suara nyaring dan memercikkan bunga api. Dalam saat yang sama untuk menghindarkan lawan mengirimkan serangan susulan, si gadis kebutkan selendangnya ke muka si pemuda tapi tidak diduganya sama sekali tangan kiri Mahesa Kelud bergerak cepat dan berhasil memegang ujung selendangnya! Si gadis terkejut, kini terjadilah hal yang menegangkan.

Pedang masing-masing yang tadi saling beradu kini masih menempel satu sama lain dengan ketat. Dorong mendorong terjadi. Sementara itu tangan-tangan kiri mereka saling tarik-tarikan selendang kuning! Si gadis kerahkan tenaga dalamnya yang ampuh pada kedua tangannya. Namun dengan sangat cepat tenaga dalam lawan yang lebih hebat berhasil mendorong tenaga dalamnya. Keringat dingin bercucuran di wajah si baju kuning itu. 

Sebaliknya di lain pihak Mahesa Kelud cuma senyum-senyum. Dia dapat memastikan bahwa selendang si gadis akan kena dirampasnya. Mengetahui bahwa tenaga dalamnya berada jauh di bawah si pemuda maka cepat-cepat murid Cakar Setan lepaskan selendangnya. 

Dia terpaksa lakukan ini. Kehilangan selendang adalah lebih baik daripada dia harus mendapatkan kerusakan hebat dalam bagian tubuhnya akibat bentrokan dengan tenaga dalam lawan. Dengan satu lompatan cepat gadis itu kemudian mundur ke belakang. Selendangnya kini berada dalam tangan Mahesa Kelud.

"Pemuda terkutuk! Kalau aku terpaksa harus pergi saat ini jangan sangka aku mengaku kalah terhadapmu! Satu hari aku akan datang lagi untuk menyelesaikan perhitungan kita saat ini!"

Mahesa Kelud tertawa. Ketika dilihatnya gadis itu memutar tubuh, dia berseru. "Hai, baju kuning! Mengapa cepat-cepat? Ini selendangmu, ambillah kembali!" 

Tapi si gadis tidak perdulikan seruan itu. Dia lari dengan mempergunakan ilmu lari cepat "kijang dewa". Mahesa Kelud menggeleng-gelengkan kepalanya. Selendang kuning yang di tangan kirinya diputar-putarkan di atas kepala lalu dilepas dengan tiba-tiba. Meskipun cuma sehelai selendang dari kain biasa namun orang yang melemparkannya bertenaga dalam tinggi maka selendang itu melesat laksana anak panah ke arah si gadis. 

Murid si Cakar Setan terkejut bukan main ketika merasakan suatu benda menyambar ke lehernya. Ketika diraba dan dilihatnya ternyata benda itu adalah selendang sendiri yang tadi kena dirampas Mahesa dan kini melingkar di lehernya. Sambil lari terus dia menoleh ke belakang dan dilihatnya Mahesa Kelud melambaikan tangan sambil senyum-senyum. 

Si gadis geramnya bukan main. Dia meludah ke tanah dan lari terus. Mahesa Kelud bimbang seketika sebelum dia ambil keputusan. Dengan cepat pedang Naga Kuning di tangannya dimasukkannya ke balik punggung pakaian lalu dengan mempergunakan ilmu lari "kaki angin" dia segera susul gadis itu. Dia tidak tahu bahwa tindakannya ini akan melibatkannya pada suatu peristiwa besar dikemudian hari.


***
LIMA

GADIS berbaju kuning, murid almarhum si Cakar Setan tidak tahu kalau dirinya diikuti orang. Dia lari terus dengan cepat. Kira-kira beberapa ratus tombak di belakangnya menyusul Mahesa Kelud. Pemuda ini kalau mau bisa susul si gadis tapi dia ingin tahu ke mana si cantik tersebut pergi maka dia mengejar diam-diam. Meski larinya cepat namun tidak sedikitpun mengeluarkan suara. Bahkan kedua kakinya itu seakan-akan tidak pernah menyentuh tanah.

Ketika sampai kesatu puncak bukit hari sudah rembang petang. Jauh di kaki bukit sebelah timur kelihatan sebuah kampung. Gadis yang dibuntutinya lari ke jurusan kampung ini dan Mahesa mengikuti terus. Agaknya telah terjadi sesuatu di kampung ini. Si gadis menghilang di balik kelokan jalan. Waktu Mahesa sampai di kelokan jalan maka di ujung sana, di hadapan sebuah rumah kajang beratap rumbia kelihatanlah beberapa sosok tubuh manusia bergelimpangan. 

Si gadis baju kuning terkejut bukan main. Dia hentikan larinya di hadapan manusia yang bergelimpangan itu. Mukanya menjadi pucat pasi. Semua orang yang menggeletak di tanah sudah tidak bernyawa lagi. Di tubuh mereka kelihatan bekas tusukan-tusukan serta bacokan-bacokan senjata tajam. Pakaian mereka basah oleh darah!

Tanpa menunggu lebih lama si gadis segera memutar tubuhnya dan lari ke dalam rumah. Begitu dia menghilang di balik pintu maka Mahesa Kelud sampai pula di hadapan manusia-manusia yang terbujur di tanah itu. Dan belum lagi beberapa lama dia berdiri di sana maka dari dalam rumah di dengarnya suara jeritan melengking.

"Ibu...!"

Mahesa terkejut. Kedua alis matanya menaik. Dia memandang ke arah rumah. Terdengar lagi suara jeritan perempuan memanggil ibunya. Dengan segera pemuda ini berlari masuk ke dalam rumah tersebut. Di sini pemandangan lebih mengerikan lagi. Gadis baju kuning tadi dilihatnya memangku mayat seorang perempuan separuh baya yang pakaiannya bermandikan darah. Bahu kirinya hampir putus oleh bacokan senjata.  

Si gadis baju kuning seperti orang gila menggoyang-goyang tubuh yang sudah tidak bernafas itu sambil tiada hentinya menangis dan memanggil-manggil ibu... ibu...."Ibu... apa yang telah terjadi? Siapa yang melakukan semua ini? Siapa?! Ibu, katakanlah!" si gadis goyang-goyangkan lagi mayat perempuan itu.

"Ibumu tak akan bisa menjawab.... Kasihan dia, baringkan di atas balai-balai sana dan jangan digoyang-goyang seperti itu...."

Seperti mendengar suara halilintar, demikianlah terkejutnya si gadis ketika mendengar suara tersebut. Dia putarkan kepala dengan cepat dan pandangannya membentur sosok tubuh Mahesa Kelud. Serta merta dibaringkannya kepala ibunya di lantai lalu gadis ini melompat bangkit. Seraya cabut pedangnya dia memaki.

"Pemuda keparat! Berani-beranian kau ikuti aku?! Bangsat! Kau benar-benar minta mampus! Terima ini." Bersamaan dengan itu si gadis segera babatkan pedangnya ke arah kepala Mahesa Kelud. 

Dengan cepat Mahesa Kelud menghindar ke samping. Dia berkata: "Gadis baju kuning, urusan kita bisa ditunda dulu. Sebaliknya mari kita urus mayat ibumu dan usut apa yang telah terjadi serta siapa yang telah melakukan ini semua."

Si gadis begitu serangannya mengenai tempat kosong segera hendak melayang lagi, tapi ketika mendengar kata-kata yang diucapkan Mahesa Kelud tadi yang dirasakannya memang betul, maka dia menjadi bimbang. Pedangnya yang tadi naik ke atas siap untuk dibacokkan perlahan-lahan diturunkan ke sisinya. Kaki tangan serta sekujur tubuhnya menjadi lemas. Pada detik itulah terdengar satu suara yang sangat pelahan, antara terdengar dan tiada yang sama-sama mengejutkan si gadis dan Mahesa Kelud.

"Benar, Wulan.... Apa yang dikatakan pemuda itu memang benar...." 

Mahesa dan si gadis sama memutar kepala dan terdengarlah jerit si gadis: "Paman Menggala! Kau...!" Gadis itu melompat dan menjatuhkan dirinya di sudut rumah di mana terhantar seorang laki-laki tua berambut putih. Keadaannya lebih menderita dari ibu si gadis. Pakaiannya penuh darah dan luka-luka bekas tusukan pedang serta golok. Dikarenakan dia memiliki ilmulah yang menolongnya sampai saat itu masih sanggup bernafas, meskipun dengan sengal-sengal megap tanda umurnya tidak akan lama lagi.

"Paman! Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan semua ini...?!"

Di kala ajal hendak meregang, laki-laki tua itu masih bisa melontarkan sekelumit senyum pada keponakannya. "Syukur, syukur kau datang Wulan. Dengar Wulan... yang melakukan ini adalah Adipati Suto Nyamat beserta kaki-kaki tangannya Lima Brahmana sesat.... Mereka...."

Kulon Menggala cuma bisa bicara sampai di situ. Kepalanya terkulai dan nyawanya melayang meninggalkan raga. Seperti orang gila si gadis menjerit dan menghunus kembali pedangnya yang tadi sudah disarungkan. Dia lari ke pintu: "Suto Nyamat keparat! Kucincang kau...!"

Mahesa Kelud cepat pegang lengan kiri gadis itu. "Wulan," katanya. "Ingat jangan bertindak ceroboh dan gila seperti ini!"

Sebagai jawaban Wulansari menyerang pemuda itu dengan hebatnya. Mahesa berkelebat cepat. Pedang di tangan gadis menghantam dinding kajang di sampingnya dan bobol besar. Si gadis memburunya dan kirimkan serangan ganas untuk kedua kalinya. Kali ini Mahesa Kelud bertindak cepat. Sekali dia menggerakkan tangan kanannya maka dia sudah berhasil merampas pedang Wulansari.

"Wulan! Ingatlah...!"

Nafas si gadis memburu. Dadanya turun naik. Dia memandang ke pedangnya yang kini berada di tangan Mahesa Kelud, lalu memutar tubuh dan menangis sesenggukan. Mahesa menjadi kebingungan tak tentu apa yang diperbuat. Sejurus kemudian dia keluar dari rumah dan masuk ke rumah tetangga yang terdekat. 

Di dalam rumah ini seorang nenek-nenek ditemuinya tengah memeluk dua orang anak yang masih kecil-kecil, mungkin sekali cucunya. Diparas si nenek yang tua keriputan jelas terbayang rasa ketakutan yang amat sangat. Nenek dan cucu-cucunya sama terkejut dan membelalak ketika melihat ada orang masuk.  Mereka menyangka Mahesa adalah kaki tangan Adipati yang kejam buas.

"Nenek, tak usah takut. Orang-orang jahat itu sudah pergi semua. Di luar sana, di jalanan, banyak mayat-mayat bergelimpangan. Tolonglah bantu aku memberitahukan tetangga-tetangga agar kita semua bisa mengurus jenazah-jenazah tersebut."

Si nenek memandangi Mahesa Kelud sejurus lamanya kemudian mengangguk. Tak lama kemudian setelah dipanggil, penduduk-penduduk kampung yang tadinya mendekam di dalam rumah masing-masing baru datang berbondong-bondong. 

Maka hebohlah isi kampung itu. Ada yang menjerit, ada yang menangis ketika melihat sanak saudara atau anak-anak mereka yang mati bergelimpangan di jalan akibat kekejaman Adipati Suto Nyamat dan kaki-kaki tangannya. Jenazah-jenazah yang tak berdosa itu diangkat dan dibawa ke rumah masing-masing. 

Mahesa dengan bantuan beberapa orang penduduk segera mengurus jenazah ibu dan paman Wulansari. Sementara semua orang sibuk hanya gadis itu sendiri duduk bingung tak tahu apa yang hendak diperbuat. Sekujur tubuhnya lemah lunglai tiada daya namun di dalam hatinya berkobar dendam kesumat yang tiada taranya. Sejak dia diambil murid oleh si Cakar Setan, maka selama beberapa tahun dia tidak pernah bertemu atau menyambangi ibu serta pamannya itu. 

Ketika dia baru punya kesempatan untuk datang menjenguk tahu-tahu yang ditemuinya hanyalah ibu serta pamannya yang tengah meregang nyawa! Ayah dia juga sudah tidak punya karena dibunuh oleh bangsat-bangsat Kadipaten tukang fitnah ketika dia masih kecil. Kini dia menyadari bahwa dia hidup sebatang kara di dunia ini, yatim piatu tidak punya ayah tidak punya ibu. Mengingat ini kembali Wulansari menangis tersedu-sedu.


***
ENAM

SEBELUM kisah dilanjutkan sebaiknya lebih dulu kita buka lembaran riwayat hidup keluarga Wulansari di masa lampau. Ayah gadis ini bernama Jarot Singgih, berasal dari keturunan orang kebanyakan juga. Tapi ketika dia menjabat kedudukan sebagai orang besar yaitu menjadi wakil Bupati Madiun dan ditambahkan gelar kepadanya maka dia kemudian disebutkan orang Raden Mas Jarot Singgih. 

Tak selang berapa lama Bupati Madiun meninggal dunia. Sebagai wakil maka dengan sendirinya Raden Mas Jarot Singgih yang akan memangku jabatan Bupati Madiun. Tapi malang akan tiba, malapetaka akan datang maka muncullah seorang tukang fitnah besar!

Pada masa itu yang memerintah di Pajang adalah Pangeran Adiwijaya. Daerah kekuasan Pajang sangat luas sehingga Adiwijaya tak bisa meneliti dan memperhatikan daerah-daerah yang jauh yang berada di bawah tangannya.  Untuk ini maka diangkatlah beberapa orang Bupati di kota-kota besar seperti Tuban, Gresik, Pati, Demak, Pemalang, Blitar, Banyumas, Kedu, serta Madiun.

Bagaimana sifat dan cara Bupati-bupati itu menjalankan tugas tidak pula diperhatikan oleh Adiwijaya. Segala sesuatunya dipercayakan kepada mereka, diserahkan kepada mereka, termasuk urusan mengenai keamanan dan kesejahteraan rakyat. Justru inilah yang kemudian menimbulkan munculnya golongan-golongan penjilat tukang fitnah, berhati busuk bermulut penghasut. 

Mereka ini adalah segolongan pembesar-pembesar yang dekat dengan Sri Baginda Pangeran Adiwijaya yang tak segan-segan memeras bahkan mengorbankan nyawa rakyat untuk mengeruk keuntungan sendiri. Mereka juga tidak segan-segan melancarkan fitnah terhadap kawan sendiri demi mendapatkan pangkat tinggi dan kedudukan empuk!

Adiwijaya, sebagai seorang raja muda sama sekali tidak menyadari bahwa banyak dari pembesar-pembesar istana yang dekat dengan dia adalah manusia-manusia kintel penjilat dan pemfitnah serta korup!

Salah seorang dari pembesar yang termasuk golongan seperti yang kita sebutkan di atas itu adalah Suto Nyamat. Sebagai seorang yang rapat dengan Sri Baginda maka oleh raja Pajang itu dia pernah dijanjikan untuk diberikan jabatan sebagai seorang Bupati. Setelah ditunggu lama masih juga belum ada pengangkatan dari Baginda. Kemudian terbetiklah kabar bahwa Bupati Madiun meninggal dunia. Ini suatu kesempatan besar bagi Suto Nyamat untuk menjadi pengganti. 

Tapi celakanya Baginda memutuskan bahwa Jarot Singgih, yang dulu menjadi wakil Bupati Madiun yang akan diangkat sebagai pengganti. Bukan main geramnya Suto Nyamat. Lagi pula memang dia sudah lama dengki iri hati terhadap Jarot Singgih karena Jarot Singgih terkenal sebagai seorang pembesar jujur dan baik.

Suto Nyamat mencari akal. Mau tidak mau dia harus menjadi Bupati Madiun dan singkirkan Jarot Singgih. Maka dilancarkannyalah fitnah busuk beracun. Pada masa itu memang terdapat banyak Bupati-bupati yang menentang dan memberontak terhadap Raja Pajang Adiwijaya. 

Suatu hari datanglah Suto Nyamat menghadap Adiwijaya memberikan laporan yang tak lain dari pada fitnah belaka. Diterangkannya bahwa Jarot Singgih diam-diam tengah menyusun balatentara bersiap-siap untuk memberontak kepada Pajang. Adiwijaya tidak menyelidiki kebenaran laporan itu dan celakanya dia percaya saja bahkan memberikan wewenang kepada Suto Nyamat untuk menumpas kaum pemberontak Madiun itu dan menangkap Jarot Singgih.

Dengan sepasukan besar balatentara kerajaan maka berangkatlah Suto Nyamat ke Madiun. Hari itu Madiun banjir darah. Penduduk yang tak berdosa dibunuhi. Adipati Jarot Singgih yang disuruh tangkap hidup-hidup juga dibunuh tanpa  kemanusiaan oleh Suto Nyamat. Adipati ini atau ayah Wulansari mati secara mengerikan. 

Tubuhnya penuh dengan bacokan pedang serta golok dan tusukan tombak. Wajahnya hancur luluh tak bisa dikenali! Masih untung bagi isteri sang Adipati yang sempat lari menyelamatkan diri bersama anaknya dan seorang kakak laki-lakinya yaitu Menggala. Ketiga orang ini bersembunyi dan diam di satu rumah kecil di kampung yang terletak dikaki bukit subur. 

Kaki-kaki tangan Suto Nyamat terus mencari mereka tapi tidak berhasil menemukan. Suto Nyamat berhasil mencapai cita-citanya. Dia diangkat oleh Adiwijaya menjadi Bupati Madiun. Tapi seisi Madiun tahu bahwa kursi kebesaran Kadipaten yang didudukinya berlumur dengan darah Jarot Singgih dan darah rakyat jelata yang dibunuhnya tanpa dosa, karena ingin jabatan dan kuasa semata!

Menggala, paman Wulansari kenal baik dengan pendekar kenamaan yang digelari si Cakar Setan. Ketika Menggala hendak menyerahkan keponakan satu-satunya itu kepada pendekar tersebut, ibu Wulansari melarang keras.

"Wulan seorang perempuan, Mas. Tak perlu segala macam ilmu begituan," kata perempuan itu.

Menggala tertawa mendengar ucapan adiknya. "Justru karena dia seorang perempuanlah maka dia lebih perlu belajar silat. Kau tahu, dunia ini kini penuh dengan manusia-manusia jahat berhati kotor! Kau agaknya tidak ingat,  karena tidak punya kepandaian silatlah sampai suamimu menemui ajalnya di tangan Suto Nyamat keparat itu! Aku ingin melihat keponakanku menjadi seorang yang perkasa meskipun dia cuma seorang perempuan! Lagipula selama Suto keparat itu masih hidup, maka selama itu pula kaki-kaki tangannya akan mencari kita, berarti selama itu pula bahaya tetap mengancam kita...."

"Kalau aku boleh tanya, Mas," memotong ibu Wulansari. "Mengapa kau sendiri sebagai laki-laki tidak belajar ilmu silat?"

"Itu adalah kesalahan orang tua kita sendiri yang tak mau menyerahkan kita pada seorang pandai atau seorang guru," jawab Menggala.

"Jika demikian mengapa tidak kau saja kini yang pergi berguru pada si Cakar Setan itu?"

Laki-laki itu tersenyum. "Jika ingin belajar ilmu silat luar dalam harus sedari kecil. Sudah tua dan ubanan serta sakit-sakitan sepertiku ini mana bisa? Otot-otot sudah pada kaku, tenaga sudah kendor!"

Akhirnya ibu Wulansari mengalah. Maka diantarlah Wulansari ke tempat kediaman si Cakar Setan. Sejak itu, selama bertahun-tahun sampai menjadi seorang gadis muda remaja Wulansari menjadi salah seorang murid pendekar kenamaan si Cakar Setan.


***

Sesudah semua jenazah termasuk jenazah ibu Wulansari dan pamannya dikebumikan, maka dari beberapa orang penduduk, gadis yang malang itu serta Mahesa Kelud mendapat keterangan mengenai peristiwa berdarah yang melanda kampung mereka itu. Menjelang tengah hari, serombongan pasukan berkuda memasuki kampung Banjaran, kampung Wulansari. Rombongan ini tak lain adalah pasukan Kadipaten yang dipimpin langsung oleh Adipati Suto Nyamat. 

Bersama mereka terlihat pula lima orang berjubah putih berkepala botak yang tak lain dari pada Lima Brahmana sesat yang cukup menggetarkan dunia persilatan karena ilmu mereka yang hebat. Maksud mereka datang ke kampung Banjaran itu ialah untuk menangkap Menggala, paman Wulansari atau kakak laki-laki dari ibu si gadis. 

Rupanya Adipati Suto Nyamat berhasil juga mencari tahu di mana bersembunyinya sisa-sisa keluarga mendiang Raden Mas Jarot Singgih. Dan baginya, selama sisa-sisa keluarga Jarot Singgih masih hidup maka ini adalah merupakan bahaya besar. Keluarga itu harus ditumpas dimusnahkan sebelum mereka angkat senjata untuk balas dendam. 

Suto Nyamat kemudian mengajak Lima Brahmana berkepala botak untuk membantu dia membikin beres Menggala. Pasukan Kadipaten Madiun di bawah pimpinan Suto Nyamat membanjir memasuki rumah kecil di mana Menggala dan adik perempuannya tinggal. Menggala melawan mati-matian ketika dia hendak di tangkap. Maka terjadilah pertempuran yang dahsyat. 

Di samping Suto Nyamat sendiri memiliki ilmu yang tinggi maka kelima Brahmana yang mendampinginya adalah lebih berbahaya lagi. Tentu saja mereka semua bukan tandingan Menggala, ditambah pula dengan prajurit-prajurit Kadipaten yang rata-rata juga memiliki kepandaian silat. Meskipun demikian, Menggala berusaha bertahan bahkan coba mengirimkan serangan balasan kepada musuh-musuhnya itu. 

Tapi sia-sia belaka. Di antara kecamuknya suara senjata maka terdengarlah suara jeritan melengking yang menyayat hati. Jeritan seorang perempuan! Menggala meloncat mundur dan palingkan kepala. Bukan main terkejutnya pendekar tua itu ketika melihat adik kandungnya menggeletak di lantai rumah dalam keadaan mandi darah. Bahu kirinya hampir putus akibat babatan pedang seorang prajurit Kadipaten. Melihat ini maka mengamuklah Menggala. Golok besar yang menjadi senjatanya membacok kepala prajurit yang membunuh adiknya sampai terbelah dua!

"Kurung rapat!" teriak Suto Nyamat ketika melihat Menggala mengamuk seperti banteng terluka dan keluarkan ilmu simpanannya. 

Tak sampai beberapa jurus di muka maka akhirnya robohlah Menggala. Orang-orang kampung Banjaran yang melihat peristiwa itu yang menyangka bahwa manusia-manusia jahat yang datang itu adalah gerombolan rampok segera lari ke rumah Menggala untuk memberikan bantuan. Akan tetapi maksud suci mereka ini harus mereka bayar dengan korbankan nyawa. 

Pasukan-pasukan Kadipaten Madiun bukan lawan mereka, apalagi Suto Nyamat serta kelima Brahmana. Meskipun manusia-manusia penimbul malapetaka itu sudah lama pergi tapi orang-orang kampung masih saja bersembunyi di rumah masing-masing karena ketakutan, terutama kaum perempuan serta anak-anak.


***
TUJUH

SIANG berganti dengan malam. Terang berubah menjadi gelap. Di dalam rumah Wulansari suasana berkabung kelihatan dengan nyata. Sampai saat itu Mahesa Kelud masih berada di sana diantara para tetangga yang datang menjenguk. Meskipun dia berada lama di rumah tersebut tapi boleh dikatakan Mahesa tidak bicara barang sepatahpun dengan Wulansari. 

Diam-diam pemuda itu perhatikan si gadis. Meskipun parasnya kini kuyu dan kedua matanya sembab karena menangis namun kecantikan asli yang dimiliki Wulansari tetap terlihat dengan nyata. Tak jarang ketika tengah memperhatikan Wulansari, si gadis memandang pula kepadanya sehingga sepasang mata mereka saling beradu. Dan kalau sudah begitu Wulansari cepat-cepat membuang muka.

"Apakah dia masih membenciku...?" tanya Mahesa Kelud dalam hati.

Di malam di mana suasana berkabung itu, tiada terduga datanglah seorang tamu perkasa. Begitu sosok tubuh si tamu muncul di ambang pintu maka berteriaklah Wulansari.

"Kakek...!" Gadis ini bangkit dari duduknya dan lari menubruk tamu yang baru datang lalu memeluknya dan menangis tersedu-sedu. "Kakek Sentot... malapetaka menimpa kita." kata si gadis dengan terputus-putus antara sedu sedannya. "Ibu serta paman mati di bunuh bangsat Suto Nyamat!"

Si kakek usap-usap rambut gadis itu lalu membimbingnya kembali ke tempat duduk. "Aku tahu... aku tahu cucuku," kata si kakek sambil memandang berkeliling. 

Mahesa memperhatikan orang ini. Perawakannya sedang, meskipun sudah tua tapi masih kekar. Kedua matanya kecil namun tajam sedang rambutnya yang seharusnya sudah putih tapi kelihatan masih hitam. Kemudian terdengar suara si kakek kembali, 

"Sudahlah Wulan, apa yang sudah berlalu biar berlalu. Yang harus kita pikirkan adalah persoalan mendatang. Walau bagaimanapun kita harus bikin perhitungan dengan Suto Nyamat serta kaki-kaki tangannya. Tapi kita harus sadari pula bahwa Suto Nyamat dan kawan-kawannya bukan orang sembarangan. Karena itu Wulan, kau harus ikut ke tempat kediamanku di hutan Bangil untuk kuberikan tambahan ilmu silat. Pelajaran yang kau terima dari si Cakar Setan masih belum berarti untuk dipakai menghadapi Suto Nyamat serta kawan-kawannya. Suto Nyamat sendiri mungkin masih mampu kita hadapi, tapi kawan-kawannya. Mereka rata-rata orang-orang pandai tingkat tinggi!"

"Tapi kakek... tanah kubur ibu dan paman masih merah. Tidak tega bagi saya untuk meninggalkannya." ujar Wulansari sambil menyeka air matanya.

"Aku dapat mengerti kau punya perasaan cucuku dan aku bangga punya cucu seperti kau. Tapi untuk diam lebih lama di sini bisa berbahaya. Jika Suto Nyamat dan kawan-kawannya mengetahui bahwa ada turunan Jarot Singgih yang masih hidup, mereka pasti akan bunuh kau...."

"Ucapan kakekmu itu memang benar, Wulan. Kau harus menyingkir dari sini sampai tiba saatnya untuk balas dendam...." kata satu suara pula.

Si gadis palingkan kepala ketika mendengar suara itu dan parasnya yang jelita berubah dengan seketika menjadi bengis ketika dia melihat siapa adanya orang yang bicara.

"Pemuda tidak tahu diri!" bentaknya seraya melompat dan cabut pedangnya dari balik punggung. 

Orang banyak yaitu para tetangga yang berada di ruangan menjadi terkejut dan singkirkan diri. "Apa urusanmu maka kau masih mendekam di sini?! Jangan ambil tampang dan jual muka di hadapan orang banyak!" 

Wulansari papaskan pedangnya ke muka Mahesa Kelud. Orang-orang perempuan berpekikan sedang si pemuda cepat-cepat hindarkan diri ke samping. Si kakek juga tidak kurang terkejut ketika melihat cucunya mencabut pedang dan menyerang seorang pemuda bertampang keren yang ada di ruangan tersebut.

"Wulan! Tahan! Apa-apaan kau ini...!" seru si kakek. Dan dengan satu lompatan yang cepat serta enteng tahu-tahu dia sudah berada di hadapan si gadis.

"Kakek, minggirlah!" teriak Wulansari. "Kau tidak tahu siapa adanya pemuda laknat itu!"

"Siapa dia?!" tanya Sentot Bangil.

"Dialah yang telah membunuh si Cakar Setan, guruku! Dia juga merupakan maling besar pencuri pedang Naga Kuning serta surat rahasia milik guru!"

Mendengar ini Sentot Bangil terkejutnya bukan main. Dia segera mencabut senjatanya yakni sebatang golok panjang berhulu perak. Kakek dan cucu kemudian melangkah ke hadapan Mahesa Kelud.

"Orang tua, biarkan aku bicara dulu!" kata Mahesa cepat.

"Tutup mulut busukmu, keparat! Sebentar lagi kepalamu akan pisah dengan badan!" semprot Wulansari dan untuk kedua kalinya dia kirimkan serangan pedang putihnya yang kini menusuk ke dada kiri Mahesa.

Untuk kedua kalinya pula si pemuda mengelak cepat menghindarkan serangan itu. Si gadis yang sudah naik pitam dengan ganas melancarkan serangan susulan. Karena ruangan itu sempit dengan jungkir balik Mahesa Kelud masih sanggup menyelamatkan diri dari serangan yang mematikan itu.

"Kakek!" seru Mahesa sekali lagi. "Tahan cucumu yang kalap itu! Biarkan aku bicara dulu!"


***

Melihat bagaimana Mahesa Kelud dengan cekatan berhasil menyelamatkan diri dari serangan cucunya yang berbahaya tadi maka diam-diam si kakek menjadi kagum. Pemuda ini tentunya murid seorang sakti berilmu tinggi, pikirnya. Rupanya antara si pemuda dan Wulansari ada sesuatu yang tidak beres. Dia pegang bahu cucunya dan berkata, "Wulan, tahan dulu seranganmu, biarkan dia bicara!"

"Kakek Sentot! Perlu apa mendengarkan manusia pembunuh dan maling bejat ini?!" tukas Wulansari.

"Cucumu salah sangka kakek!" kata Mahesa pula. "Karena itu biar aku terangkan segala-galanya!"

"Jangan perdulikan dia! Dia pendusta besar!" teriak si gadis.

Si kakek tarik tubuh cucunya ke belakang lalu berkata pada Mahesa: "Bicaralah apa yang kau mau bicarakan. Tapi bila omonganmu hanya dusta dan palsu belaka, kau harus mampus di ujung golokku, mengerti?!"

"Sebelum aku beri keterangan, bolehkan aku tahu dengan siapa aku berhadapan?" tanya Mahesa.

Si kakek menyeringai. Hatinya mulai tertarik dengan pemuda yang tahu peradatan ini. "Anak muda," katanya, "Orang-orang memanggil aku Pendekar Budiman. Kau boleh panggil aku dengan sebutan itu...."

Mau tak mau Mahesa Kelud menjadi terkejut ketika mendengar gelar yang dikatakan si kakek itu. Ketika masih digembleng oleh Embah Jagatnata sang guru pernah menerangkan kepadanya bahwa di hutan Bangil diam seorang kakek sakti yang pada masa mudanya pernah mengelana di delapan penjuru angin untuk memberikan pertolongan pada rakyat jelata yang kesusahan dan tertindas, untuk membasmi manusia-manusia jahat yang bertebaran di sana sini. Karena itu dia kemudian mendapat gelaran "Pendekar Budiman". Dan tak disangka sama sekali kalau kini Mahesa berhadapan dengan jago tua yang namanya pernah menghiasi halaman emas dari kalangan dunia persilatan itu.

Cepat-cepat si pemuda menjura beri hormat seraya berkata: "Harap dimaafkan kalau aku telah bertindak gegabah. Tak tahunya tengah berhadapan dengan seorang gagah!"

Sentot Bangil alias Pendekar Budiman menjadi lebih tertarik. Dia balas bertanya: "Kau sendiri siapa, anak muda? Kau datang dari mana dan siapa gurumu?"

Mahesa Kelud tersenyum: "Namaku Mahesa Kelud, aku datang dari gunung Kelud dan hanya seorang pemuda gunung yang bodoh...."

Sementara itu Wulansari yang menjadi gemas karena kakeknya bicara ramah tamah dengan musuh besarnya segera putar tubuh dan pergi duduk ke tempatnya semula. Sentot Bangil yang tahu kalau pemuda itu merendahkan diri tak mau bertanya lebih lanjut. Dia berkata: "Aku menunggu keteranganmu Mahesa."

Si pemuda memandang berkeliling, melirik sekilas pada Wulansari baru membuka mulut. "Pendekar Budiman, aku tidak menyalahkan kalau cucumu salah sangka terhadapku. Jika seandainya aku menjadi murid si Cakar Setan dan menemui seseorang lain yang berada dalam keadaanku, maka aku pasti akan tuduh orang lain itu sebagai pembunuh dan maling busuk! Tapi dengan adanya kesempatan bagiku untuk memberikan keterangan kuharap segala sesuatunya nanti akan menjadi jernih...."

Mahesa Kelud kemudian memberikan keterangan mulai dia melihat nyala pelita yang keluar dari sebuah pondok... menemui si Cakar Setan yang tengah meregang nyawa... sampai kepada pertempuran dengan Warok Kate.

"Satu soal kini menjadi jelas bagi Pendekar dan cucumu bahwa bukan aku tapi Warok Kate-lah yang telah membunuh si Cakar Setan," ujar Mahesa.

"Kau bisa saja jual omongan kosong di hadapan kami!" tukas Wulansari tiba-tiba. "Siapa tahu bahwa kaulah yang membunuh guru dan Warok Kate datang untuk membantu dia tapi tak sanggup hadapi kau!"

Merahlah air muka Mahesa Kelud mendengar kata-kata itu. Tapi dia berusaha untuk menenangkan diri. Dia berkata: "Demi kehormatanku aku bersumpah bahwa aku tidak memberikan keterangan palsu kepada kalian!"

Pendekar Budiman yang sementara itu berdiam diri saja kini angkat bicara, mengajukan pertanyaan, "Lantas, kalau bukan kau yang membunuh si Cakar Setan, apa perlunya kau curi pedang Naga Kuning milik laki-laki itu. Dan mengapa kau ambil pula surat rahasia yang ada di dalam pedang?!"

"Sudahlah, kakek Sentot!" memotong Wulansari sambil berdiri dari duduknya. "Mengapa kita harus bicara panjang lebar dengan cecunguk ini! Kita bereskan saja dia saat ini juga!"

Bukan main jengkelnya Mahesa Kelud dikatakan "cecunguk" seperti itu. Untung saja dia masih sanggup tahan hati. Kalau saja yang mengatainya itu bukan Wulansari seorang gadis jelita, tapi seorang laki-laki, tak perduli siapapun adanya, pasti dia sudah melompat ke muka dan tampar mulutnya.


***
DELAPAN

TANPA menoleh pada cucunya, Pendekar Budiman dari hutan Bangil berkata: "Duduklah kembali ke tempatmu, Wulan. Kita dengar dulu keterangan dan jawabannya. Jika memang dia bukan manusia yang bisa dipercaya dia tak akan bisa lari dari ujung golokku!" Si kakek melintangkan senjatanya di muka dada dan berkata pada Mahesa: "Jawab pertanyaanku tadi, anak muda."

"Dua pertanyaanmu itu, yang jelas mengandung tuduhan juga merupakan persoalan-persoalan yang harus kujernihkan." sahut Mahesa Kelud. "Kuambil pedang Naga Kuning milik si Cakar Setan bukanlah dengan maksud mencuri, tapi untuk maksud lain yaitu menghindarkan agar jangan senjata sakti itu jatuh ke tangan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Bukan tak mungkin Warok Kate kembali ke pondok si Cakar Setan dan mengambil senjata tersebut. Jika sampai demikian tentu nama si Cakar Setan dan murid-muridnya akan menjadi ternoda dalam kalangan persilatan. Lalu kuambil pedang itu. Aku yakin suatu ketika aku akan bertemu dengan salah seorang murid si Cakar Setan, mungkin juga Jaliteng. Dan kalau itu kejadian nanti, aku akan kembalikan pedang tersebut kepadanya...."

"Aku adalah seorang murid si Cakar Setan!" berkata Wulansari dengan suara keras. "Mengapa ketika aku minta senjata tersebut kau tidak mau berikan?!"

"Sebelum aku jawab pertanyaanmu," sahut Mahesa pula. "Aku akan ajukan satu pertanyaan lebih dahulu. Kalau kau seorang pendekar yang mengerti peradatan tata tertib sesama orang persilatan, apakah ketika kau meminta senjata tersebut kau telah memakai peradatan? Bahkan kau telah menyerang aku tanpa memberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan!"

"Oh, jadi aku harus berlutut dan menyembah atau meratap minta dikasihani padamu lalu baru kau mau berikan itu pedang? Cis! Sampai pisah kepala dengan badan aku tidak akan sudi!" kata Wulansari.

"Siapa yang suruh kau harus berlutut dan menyembah atau meratap?!" balik bertanya Mahesa Kelud. Pertanyaan ini membuat Wulansari menjadi merah kulit mukanya sampai ke telinga. "Yang aku inginkan ialah agar kau mengenal sedikit tata tertib sesama orang persilatan, tahu peradatan dan tahu menghormati, apalagi kau seorang gadis...."

"Sudah! Tutup mulutmu!" bentak Wulansari dengan gemasnya. Dengan mempersabar hatinya Mahesa memalingkan kepalanya kepada si kakek tua Pendekar Budiman. 

"Mengenai surat rahasia itu, memang aku juga yang mengambilnya, kutemui dalam gagang pedang Naga Kuning...." Mahesa kemudian memberikan keterangan lagi yaitu melanjutkan keterangannya yang pertama tadi. Diceritakannya bagaimana dia sampai ke Gua Iblis, lalu menjadi tawanan si Nenek Iblis, ditolong oleh Karang Sewu sampai akhirnya dia bisa menyelamatkan diri dari gua maut tersebut sesudah membereskan si Nenek Iblis.

Si orang tua yang mendengarkan keterangan Mahesa Kelud manggut-manggut sedang Wulansari tetap bermuka asam dan tak acuh. Berkata Pendekar Budiman: "Kalau kisahmu tidak satu kedustaan belaka, maka itu adalah satu kisah yang hebat sekali! Kalau aku boleh tanya, Mahesa, apa perlumu kemudian mengikuti cucuku sampai ke sini...?"

Mahesa menjadi gugup. Dia terdiam tak bisa berikan jawaban sedang air mukanya kelihatan berubah menjadi semu merah. Untung saja dia lekas mendapat akal dan memberikan jawaban untuk menutup rasa malunya. "Aku ingin meyakinkan bahwa dia adalah benar-benar murid si Cakar Setan sehingga jika seandainya aku memberikan pedang Naga Kuning itu nanti kepadanya, aku tidak akan kesalahan tangan."

Si kakek tua yang sudah punya pengalaman hidup puluhan tahun tersenyum mendengar jawaban pemuda itu. "Sekarang kau sudah yakin bahwa cucuku adalah benar-benar muridnya si Cakar Setan?"

Mahesa anggukkan kepala.

"Kalau begitu kembalikanlah pedang itu," kata Pendekar Budiman pula. 

Tanpa ragu-ragu Mahesa Kelud mengambil pedang Naga Kuning yang tersisip di belakang punggungnya dan memberikan senjata itu kepada si kakek. Pendekar Budiman menggelengkan kepalanya dan berkata,

"Berikanlah langsung pedang ini kepada orang yang berhak menerimanya."

Mahesa Kelud jadi terkesiap mendengar kata-kata itu. Dia goyangkan pedang yang di tangannya maksudnya untuk memaksa si kakek agar dia saja yang berikan pedang tersebut kepada cucunya tapi lagi-lagi Pendekar Budiman gelengkan kepalanya seraya mengulum sekelumit senyum. Dengan muka tebal kemudian Mahesa melangkah ke hadapan Wulansari.

"Wulan," kata ini pemuda dengan suara agak kikuk. Untuk pertama kalinya dia berdiri sedekat itu dengan si gadis sehingga dia lebih jelas dapat melihat bagaimana kehalusan kulit serta kecantikan wajahnya. "Wulan terimalah pedang Naga Kuning ini kembali!"

Si gadis bangkit dari duduknya secara tiba-tiba. Dirampasnya dengan kasar pedang Naga Kuning dari tangan si pemuda. Secepat kilat senjata itu kemudian dicabutnya dan dipakai untuk menyerang Mahesa Kelud. Meskipun si pemuda mempunyai ilmu tinggi serta gesit setiap gerakannya, namun diserang tak terduga serta jarak mereka sangat dekat sekali maka dia tak punya kesempatan untuk mengelak. Mahesa Kelud masih coba membuang  diri namun tak urung bahu kirinya kena dimakan oleh ujung pedang. Pakaiannya robek sedang kulitnya luka dan berdarah.

"Wulan!" seru Sentot Bangil seraya melompat ke hadapan cucunya ketika si gadis hendak menyerang untuk kedua kalinya. Dicekalnya tangan Wulansari dan dirampasnya pedang Naga Kuning dari tangan gadis itu. "Mengapa kau serang dia, Wulan? Dia pemuda baik!"

"Dia pendusta besar! Aku tidak percaya padanya! Dia pembunuh guruku!" kata Wulansari pula dengan suara keras tetapi parau. Dari kedua matanya yang bening keluar butiran-butiran air mata. Gadis ini memutar tubuhnya dan lari keluar rumah.

Sementara itu Mahesa Kelud berdiri tersandar ke dinding di belakangnya. Tangan kanannya memegangi bahunya yang terluka. Meskipun lukanya tidak besar dan tidak banyak mengeluarkan darah namun karena pedang yang dipakai melukainya adalah sebuah pedang yang ampuh tak urung pemuda itu kerenyitkan kening menahan keperihan. Dia kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tubuh yang terluka itu. Si kakek Pendekar Budiman datang menghampirinya dengan cepat lalu memapahnya ke sebuah balai-balai kayu.


***

Malam telah larut dan udara tambah dingin. Namun sampai saat itu Wulansari masih saja duduk di bawah pohon di luar rumahnya. Dia masih seseduan dan matanya kembali menjadi balut karena menangis. Bila dia teringat pada ayahnya, ibu serta paman dan gurunya yang ke semua orang-orang yang dikasihinya itu telah tiada maka kembali berderailah air matanya.

Dalam keadaan pikiran yang kacau balau itu maka teringatlah dia pada Mahesa Kelud, pemuda yang sejak ditemuinya pertama kali dibencinya setengah mati. Namun sesudah kejadian tadi, sesudah dia menyerang pemuda itu sampai terluka pada bahunya, diam-diam jauh di lubuk hatinya dia merasakan satu penyesalan. Seperti seseorang yang bicara, maka Wulansari mendengarkan suara hatinya berkata,

"Wulan... bukan pemuda itu yang tak tahu diri, tapi kau. Bukan pemuda itu yang jahat, tapi kau. Mengapa kau serang dia? Mengapa kau lukai dia? Mengapa kau lukai hatinya padahal dia berlaku jujur dan baik terhadapmu? Dia telah terangkan bahwa bukan dia yang membunuh gurumu... dia telah terangkan tentang surat rahasia itu, surat rahasia yang pasti membawa bencana terhadapmu... jika seandainya surat itu jatuh ke tanganmu, maka kaulah yang akan ditimpa malapetaka. Secara tidak langsung dia telah selamatkan jiwamu dari renggutan maut di Gua Iblis dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.

Wulan... kau berdosa besar telah menyakiti hati pemuda itu. Kau berdosa besar karena telah menyerang dan melukainya ketika dia kembalikan pedang itu padamu dengan hati yang jujur. Mengapa kau berbuat demikian? Apakah kau tidak pernah mendapat ajaran agar berbudi kepada setiap orang yang baik? 

Apakah kau bukannya murid pendekar Cakar Setan... apakah kau bukannya anak Jarot Singgih... apakah kau lupa bahwa kau adalah cucu Pendekar Budiman... apakah kau akan lunturkan nama baik keluargamu dengan perbuatanmu yang tak tahu membalas budi itu? Kau salah Wulan... salah. Kau jahat... ya, kau jahat! Kau harus minta maaf pada pemuda itu... kau harus minta maaf kepadanya!"

Mendengar suara hatinya yang sangat nyaring terdengar pada kedua telinganya maka semakin berderaian air mata Wulansari dan semakin besar rasa penyesalan yang melekat di kalbunya. Tapi bukan mustahil kalau semua keterangannya adalah dusta belaka untuk menyembunyikan maksud jahatnya...." kata si gadis dalam hati.

Maka menjawablah hati kecil Wulansari. "Jangan bodoh, Wulan. Kalau dia seorang jahat dia tidak akan membantu menyelesaikan jenazah ibu serta pamanmu. Kalau dia orang jahat niscaya sesudah kau bikin cedera padanya dia akan balas dendam kepadamu saat itu juga. Kau harus sadar Wulan, harus insyaf...!"

Angin dingin bertiup lirih. Perlahan-lahan si gadis berdiri dan melangkah menuju ke rumah.  Di atas balai-balai ruang tengah dilihatnya kakeknya tertidur pulas dan nyenyak. Setelah memperhatikan orang tua itu sejurus Wulansari kemudian melangkah menuju ke pintu yang tertutup dari sebuah kamar di dalam mana, di atas sebuah balai-balai bambu yang dialasi tikar pandan putih terbaring tubuh Mahesa Kelud. 

Pemuda ini segera terbangun dari tidurnya dan bukakan sedikit kedua matanya ketika dia mendengar suara langkah-langkah kaki di dalam rumah. Lain orang mungkin tidak akan dengar suara tersebut tapi Mahesa yang sudah berilmu tinggi tidak demikian adanya. Pemuda itu terkejut ketika didengarnya langkah-langkah kaki tersebut berhenti di depan pintu kamarnya. Dalam keadaan tubuh tetap terbaring dia segera bersiap-siap. 

Kemudian dilihatnya pintu kamar itu terbuka dan seseorang masuk ke dalam. Melihat siapa adanya orang yang masuk ini, Mahesa Kelud menjadi lebih terkejut. Kedua matanya ditutupkan kembali, berbuat pura-pura tidur tapi kewaspadaannya dipertinggi. Hatinya bertanya-tanya apa maksud orang ini datang kepadanya.

"Saudara," terdengar suara orang itu. Halus dan bergetar. "Tak usah berpura-pura tidur."

"Apa perlumu datang ke kamar ini? Ingin menghabisi nyawaku? Kalau demikian lakukanlah segera!" kata Mahesa Kelud tanpa membukakan kedua matanya.

"Tidak saudara. Aku datang untuk meminta maaf...." 

Mahesa kaget dan membuka kedua matanya lebar-lebar. "Minta maaf...?" tanyanya seperti orang yang tak percaya atas pendengarannya.

Wulansari menganggukkan kepalanya dan menunduk. Pemuda itu tersenyum sinis. "Beberapa saat yang lalu kau begitu membenciku, beberapa saat yang lalu kau bertekad bulat untuk habisi nyawaku, dan adalah aneh kalau tahu-tahu kini kau datang meminta maaf. Apakah yang telah terjadi agaknya eh...?!"

"Aku menyadari bahwa aku salah dan telah menyakiti hatimu bahkan menyerang dan melukaimu. Karena itu aku minta maaf. Itupun kalau kau sudi. Kalau tidak, tak apa-apa..." Wulansari memutar tubuhnya hendak berlalu.

"Tunggu dulu," kata Mahesa cepat. Pemuda ini bangun dan duduk di tepi balai-balai bambu. Dipandangnya gadis yang berdiri di hadapannya itu beberapa lamanya lalu berkata, "Lupakanlah segala kejadian yang lewat. Itu merupakan pelajaran bagimu untuk masa mendatang. Kau habis dari mana tadi?"

"Di luar, duduk sendirian di bawah pohon...." jawab gadis itu dengan tundukkan kepala.

"Mengapa duduk di sana dan tidak pergi tidur?"

"Tidak apa-apa...."

Mahesa Kelud kemudian baru ingat bahwa di dalam rumah itu cuma ada satu kamar tidur dan dua balai-balai. Balai-balai yang pertama di pakai oleh Sentot Bangil sedang yang satu lagi ialah yang berada dalam kamar itu yang tadi ditidurinya. Mahesa menatap lagi si gadis. "Kau tentu letih dan mengantuk..." katanya seraya berdiri. "Tidurlah di sini, aku bisa cari tempat lain...." 

Si gadis angkat kepala. "Tapi saudara...."

"Ah tak usah panggil saudara segala. Sebut saja namaku, Mahesa." potong pemuda itu.

"Tapi kau... tapi kau masih sakit, Ma... Mahesa. Jangan pikirkan aku, kau perlu tidur dan istirahat."

"Siapa bilang aku masih sakit?" ujar Mahesa Kelud. "Aku sudah sembuh!"

"Luka dibahumu?"

"Ah, cuma luka kecil saja. Tak apa-apa."

"Mahesa...."

"Ya?"

"Kau masih belum memaafkan aku...."

Si pemuda menatap paras gadis itu. Karena Wulansari tidak lagi menundukkan kepalanya maka pandangan mereka jadi saling bertemu. Wulan cepat-cepat kembali menundukkan kepalanya sedang Mahesa berkata,

"Kalau aku sudah bersedia melupakan hal yang telah lewat, berarti aku sudah memberi maaf kepadamu, Wulan...."

"Terima kasih Mahesa..." kata Wulansari. 

Untuk pertama kalinya Mahesa Kelud kemudian melihat gadis itu tersenyum kepadanya, satu senyum yang manis sekali. "Nah, kau tidurlah dengan nyenyak. Besok pagi-pagi sekali aku akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan."

Meskipun si gadis berusaha untuk menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar kata-kata Mahesa Kelud itu, tapi si pemuda masih dapat mengetahuinya. Diam-diam dia jadi heran.

"Mahesa, apakah kau membenci padaku?" tanya Wulansari pula.

"Tidak. Mengapa...."

"Marah mungkin?"

"Juga tidak."

"Mengapa kau terburu-buru pergi? Sebenarnya kemanakah tujuanmu?"

"Ada beberapa urusan atau tepatnya beberapa tugas yang aku harus laksanakan."

"Tugas apakah?" tanya Wulansari ingin tahu.

"Tugas dari guruku, ah tak usah kau tahu. Malam telah larut kau sudah ngantuk dan harus tidur."

"Aku tak ngantuk, Mahesa. Aku ingin dengar keteranganmu," memohon si gadis.

Mahesa tatap paras jelita itu sejurus. "Lain kali sajalah Wulan...."

"Lain kali kapan. Bukankah besok kau akan pergi... Mahesa?"

Pemuda itu berdiri dengan bimbang. Dia buang jauh-jauh perasaannya yang bukan-bukan terhadap gadis itu dan berkata, "Lain kali masih ada kesempatan, Wulan. Aku harus pergi sekarang. Kau tidurlah...." 

Dengan kecewa Wulansari merebahkan dirinya di atas balai-balai bambu dimana sebelumnya Mahesa Kelud berbaring. Di luar sana si pemuda tak habis pikir apa yang telah menyebabkan gadis itu menjadi berubah ramah terhadapnya. Apa hanya karena kesadaran belaka bahwa dia memang bukan orang yang membunuh gurunya...? Atau mungkin...? Pemuda itu menggelengkan kepalanya.


***
SEMBILAN

KEESOKAN paginya.... Mahesa Kelud sudah berkemas-kemas untuk berangkat. Ditemuinya Sentot Bangil alias Pendekar Budiman yang saat itu tengah bicara dengan Wulansari di dalam rumah.

"Pendekar Budiman," kata Mahesa memanggil si kakek dengan gelarnya. "Aku minta diri karena harus pergi sekarang...."

"Pergi? Mengapa cepat-cepat? Kau mau pergi ke mana, Mahesa?" tanya si kakek.

"Aku sendiri sebenarnya tidak tahu harus pergi ke mana. Tapi aku mempunyai beberapa tugas untuk dilaksanakan."

"Tugas apa agaknya?"

Mahesa tak segera menjawab. Dia melirik pada Wulansari yang berada di sampingnya. Melihat ini si kakek tua segera berkata pula,

"Tak apa kalau kau tak mau menerangkan tugas-tugasmu itu, Mahesa...."

"Biarlah aku terangkan agar puas hatimu. Lagi pula Wulansari memang pernah menanyakannya," kata pemuda itu. Lalu dia terangkan empat buah tugas yang dipikulkan di atas pundaknya yaitu mencari pedang Samber Nyawa dan manusia bernama Simo Gembong. Tugas-tugas ini adalah dari gurunya Embah Jagatnata. Kemudian dua tugas yang lain yakni menghambakan diri di kesultanan Banten dan mencari Dewi Maut yang berdiam di Lembah Maut.

Si kakek geleng-gelengkan kepalanya. "Dari ke empat tugas yang harus kau laksanakan itu cuma tugas menghambakan diri di Banten yang sedikit ringan. Yang tiga lainnya terus terang saja aku mungkin belum mampu melaksanakannya. Tapi untung kau sudah diambil murid oleh si Karang Sewu. Dengan ilmu pukulan yang ampuh itu kau punya harapan besar untuk bisa melaksanakan tugasmu dengan baik. Kalau kau tanyakan tentang Simo Gembong, itu adalah satu hal yang aku tidak tahu banyak. Aku memang sering dengar nama pendekar sakti itu, tapi tak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Entah masih hidup, entah sudah mati. Dia hilang lenyap begitu saja. Tentang Lembah Maut, kalau aku tidak salah terletak di ujung timur tanah Jawa ini, yaitu di bekas kerajaan Blambangan. Kemudian pedang Samber Nyawa.... Dulu dari seorang pengemis aneh aku mendapat keterangan bahwa pedang yang menjadi pembicaraan menarik bagi orang-orang di kalangan persilatan itu tersembunyi di sebuah pulau. Aku sendiri tidak dapat mempercayai apakah senjata sakti luar biasa tersebut memang benar-benar ada. Karenanya keterangan pengemis tadi tidak aku perdulikan, tiada aku lakukan penyelidikan...."

"Terima kasih... terima kasih atas keteranganmu, Pendekar Budiman...."

"Mahesa, kau selalu saja panggil aku dengan gelar itu. Tak usah pakai peradatan terhadapku. Panggil saja dengan kakek Sentot sebagaimana yang dilakukan oleh Wulansari!" kata Sentot Bangil dengan tersenyum. "Tentang maksudmu untuk pergi, memang kami tidak bisa menahan ataupun melarang kau. Namun mengingat bahwa kau sudah memberikan pertolongan pada cucuku, aku mohon janganlah tanggung-tanggung. Untuk menghadapi bangsat-bangsat Kadipaten Madiun seperti Suto Nyamat, Lima Brahmana dan lain sebagainya, memang tenaga kami berdua masih belum bisa diandalkan. Apalagi jika sekiranya nanti Suto Nyamat berhasil membeli hulubalang-hulubalang raja untuk melindunginya."

"Kakek Sentot, kalau kau mengharapkan bantuanku, aku bersedia dengan hati ikhlas. Tapi terus terang saja, aku sendiri tidak punya ilmu apa-apa..." ujar Mahesa Kelud.

"Kau selalu saja rendahkan diri, Mahesa. Aku senang padamu. Ketahuilah bahwa tidak sembarang orang sanggup memiliki ilmu pukulan Karang Sewu yang dahsyat itu. Terus terang saja kurasa ilmuku belum tentu berada di atas ilmumu. Namun meskipun demikian kutawarkan padamu untuk ikut bersama-sama Wulan ke tempatku di hutan Bangil. Kita harus mengadakan persiapan sebelum melakukan balas dendam terhadap Suto Nyamat dan kaki tangannya. Itupun kalau kau sudi, mengingat belum satu pun tugas yang dipikulkan di pundakmu yang kau laksanakan...."

Mahesa Kelud termenung sejurus. Dipikirkannya tawaran si kakek itu baik-baik. Agaknya hitung-hitung untuk menambah pengalaman tidak ada salahnya kalau ia terima tawaran si kakek ini. Kalau perlu dia juga bersedia menjadi murid dari si Pendekar Budiman. Pemuda itu menjura. "Terima kasih kakek Sentot. Kalau memang itu yang kakek tawarkan, saya tidak berkeberatan."

Sentot Bangil tertawa. Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu. Mahesa merasakan pundaknya seperti ditekan oleh ribuan kilo barang berat. Dia maklum bahwa si kakek tengah menguji tenaganya. Diam-diam dia alirkan tenaga dalam kebahunya yang ditepuk-tepuk. Sentot Bangil menjadi terkejut ketika merasakan bagaimana tangannya yang dipakai menepuk menjadi seperti kesemutan. Cepat-cepat dia tarik tangannya kembali.

"Bagus... bagus Mahesa. Mari Wulan, kita berangkat sekarang juga..." kata Sentot Bangil pula. 

Setelah pamitan dengan seisi kampung Banjaran maka Wulansari, Sentot Bangil dan Mahesa Kelud dengan mempergunakan ilmu lari masing-masing segera berangkat menuju hutan Bangil. Sebagai seorang pendekar yang sudah mendapat nama tenar di dunia persilatan ternyata ilmu silat Sentot Bangil memang mengagumkan. Jurus-jurus tipu yang belum diketahui Mahesa dan Wulansari, segera dipelajari oleh kedua muda mudi ini dengan bersungguh-sungguh. 

Tidak terasa lagi maka enam bulan lebih berlalu. Antara Mahesa dan Wulansari, sementara mereka belajar pada Sentot Bangil, terjalin satu persahabatan yang erat. Persahabatan itu mungkin bukan persahabatan lagi namanya karena masing-masing pihak sama-sama merasakan sesuatu
yang baik Mahesa Kelud apalagi Wulansari belum berani mengutarakannya secara berterus terang.

Cuma dari sikap dan pandangan mata masing-masing dapatlah dilihat bahwa kedua pendekar muda ini saling memendam rasa. Sentot Bangil yang mengetahui hal ini diam-diam merasa gembira. Dia sayang pada cucunya Wulansari dan suka kepada Mahesa Kelud, seorang pemuda gagah, berhati rendah, tinggi budi dan berilmu yang tak bisa dianggap enteng, cukup dapat diandalkan. 

Karena kedua muda remaja ini sama-sama sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, ditambah pula dengan ajaran-ajaran yang diberikan oleh Sentot Bangil, maka sesudah enam bulan kepandaian yang mereka miliki kini telah dapat dipastikan akan sanggup untuk menghadapi Suto Nyamat dan anjing-anjing kaki tangan Kadipaten lainnya.

Sore itu, di dalam hutan Bangil yang jarang kaki manusia luar menginjaknya, sehabis berlatih Mahesa Kelud dan Wulansari dipanggil oleh Sentot Bangil. Kedua orang itu menjura di hadapan si kakek lalu duduk bersila dengan khidmat. 

"Murid-muridku," berkata Sentot Bangil. "Kini telah tiba bagi kalian untuk meninggalkan hutan Bangil dan ini guna mencari musuh besar kita!"

Mendengar ini bukan main senangnya hati Wulansari. "Kakek, saat untuk membalaskan dendam kesumat ini memang sudah lama aku tunggu-tunggu. Kapan kami berdua boleh berangkat?" tanya gadis yang bernyali besar itu.

"Bukan kami, Wulan tapi kita," kata si kakek sakti pula dengan tersenyum. "Aku sebagai kakek dan gurumu tidak akan lepas tangan begitu saja. Aku akan pergi bersama kalian untuk mencari bangsat Suto Nyamat dan Lima Brahmana itu." 

Mahesa Kelud dan Wulansari menjadi gembira mendengar ini. Kemudian terdengar suara Sentot Bangil berkata, "Siapkanlah segala sesuatunya malam ini karena kita akan berangkat besok pagi-pagi sekali."

Malam itu Wulansari boleh dikatakan hampir tak bisa tidur karena mengingat bahwa besok pagi dia bersama Mahesa dan kakeknya Sentot Bangil akan mencari musuh besarnya yaitu Adipati Suto Nyamat serta kaki-kaki tangannya. Menjelang dinihari baru gadis ini bisa pejamkan mata. Tapi itu pun tidak lama karena sebelum fajar menyingsing dia sudah bangun dan bersama Sentot Bangil serta Mahesa Kelud ketiganya segera meninggalkan hutan Bangil. 

Pada punggung ketiga orang itu kelihatan menonjol gagang-gagang senjata. Sentot Bangil membawa golok panjangnya. Wulansari pedang putih pemberian gurunya sedang Mahesa Kelud yang memang sejak turun gunung tidak mendapatkan senjata apa-apa dari Embah Jagatnata oleh Wulansari diberi pinjam pedang Naga Kuning milik mendiang gurunya. Boleh dikatakan selama dalam perjalanan ketiga orang itu berhenti hanya untuk makan minum saja. Mereka sengaja mencari jalan yang jarang ditempuh manusia, lewat lembah-lembah, menerobos hutan belantara dan mendaki serta menuruni bukit-bukit.

Beberapa hari kemudian akhirnya sampailah ketiga orang yang hendak menuntut balas itu ke Madiun. Di kadipaten Madiun saat itu Adipati Suto Nyamat tengah mengadakan pesta mengundang beberapa orang kawan-kawan karibnya yaitu jago-jago silat yang lihay dan berilmu tinggi. Dan kebetulan sekali, di antara para tamu yang hadir terdapat pula Lima Brahmana sesat. Jadi Wulansari dan kawan-kawannya tidak perlu lagi susah-susah mencari musuh-musuh besar mereka tersebut. Saat itu malam hari.

"Kita harus berhati-hati," kata Sentot Bangil pada kedua muridnya. "Pengawal-pengawal Kadipaten rata-rata memiliki ilmu yang cukup dapat diandalkan. Disamping itu jika Suto Nyamat mengadakan pesta, tentu tamu-tamunya bukan dari kalangan biasa. Karena itu kita tidak bisa lewat jalan biasa. Kita ambil jalan memutar dan lompati tembok...."

Demikianlah ketiga orang tersebut dalam kegelapan malam bergerak mengendap-endap dengan cepat menuju tembok belakang dan dengan mempergunakan ilmu mengentengi tubuh mereka dengan mudah sekali melompati tembok Kadipaten. Sebelum masuk ke dalam pekarangan Sentot Bangil menyelidik lebih dahulu. 

Ketika dilihatnya tidak ada satu orang pun maka dia segera memberi isyarat pada murid-muridnya. Ketiga orang tersebut seperti burung saja layaknya, tanpa menimbulkan suara barang sedikit pun melayang turun. Tapi tak terduga dari sudut rumah besar bagian belakang terdengar suara bentakan,

"Siapa di sana?!"

Tanpa menunggu lebih lama Wulansari berkelebat ke arah datangnya suara. Pedang putihnya sudah tergenggam di tangan. Di hadapannya berdiri seorang pengawal Kadipaten. Wulansari segera tusukkan pedangnya. Pengawal itu serta merta roboh. Bersama Sentot Bangil dan Mahesa Kelud, Wulansari kemudian bergerak mendekati pintu belakang lalu mengintip. Ternyata pintu belakang tersebut berhubungan dengan dapur. Pelayan-pelayan tengah sibuk dan bau makanan yang harum merembas menusuk hidung.

Ketiganya pindah ke samping rumah besar dan sampai di sebuah jendela yang terbuka. Di luar suasana gelap sedang di dalam terang benderang sehingga kalau pun ada orang di bagian dalam akan sukar untuk mengetahui mereka yang berada di tempat gelap lewat jendela itu. Di hadapan sebuah meja panjang dan besar duduklah berkeliling beberapa orang laki-laki. 

Sentot Bangil meneliti siapa-siapa saja mereka ini adanya. Di kepala meja, sebagai tuan rumah duduklah Adipati Suto Nyamat mengenakan pakaian kebesarannya yaitu pakaian Bupati. Matanya besar garang, keningnya lebar, berkumis tebal melintang serta meliuk pada kedua ujungnya. Dari tampangnya ini jelas terbayang kebengisannya. Pada pinggang kiri dan kanan Suto Nyamat tersisip masing-masing sebuah golok panjang. Inilah senjata yang sangat diandalkan oleh sang Bupati.  Memang ilmu sepasang goloknya itu sudah mencapai tingkat kepandaian yang tinggi. 

Kemudian di sekeliling meja besar itu duduk pula lima orang berkepala botak dan memakai jubah putih. Mereka ini tak lain adalah Lima Brahmana yang tersilau oleh harta benda serta uang yang dijejalkan Suto Nyamat kepada mereka sehingga meskipun tadinya mereka adalah orang-orang suci tapi sesat kena dibujuk dan diambil oleh sang Adipati menjadi tangan kanannya. 

Namun dari sekian banyaknya tamu-tamu yang hadir, yang paling menarik perhatian Sentot Bangil ialah seorang laki-laki bertubuh tinggi, mengenakan jubah hitam gelap. Rambutnya yang berwarna kelabu diikat ke atas membentuk kuncir. Tadinya dia adalah seorang resi dari kerajaan Blambangan. 

Namun karena kehidupannya tidak sesuai dengan sifat dan kelakuan seorang suci maka dia diusir meninggalkan Blambangan, baju resinya yang tadi berwarna putih ditukarnya dengan warna hitam gelap. Melihat orang ini diam-diam Sentot Bangil jadi terkejut. Dia maklum, melihat kepada pakaian serta sikap dan pandangan matanya saja, orang ini pasti memiliki ilmu tinggi sekali.


***
SEPULUH

TANPA memalingkan kepalanya kepada Mahesa Kelud dan Wulansari, Sentot Bangil berkata, "Dengar kalian berdua dan perhatikan kesana. Yang pakai baju bagus itu dan duduk di kepala meja adalah Suto Nyamat. Dia sangat ahli dengan senjatanya berupa sepasang golok. Kemudian lima orang yang berkepala botak dan berjubah putih. Mereka inilah Lima Brahmana sesat. Mereka juga bersenjatakan golok. Di samping itu mereka memiliki senjata rahasia berupa pisau-pisau bengkok yang berbahaya sekali. Dengan pedang di tangan, bilamana mereka maju satu-satu tak akan berarti apa-apa, tapi jika mereka maju berbarengan dan menyerang dengan serentak hebatnya bukan main. Kita harus hati-hati. Kemudian manusia berkuncir dan pakai jubah hitam itu! Inilah yang paling...."

Tapi sampai di situ, Wulansari tidak dapat lagi menahan hatinya. Dengan tidak sabar dia melompat ke muka. Tubuhnya melesat lewat jendela dan sesaat kemudian dia sudah berada diruangan di mana Suto Nyamat dan para tamu tersebut berada.

"Bangsat-bangsat rendah! Pembunuh-pembunuh terkutuk! Saat kematian kalian sudah tiba! Aku datang untuk menuntut balas!"

Tidak ada satu orang pun di ruangan tengah Kadipaten itu yang tidak terkejut ketika mendengar suara Wulansari yang menggeledek itu. Dan jadi lebih terkejut lagi ketika mereka lihat bahwa yang datang adalah seorang dara jelita. Suto Nyamat kemudian berdiri. Sambil menyeringai dan puntir-puntir ujung kumisnya dengan tangan kiri dia berkata,

"Eh... eh... eh. Gadis cantik dari mana yang datang kesasar ke sini? Kalau ingin turut pesta silahkan duduk!"

"Adipati keparat!" maki Wulansari. "Tak tahu ajal sudah di depan hidung masih bicara ceriwis! Kau lihat pedang di tangan kananku ini?!"

"Eh, galak juga rupanya. Tapi tunggulah, aku akan cubit pipimu yang montok itu!" Adipati Suto Nyamat tanpa ragu-ragu maju ke hadapan gadis itu untuk laksanakan niatnya. Tapi dia jadi terkejut ketika dengan secepat kilat pedang putih di tangan kanan Wulansari berkelebat ke arah lengannya yang terulur. Cepat-cepat Bupati Madiun ini tarik pulang tangannya dan melompat mundur beberapa langkah dengan muka berang.

"Gadis gila! Kau siapakah...?!" tanya Suto Nyamat membentak.

"Aku adalah anak Jarot Singgih yang kau fitnah dan kau bunuh secara kejam. Aku adalah kemenakan dari Menggala! Kau dengar?!"

Suto Nyamat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika mendengar keterangan si gadis itu. Tak pernah disangkanya kalau saat itu masih hidup seorang turunan Jarot Singgih. Dia menduga bahwa keluarga manusia yang dibencinya itu sudah musnah masuk liang tanah. 

"Gadis bernyali besar," kata Suto Nyamat. "Dengarlah, kau memang cantik. Tapi jangan jual tampang di sini. Aku tidak segan-segan mengirim kau ke neraka guna menghadap ayah serta pamanmu!"

"Keparat! Mampuslah!" teriak Wulansari dan serentak dengan itu dia melompat ke hadapan musuh besarnya mengirimkan serangan. 

Merasakan derasnya angin sambaran pedang, Suto Nyamat segera cabut kedua golok panjangnya dan tangkis senjata lawan dengan gerak berputar sedemikian rupa sehingga dalam satu kali bentrokan saja dia bermaksud akan berhasil menjepit senjata lawan serta merampasnya! Tapi bukan main terkejutnya Bupati Madiun ini karena tak terduga, begitu pedangnya terjepit di antara dua golok lawan maka dengan kecepatan yang luar biasa Wulansari meluncurkan senjatanya kebawah dengan deras dan kirimkan satu tusukan dahsyat ke dada Suto Nyamat. Adipati ini segera melompat ke belakang untuk selamatkan dadanya.

Meskipun dia tahu bahwa dengan seorang diri gadis ini sanggup dihadapinya, tapi untuk membakar hati para tamunya maka berkatalah Suto Nyamat pada mereka, "Saudara-saudara, mungkin di antara kalian ada yang lupa siapa adanya Jarot Singgih dan Menggala. Mereka adalah gembong manusia dajal yang tempo hari hendak memberontak pada Kerajaan. Dan ini adalah anak serta keponakan pemberontak itu! Suatu jasa besar terhadap Kerajaan bilamana kita berhasil menangkapnya hidup-hidup!"

Dengan darah mendidih Wulansari mengirimkan serangan ganas. Suto Nyamat berkelit. Si gadis susul dengan serangan yang lebih dahsyat dan satu jurus di muka maka kelihatanlah betapa Adipati Madiun itu terdesak hebat. Melihat ini Lima Brahmana yang menjadi kaki tangan Suto Nyamat segera cabut golok masing-masing dan menghadang si gadis. Wulansari kertak gigi. Pada saat itu melesat sesosok tubuh ke dalam dengan senjata di tangan.

"Anjing-anjing Kadipaten! Di mana muka kalian, tidak malu mengeroyok seorang gadis?!"

Yang berkata dengan membentak dan mengejek ini tak lain adalah Mahesa Kelud yang kemudian dengan pedang Naga Kuning di tangan dia segera menerjang ke arah Lima Brahmana. Mengetahui bahwa Mahesa Kelud sudah berada di sampingnya, bersemangatlah Wulansari. Gadis ini putar pedangnya dengan deras sampai mengeluarkan suara menderu. Meskipun Suto Nyamat dan kelima manusia berkepala botak itu bukan orang-orang sembarangan, tapi menghadapi dua pendekar muda murid-murid pendekar-pendekar sakti maka mereka segera kena didesak.

Para tamu terkejut sangat melihat bagaimana tuan rumah dan kelima Brahmana sampai terdesak sedemikian rupa oleh dua anak muda yang belum pernah dikenal kepandaiannya dalam kalangan persilatan! Tanpa menunggu lebih lama mereka segera cabut senjata dan membantu kawan-kawan mereka. 

Yang masih tetap duduk di tempatnya dengan tenang adalah resi yang berjubah hitam dan berkuncir. Sambil memperhatikan pertempuran yang terjadi di depan matanya dia meneguk tuak yang terhidang di meja. Dikeroyok oleh lebih sepuluh orang yang semuanya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lama-lama Mahesa Kelud dan Wulansari menjadi sibuk dan terdesak. 

Bukan main girangnya Suto Nyamat. Dalam sejurus dua jurus di muka dia dan kawan-kawan tentu akan dapat membekuk batang  leher kedua pemuda itu. "Ha... ha! Anak-anak kecil yang masih belum pandai cebok sendiri hendak coba-coba bikin urusan! Rasakan kalau kalian sudah kena dibekuk sesaat lagi...!"

Di tengah-tengah pertempuran yang hebat itu di saat mana kedua pendekar muda tadi terdesak hebat ke pojok ruangan besar maka tahu-tahu dari jendela melayanglah dengan gerakan enteng seorang laki-laki tua yang tak lain daripada Sentot Bangil alias Pendekar Budiman adanya.

"Suto Nyamat durjana! Kau dan kawan kawan jangan lekas merasa menang dan pentang bacot besar! Layani aku!"

Sentot Bangil memutar golok panjangnya. Dia bergerak di antara Mahesa Kelud dan Wulansari. Belum sampai satu jurus, salah seorang pengeroyok sudah dapat dibikin roboh mandi darah! Bukan main terkejutnya Suto Nyamat melihat kehebatan jago tua yang baru datang ini. Dia segera mundur. 

Di lain pihak Wulansari dan Mahesa Kelud kembali dapat mendesak lawan-lawan mereka dan dalam tempo yang singkat segera merobohkan masing-masing satu lawan. Sentot Bangil yang ilmunya lihay dengan gerakan cepat meyakinkan untuk kedua kalinya goloknya meminta korban lagi. Pada saat inilah, tanpa menunggu lebih lama resi berjubah hitam segera berdiri dari kursinya dan dengan sekali membuat gerakan tahu-tahu tubuhnya sudah berdiri di hadapan Sentot Bangil!


***
SEBELAS

SENTOT BANGIL kertak gigi melihat siapa yang menghadang di hadapannya.

"Ho... ho! Rupanya si Pendekar Budiman yang menjadi biang runyam membawa anak-anak itu kemari!" kata resi berjubah hitam. Dia tertawa dengan nada mengejek. Meskipun dia tahu bahwa musuh yang di hadapannya ini bukan seorang baik-baik, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri dan tidak cuma mendapat gelar Pendekar Budiman maka Sentot Bangil menjura memberi hormat.

"Kalau tak salah aku tengah berhadapan dengan Waranganaya Toteng yang dulu menjadi resi di Blambangan, benar?!"

Si jubah hitam tertawa dan busungkan dada. "Bagus, bagus!" katanya. "Rupanya kau yang sudah tua masih bisa kenali orang. Mari kita main-main sedikit Pendekar Budiman!"

"Soal main-main soal mudah, Waranganaya," sahut Bangil. "Sebelumnya aku ingin tanya dulu, apakah kau punya mulut sudah kena tersumpal harta dan uang Adipati keparat itu sehingga kau terbujuk dan menjadi kaki tangannya?!"

"Kalau kau tanya soal itu, itu bukan urusanmu! Aku mau malang, aku mau melintang siapa yang mau perduli?!" 

Sentot Bangil tersenyum sinis. "Pantas saja kau diusir dari Blambangan Waranganaya...."

"Manusia monyet!" maki Waranganaya sambil kebutkan ujung berumbai-rumbai dari ikat pinggang jubah hitamnya. Dengan cepat Sentot Bangil menghindar ke samping karena dari kedua ujung rumbai-rumbai itu keluar angin panas yang menyerang ke arahnya dengan deras. Melihat ini maka Waranganaya tertawa bergelak. 

"Baru begitu saja kau sudah meliuk seperti cacing kepanasan, Pendekar!" Sang resi enjot tubuh dan lancarkan serangan ganas. 

Meskipun Sentot Bangil orang yang sudah berpengalaman dan dapat nama harum di delapan penjuru angin namun menghadapi Waranganaya boleh dikatakan dia tidak dapat berkutik. Hampir setiap saat resi itu mengebutkan rumbai-rumbai ikat pinggang jubahnya. Sambil menyerang dia tidak hentinya tertawa bekakakan. Tertawanya ini bukan pula tertawa biasa tapi mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali dan maksudnya adalah untuk mengacaukan setiap gerakan lawan.

Meskipun Sentot Bangil sudah kerahkan semua ilmu simpanannya namun dia tetap dibikin tak berdaya. Di lain pihak kedua orang muridnya Mahesa dan Wulansari sudah terkurung pula. Mahesa Kelud berkali-kali pergunakan pukulan tangan kirinya yang mengandung Aji Karang Sewu yang ampuh itu namun sia-sia belaka karena setiap dia mengirimkan satu serangan dia dipaksa mundur untuk tangkis tiga atau empat serangan lawan.

Sentot Bangil tahu bahwa jika mereka bertahan sampai beberapa jurus di muka maka mereka pasti akan kena dicelakai oleh bangsat-bangsat Kadipaten itu. Dengan cepat maka berserulah jago tua ini: "Murid-muridku! Kalian larilah! Biar aku sendiri yang hadapi mereka!"

Mendengar perintah sang guru itu, meskipun dengan hati berat namun Mahesa Kelud dan Wulansari segera mematuhinya. Mereka putar pedang masing-masing dengan sebat dan begitu para pengeroyok mundur, keduanya segera melompat ke jendela. Sebelum melarikan diri Wulan berpaling menengok guru atau kakeknya. Gadis itu menjerit keras karena pada saat itu dilihatnya si kakek rebah ke lantai terkena sambaran rumbai-rumbai ikat pinggang Waranganaya Toteng. 

Dalam keadaan yang kritis itu, Sentot Bangil sambil tergelimpang ke lantai masih berusaha memapaskan golok panjangnya ke arah kaki Waranganaya. Dengan cepat resi ini melompat ke atas dan sambil melompat kaki kirinya bergerak menendang kepala Sentot Bangil. Kembali terdengar suara menjerit Wulansari. Tubuh Sentot Bangil terlempar beberapa tombak dengan kepala remuk!

Di luar sana Wulansari memutar tubuh dan melompat kembali ke jendela seraya berteriak: "Resi jahanam! Aku mengadu jiwa dengan kau!"

"Wulan!" seru Mahesa Kelud seraya tarik lengan si gadis dengan cepat. "Jangan bertindak bodoh! Mereka bukan lawan kita. Kita bisa saja nekad tapi pasti lebih banyak ruginya. Lain kali kita mencari mereka untuk membuat perhitungan!"

Si gadis kibaskan tangan Mahesa yang memegang lengannya dan berusaha menariknya dari kalangan perkelahian. "Mahesa!" bentak Wulansari. "Kau ini seorang jantan atau banci pengecut! Kau biarkan guru menemui ajal begitu rupa?! Kalau kau mau kabur silahkan! Aku tidak gentar menghadapi setan-setan itu sendirian!"

"Jangan gegabah Wulan!" balas Mahesa dengan suara tak kalah kerasnya. "Pergunakan otak sehatmu! Jangan biarkan amarah mendidih dan hati panas mencelakaimu! Kalau kita mati berarti untuk selamanya kita tidak bakal sanggup membalas dendam terhadap bangsat-bangsat Kadipaten itu! Lagi pula apa kau tak ingat akan musuh besarmu si Warok Kate? Mari!"

Dalam keadaan genting seperti itu akhirnya Wulansari bisa disadarkan. Sepasang muda mudi itu segera putar tubuh, melarikan diri dalam kegelapan malam, kembali ke hutan Bangil. Sesampainya di hutan Bangil beberapa hari kemudian, dalam keadaan letih Wulansari jatuhkan diri di depan pondok. Di sini si gadis menangis sejadi-jadinya. Mahesa coba membujuk dan menghibur gadis itu tiada putus-putusnya.

"Kau tak merasakan bagaimana beratnya kehilangan orang tua itu..." kata Wulansari di antara isak tangisnya.

"Apa yang ada dalam hatimu sama dengan yang aku rasakan Wulan. Ini namanya hidup yang penuh cobaan dan tantangan. Cobaan dan tantangan tidak seharusnya membuat kita jadi lemah serta lupa diri. Justru cobaan dan tantangan dijadikan cambuk untuk menggembleng diri sendiri menjadi lebih tabah dan kukuh hati. Jalan hidup kita sebagai orang-orang persilatan memang berputar di situ...."

Wulansari terdiam. Lama gadis ini termenung. Perlahan-lahan entah dia sadar atau tidak Wulansari sandarkan kepalanya ke dada Mahesa Kelud. Si pemuda belai rambut gadis ini penuh kasih sayang. Belaiannya turun ke pipi si gadis. Lalu perlahan-lahan hidungnya didekatkan mencium kepala Wulansari. 

Ketika gadis itu menengadah Mahesa mencium sepasang matanya yang bagus dan masih basah. Wulansari merangkulkan kedua tangannya ke leher Mahesa Kelud lalu berbisik lirih. "Mahesa, jangan tinggalkan diriku. Kau satu-satunya kini tempat aku bergantung...."

"Kita berdua ditakdirkan senasib sepenanggungan. Jadi kita tak akan berpisah apa pun yang terjadi..." balas Mahesa Kelud. 

Wulansari merasa bahagia sekali mendengar ucapan pemuda itu. Ditariknya kepala Mahesa hingga wajah mereka saling bersentuhan. Ketika Mahesa mengecup bibirnya Wulansari membalas penuh kehangatan. Suasana mesra itu dapat menghibur Wulansari serta membuatnya sesaat melupakan apa yang mereka alami.